Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Manusia biasa yang tak berharap apa-apa

Bergerak di literasi jalanan (Perpustakaan Jalanan) Bambu Pena Indramayu

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ilusi "Rumah", Ketika Bahagia Tergantung pada Orang Lain

18 Agustus 2024   19:21 Diperbarui: 18 Agustus 2024   19:43 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi di rumah (Pexels:Cottonbro)

Ada kalanya dalam hidup, kita bertemu dengan seseorang yang rasanya seperti rumah. Orang yang kehadirannya membuat hati kita tenang, nyaman, dan merasa aman. Kita percaya, dalam pelukan mereka, semua kekhawatiran akan sirna, dan kebahagiaan yang kita cari akhirnya tiba. Namun, ternyata, di balik semua perasaan hangat itu, kita justru terjebak dalam bias yang berbahaya: menggantungkan kebahagiaan kita sepenuhnya kepada orang lain.

Awalnya, semuanya terasa begitu indah. Saat bersamanya, kita merasakan kebahagiaan yang seolah tak ada habisnya. Segala sesuatu menjadi lebih cerah, setiap hari ada hal baru yang bisa kita syukuri. Namun, perlahan, tanpa kita sadari, kita mulai terlalu mengandalkan mereka untuk membuat kita merasa baik-baik saja. Kita lupa bahwa kebahagiaan sejati seharusnya datang dari dalam diri kita sendiri, bukan dari orang lain.

Ketika kita mulai menyandarkan kebahagiaan kepada seseorang, kita menempatkan beban yang terlalu besar di pundak mereka. Kita berharap mereka selalu ada, selalu mampu membuat kita bahagia, dan tidak pernah mengecewakan. Padahal, setiap orang memiliki batasan, dan tidak mungkin untuk selalu memenuhi ekspektasi yang begitu tinggi.

Sayangnya, ketika orang tersebut akhirnya tak bisa memenuhi harapan kita---entah karena mereka pergi atau karena mereka tidak lagi bisa memberikan rasa aman yang sama---dunia kita seakan runtuh. Kita merasa kehilangan arah, kehilangan identitas, dan lebih parahnya lagi, kita merasa kehilangan diri kita sendiri.

Dalam momen itulah, kita sadar bahwa kebahagiaan yang selama ini kita rasakan hanyalah ilusi. Itu bukanlah kebahagiaan sejati, melainkan perasaan sementara yang sangat bergantung pada kehadiran orang lain. Ketika orang tersebut hilang dari kehidupan kita, ilusi itu pun lenyap, meninggalkan kehampaan yang dalam.

Proses ini menyakitkan, tapi juga memberi kita pelajaran penting: kita harus belajar untuk mencintai diri sendiri terlebih dahulu sebelum bisa benar-benar mencintai orang lain. Kebahagiaan yang sejati datang dari dalam, dari penerimaan diri, dan dari kemampuan untuk merasa utuh tanpa harus bergantung pada orang lain.

Menyadari bahwa kita telah termakan bias ini adalah langkah awal untuk memperbaiki diri. Meskipun sulit, kita bisa mulai membangun kembali kebahagiaan kita, dengan fokus pada hal-hal yang benar-benar membuat kita bahagia secara mandiri. Kita bisa mengisi hidup dengan kegiatan yang kita nikmati, berkumpul dengan teman-teman yang mendukung, dan menemukan cara untuk mencintai diri sendiri tanpa syarat.

Dan ketika suatu hari kita bertemu lagi dengan seseorang yang membuat hati kita merasa seperti pulang, kita sudah lebih bijak. Kita tahu bahwa kebahagiaan kita bukanlah tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab kita sendiri. Dengan begitu, kita bisa menikmati hubungan yang lebih sehat, lebih seimbang, dan lebih bermakna.

Pada akhirnya, rumah sejati bukanlah tempat di mana kita menyandarkan kebahagiaan kita kepada orang lain. Rumah sejati adalah tempat di mana kita merasa utuh dan bahagia dengan diri kita sendiri, sehingga kita bisa berbagi kebahagiaan itu dengan orang lain tanpa harus kehilangan diri kita sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun