Mohon tunggu...
Suhendrik N.A
Suhendrik N.A Mohon Tunggu... Freelancer - Citizen Journalism | Content Writer | Secretary | Pekerja Sosial

Menulis seputar Refleksi | Opini | Puisi | Lifestyle | Filsafat dst...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Rokok, Cinta, & Amer

7 Mei 2022   21:10 Diperbarui: 7 Mei 2022   21:22 2030
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

***


Kacamata-ku sudah tak lagi berguna,dikenakan atau tidak hasilnya percuma, buyar sudah pandangan-ku. Muka-ku sudah memerah semerah amer yang terus dituang pada sloki.

“puteran lu bro” ujar Yoga teman bajingan

Singkatnya, obrolan terbuka tentang satu nama yang  8 tahun ini menghantui malam-malam ku. Ya memang hanya perempuan itu yang selalu aku ceritakan sebagai kembanggan. Tadi sore ia datang menemui ku, mengantarkan surat undangan pernikahanya. Ia datang tidak sendiri, bersama calon suaminya ia menghampiriku di kedai kopi tempat-ku berkerja. Hancur sudah rencana-ku yang sudah kurancang selama satu bulan ini untuk melamarnya malam ini. Arul temn ku ang lain, tertawa terbahak bahak ketika aku pulang dengan surat undangan ditangan.

“sudah-lah,,, wanita bukan hanya dia bro” ucap Alvian pendekar gila

“Lagi selama  8 tahun ini lu ngapain aja si?, giliran dia mau menikah lu kelabakan kaya gini” Tandas Arul yang sudah mulai tepar.

Ocehan dan bullyan teman bajingan ku menusuk lurus ke sanubari-ku

Ku sambar sloki Alvin, Ku tenggak dengan cepat seraya berujar kepada Tuhan:
“jika cinta-ku terlarang kepadanya, mengapa kau tanam benih cinta ku ini untuknya!!!”

Ku nyalakan rokok garpit ku, berjalan sempoyongan menuju beranda kost, sambil tertawa-tawa sendiri: “Bagaimana bisa, semabuk ini aku masih ingat Tuhan!!”

                                                                               ***

Sore itu ketika aku sedang meracik kopi terpahit yang pernah ku buat, untuk satu pelanggan setia kedai ditempat ku berkerja. Seorang pria dengan wajah yang tidak pernah tersenyum, yang selalu duduk di sudut kedai. Sendiri menikmati sepi dengan ditemani pesanan khasnya sebungkus rokok garpit dan segelas kopi terpahit.

Ia selalu datang ketika senja memancarkan warna merah jingga sempurna, dengan membawa sepedah tuanya yang entah dari mana ia berkelana. Sesekali aku menemaninya duduk dan diam menikmati keagungan senja, tanpa berbicara sepatah kata pun, ia menikmati kopi yang ku hidangkan bersama kepul asap rokok garpitnya yang tak pernah ada jedah untuk berhentia ia hisap.

Sore itu aku memberanikan diri mengajak nya berbincang bincang tentang ke misteriusan dia yang tak pernah berubah, kutanya kabarnya ia tak menjawab hanya menunjuk sepotong senja, ku Tanya mengapa ia hanya terdiam dan kembali membakar rokok garpitnya. Lantas aku memberanikan diri menceritakan tentang wanita yang ku puja, yang telah kutitipkan senyumnya pada senja. Setelah mendengar itu ia matikan garpitnya, lantas mendengerkan dengan takzim segala cerita ku. Setelah habis bercerita dengan kalimat ternyata senja bagimu dan aku memiliki arti yang sama. Akhirnya ia bersuara dan berkata dengan sejuk seperti seorang ayah kepada anaknya.

"cinta mu padanya begitu besar, sudah cukup kau memendam segala rasa sayang mu kepadanya, kini waktunya kau melangkah serius. Lamar lah dia, agar kau tidak merana sendiri. cukup saya yang bertindak bodoh menyia nyiakan waktu mencintai wanita, hingga ia sudah dipersunting oleh orang lain" ujarnya sambil menatap gelas kopi yang hampir habis.

Setelah mendengar ucapanya, aku pun mengerti mengapa ia menjadi sosok misterius seperti itu,ia masih merasakan pedih perih mencintai tanpa dicintai, hingga membuatnya selalu berkelana mencari kesibukan sendiri untuk melupakan wanita yang ia puja. Terbesit jua dipikiran ku, apakah aku akan bernasib sama sepertinya?.

Azan magrib pun terdengar dari musholah terdekat dari kedai ku, seperti biasa pula pria misterius itu bersiap siap kembali berkelana. Setelah ia pergi meninggalkan kedai ku, ku lihat secara seksama punggungnya, tergambar jelas bahwa dia adalah seorang punjanga yang membenci semesta, karena dia selalu di permainkan semesta yang selalu menyampaikan kabar buruk ketika senja datang.

                                                                               ***

Sehari sebelum hari yang ku tunggu-tunggu, ku kabarkan pada pria misterius itu bahwa besok malam aku akan melamarnya, ia termenung menikmati secangkir kopi terpahit yang ku buat. Entah selepas percakapan ku sebulan yang lalu dengannya, hingga kini aku akrab dengannya. Menikmati senja berdua dengannya, dengan ditemani lagu dari musisi indie yang tengah hits pada saat itu.

"semoga ia menerima lamaran mu, dan kau berhasil mengalahkan semesta yang bajingan itu" ujarnya sehabis menghabiskan kopi terpahitnya itu.

Aku mengamininya dalam diam, masih menikmati lantunan lagu indie yang sedang diputar secara sengaja oleh teman kerja ku, karena katanya aku dan pria misterius itu terlalu berkarisma acap kali senja tergambar secara anggun dia atas langit sore itu.

Akhirnya hari yang ku tunggu tiba, tapat 30 hari yang lalu aku mulai akrab dengan pria misterius itu, entah mengapa hari ini ia tidak datang, aku segeran bersiap siap untuk pergi ke tempat yang sudah kurencanakan, ku kabari pula wanita pujaan hati ku itu. Belum sempat pesan ku kirim, seperti semesta sedang berpihak kepada ku, wanita itu sudah ada di depan kedai tempat ku berkerja, firasat ku berkata buruk, ketika aku melihatnya datang dengan pria yang tidak aku kenal.

Ia datang menghampiri ku dengan senyumnya yang begitu manis, seraya berkata.

"kenalin ia adalah calon suami ku" ujarnya dengan bangga

Aku terdiam tanpa suara namun tanganku reflek menjabat tangan pria itu yang sudah menyodorkan tangannya terlebih dahulu.

"dateng ya, jangan sampai nggak dateng, kamu kan sahabat terbaiku, oh iya jangan lupa bawa juga pacarmu yang mau kau lamar itu." ujarnya lagi

"iya aku pasti dateng kok"jawab ku sambil berusaha tersenyum

Selepas mengantarkan undangan itu, ia pamit pergi kembali bersama calonnya itu, iya dia tahu bahwa hari ini aku ingin melamar wanita, akan tetapi yang ia tidak tahu bahwa wanita yang ingin ku lamar itu adalah dia, dan juga aku pun tidak tahu bahwa ia akan menikah. Memang kami sering bertukar pesan hingga larut malam, akan tetapi tak pernah sekalipun ia bercerita tentang rencana pernikahanya ini.

END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun