Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Stop Ekspor Nikel, Jalankan Hilirisasi dan Lihat Bagaimana Teknologi Dunia Tanpa Nikel Indonesia

3 Februari 2025   01:26 Diperbarui: 3 Februari 2025   08:27 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Produsen Nikel Dunia (Sumber pribadi)

Stop Ekspor Nikel, Jalankan Hilirisasi dan Lihat Bagaimana Teknologi Dunia Tanpa Nikel Indonesia

Dr.-Ing. Suhendra.  

Di awal tahun 2025, Presiden Prabowo melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 2025 menetapkan pembentukan Satuan Tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional sebagai langkah strategis untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya alam di dalam negeri. Salah satu kebijakan yang menjadi perhatian utama adalah penghentian ekspor bijih nikel serta percepatan hilirisasi produk turunannya, yang bertujuan untuk memperkuat industri nasional dan mendorong Indonesia menjadi pemain utama dalam rantai pasok global. 

Keputusan tersebut diambil sebagai bagian dari strategi jangka panjang untuk mengoptimalkan kekayaan mineral Indonesia, memastikan ketahanan energi nasional, serta menarik investasi di sektor pengolahan dan manufaktur berbasis nikel. Dengan adanya hilirisasi, Indonesia tidak hanya menjadi pemasok bahan mentah, tetapi juga mampu memproduksi barang bernilai tambah tinggi, seperti baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat, yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi dan daya saing global. 

Indonesia: Kunci Utama Pasar Nikel Global

Lebih dari separuh nikel dunia berasal dari satu negara, Indonesia. Tapi, bagaimana jika Indonesia memutuskan untuk berhenti menjualnya?

Indonesia, sebagai produsen utama dengan lebih dari separuh pasokan nikel dunia, memegang peran krusial dalam rantai pasok global (lihat tabel 1 di atas). Namun, bagaimana jika suatu hari Indonesia betul-betul memutuskan menghentikan ekspor nikel selamanya? Pernahkah kita bayangkan, bahwa semua produksi snart phone, mobil listrik, bahkan gedung pencakar langit di negara industri maju akan terhambat karena bergantung pada nikel Indonesia? Akankah industri global tetap bertahan, atau justru menghadapi guncangan besar yang mengubah peta ekonomi dan teknologi dunia?

Tabel 1. 10 Besar Produsen Nikel Dunia

Produsen Nikel Dunia (Sumber pribadi)
Produsen Nikel Dunia (Sumber pribadi)

Indonesia memproduksi 1,8 juta ton nikel pada 2023, menyumbang lebih dari 50% total produksi global. Dengan cadangan mencapai 21 juta ton, Indonesia tidak hanya menjadi produsen terbesar tetapi juga penyimpan masa depan teknologi dunia. Sebagai pembanding, Filipina, produsen kedua terbesar, hanya  menghasilkan 400.000 ton per tahun.

Negara-negara lain seperti Rusia, Kanada, dan Australia mungkin berusaha mengisi kekosongan. Namun, produksi mereka tidak cukup besar untuk memenuhi permintaan global. Bahkan, Filipina, produsen terbesar kedua, hanya menghasilkan seperempat dari kapasitas Indonesia. Alternatif bahan seperti kobalt atau mangan juga tidak cukup efisien untuk menggantikan nikel.

Selanjutnya, mari kita bayangkan skenarionya.

Dampak pada Industri Kendaraan Listrik

Nikel adalah logam yang tak tergantikan. Dari baja tahan karat hingga baterai kendaraan listrik, nikel mendukung berbagai industri yang menopang kemajuan teknologi global. Jika Indonesia berhenti menjual nikel mentahnya, dunia tidak hanya kehilangan pasokan utama tetapi juga menghadapi konsekuensi yang tak terbayangkan.

Kendaraan listrik kini menjadi simbol masa depan yang lebih ramah lingkungan, tetapi keberlanjutannya sangat bergantung pada ketersediaan baterai berbasis nikel. Saat ini, sekitar 30% permintaan nikel dunia berasal dari industri baterai, dan angka ini diperkirakan akan melonjak hampir 30 kali lipat pada tahun 2040. Hal ini menciptakan tantangan besar bagi produsen kendaraan listrik global seperti Tesla, yang membutuhkan lebih dari 1,5 juta ton nikel per tahun untuk memenuhi target produksinya. Jika pasokan dari Indonesia---sebagai produsen nikel terbesar di dunia---terganggu atau hilang, maka rantai pasokan industri kendaraan listrik akan berantakan, menghambat transisi menuju transportasi yang lebih berkelanjutan.

Selain dampak terhadap produksi, ketergantungan tinggi pada nikel juga berpotensi memicu lonjakan harga yang signifikan. Saat ini, harga baterai rata-rata berada di kisaran USD 132 per kWh, tetapi tanpa pasokan yang stabil, harga tersebut bisa meroket hingga USD 250 per kWh. Kenaikan ini akan membuat harga kendaraan listrik jauh lebih mahal, menghambat adopsi massal di berbagai negara, terutama di pasar negara berkembang. Oleh karena itu, upaya diversifikasi sumber bahan baku dan pengembangan teknologi baterai alternatif menjadi langkah penting untuk memastikan pertumbuhan industri kendaraan listrik tetap berkelanjutan dan terjangkau bagi masyarakat luas.

Anjloknya Pasar Baja Tahan Karat

Nikel memiliki peran krusial dalam industri global, dengan sekitar 65% produksinya digunakan untuk pembuatan baja tahan karat. Material ini menjadi tulang punggung berbagai sektor, termasuk konstruksi, otomotif, dan barang rumah tangga. Tanpa pasokan nikel yang stabil, terutama dari Indonesia sebagai produsen terbesar, industri-inustri ini akan menghadapi tantangan besar. Proyek infrastruktur seperti gedung pencakar langit, jembatan besar, dan fasilitas publik lainnya dapat tertunda karena kelangkaan baja berkualitas tinggi. Keterlambatan ini tidak hanya berdampak pada pengembang dan kontraktor, tetapi juga pada perekonomian yang lebih luas, karena banyak sektor bergantung pada kelangsungan proyek konstruksi.

Selain itu, ketergantungan yang tinggi terhadap nikel juga berpotensi mendorong lonjakan harga yang drastis. Jika pasokan nikel terganggu, biaya produksi baja tahan karat yang saat ini berkisar USD 1.700 per ton bisa meroket hingga lebih dari USD 3.000 per ton. Kenaikan harga ini akan mengguncang berbagai sektor ekonomi, mulai dari perumahan hingga manufaktur, serta meningkatkan biaya produksi barang konsumsi yang menggunakan baja tahan karat. Dalam jangka panjang, industri perlu mencari alternatif bahan baku atau mengembangkan teknologi baru untuk mengurangi ketergantungan pada nikel, guna menjaga stabilitas pasar dan keberlanjutan industri global.

 

Efek Geopolitik

Keputusan Indonesia dalam mengelola ekspor dan pemanfaatan nikelnya berpotensi mengguncang tatanan geopolitik global. Salah satu negara yang paling terdampak adalah China, sebagai konsumen nikel terbesar di dunia. Dengan hampir 60% pasokan nikelnya bergantung pada impor dari Indonesia, China menghadapi tekanan besar jika terjadi perubahan kebijakan yang membatasi ekspor atau menaikkan harga. Ketergantungan ini membuat China rentan terhadap gangguan pasokan, yang dapat mempengaruhi industri manufaktur dan teknologi mereka, terutama dalam sektor baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat. Situasi ini dapat memaksa China untuk mencari alternatif sumber nikel dari negara lain atau mengembangkan strategi investasi baru di sektor pertambangan Indonesia.

Di sisi lain, posisi dominan Indonesia dalam pasar nikel global memberinya kekuatan untuk bertindak layaknya "OPEC-nya nikel." Dengan kontrol penuh atas pasokan, Indonesia memiliki potensi untuk menetapkan harga dan mengatur pasar, seperti yang dilakukan OPEC terhadap minyak bumi. Hal ini memberikan leverage ekonomi dan politik yang kuat bagi Indonesia dalam negosiasi perdagangan dan investasi internasional. Jika dikelola dengan baik, strategi ini tidak hanya meningkatkan nilai tambah industri dalam negeri tetapi juga memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain kunci dalam transisi energi global. Namun, langkah ini juga dapat memicu ketegangan dengan negara-negara konsumen utama, sehingga diperlukan kebijakan yang seimbang agar Indonesia dapat memanfaatkan posisinya secara optimal tanpa menciptakan instabilitas diplomatik.

Keuntungan untuk Indonesia

Bila suatu saat keputusan Indonesia untuk menghentikan ekspor bijih mentah dan beralih ke produk olahan, maka harapanya akan memberikan dampak ekonomi yang signifikan. Dengan mengolah nikel menjadi produk bernilai tambah seperti baterai kendaraan listrik dan baja tahan karat, pendapatan negara dapat meningkat hingga lima kali lipat dibandingkan hanya mengekspor bijih mentah. Strategi ini tidak hanya meningkatkan devisa negara, tetapi juga memperkuat industri dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, serta mempercepat alih teknologi. Dengan adanya hilirisasi, Indonesia tidak lagi hanya menjadi pemasok bahan baku, tetapi juga pemain utama dalam rantai pasok global industri kendaraan listrik dan baja tahan karat.

Indonesia telah menjadi magnet investasi bagi perusahaan global dalam industri baterai dan kendaraan listrik berkat cadangan nikel yang melimpah dan strategis. Perusahaan besar seperti CATL, LG Chem, dan Tesla sebelumnya telah menunjukkan minat yang kuat untuk berinvestasi di sektor pengolahan nikel dan produksi baterai di Indonesia, dengan komitmen investasi bernilai miliaran dolar. Pemerintah Indonesia, melalui kebijakan hilirisasi dan larangan ekspor bijih nikel, berhasil menarik perhatian perusahaan asing yang ingin memastikan pasokan bahan baku untuk industri kendaraan listrik. Langkah ini tidak hanya memperkuat posisi Indonesia sebagai pemain utama dalam rantai pasok baterai global, tetapi juga berpotensi meningkatkan nilai tambah ekonomi nasional, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pengembangan teknologi dan infrastruktur energi hijau di dalam negeri.

Apakah Dunia Siap Tanpa Nikel Indonesia?

Tanpa nikel Indonesia, dunia akan menghadapi dampak besar pada berbagai sektor. Transisi ke energi bersih akan melambat, harga produk teknologi akan melonjak, dan proyek infrastruktur global akan terhambat. Namun, bagi Indonesia, ini adalah kesempatan untuk mendefinisikan ulang posisinya di panggung ekonomi global.

Dalam skenario ini, dunia akan belajar bahwa logam kecil seperti nikel memiliki dampak yang sangat besar. Dan ketika Indonesia mengambil keputusan strategis, dunia hanya bisa menunggu dan beradaptasi. Siapa sangka, masa depan teknologi global bergantung pada keputusan satu negara?

Dr.-Ing. Suhendra. Dosen Teknik Kimia Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Pengurus Bidang Kebumian dan Energi, Persatuan Insinyur Indonesia (PII). Pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai konsultan di Jerman. Tulisan mencerminkan pendapat pribadi, bukan organisasi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun