Pada titik ini, diskusi berkembang ke arah yang lebih filosofis. Sikap manusia terhadap Tuhan memang beragam, tergantung pada pengalaman, pendidikan, dan budaya mereka. Ada yang ateis, menyangkal keberadaan Tuhan karena merasa tidak ada bukti yang cukup. Ada pula yang agnostik, di tengah-tengah antara percaya dan ragu.
Sebagian besar masyarakat kita mungkin termasuk dalam kategori teisme, meyakini keberadaan Tuhan. Namun, keyakinan ini sendiri terbagi-bagi: monoteisme yang percaya pada satu Tuhan, politeisme dengan banyak dewa, hingga panteisme yang melihat Tuhan dalam segala sesuatu. Ada juga mereka yang religius, menjalankan ibadah secara rutin, dan yang spiritual, lebih memilih hubungan pribadi dengan Tuhan tanpa terikat ritual formal.
Namun, di luar semua itu, ada kelompok yang apatis, merasa bahwa keberadaan Tuhan tidak relevan dalam hidup mereka. Mungkin, inilah akar dari masalah di kampung kami. Ketika seseorang merasa bahwa Tuhan tidak relevan, tindakan mereka tidak lagi terikat oleh rasa takut atau tanggung jawab kepada Sang Pencipta.
Perspektif Global terhadap Teisme dan Ateisme
Di belahan bumi lainnya, sikap manusia terhadap nilai-nilai teisme dan ateisme juga beragam. Di negara-negara maju, warisan sekularisme dan komunisme sering kali menjadi faktor utama menjamurnya ateisme. Negara seperti Swedia, Norwegia, dan Prancis menunjukkan peningkatan jumlah orang yang secara terbuka mengidentifikasi diri sebagai ateis. Tingginya tingkat kesejahteraan ekonomi dan pendidikan di negara-negara ini membuat banyak orang merasa bahwa agama atau Tuhan tidak lagi relevan dalam kehidupan mereka.
Sebaliknya, agnostisisme kerap merebak di negara-negara yang meskipun sebagian besar penduduknya mengaku percaya kepada Tuhan, namun masih bergulat dengan masalah kesejahteraan ekonomi. Orang-orang dalam situasi ini sering mempertanyakan keadilan dan relevansi Tuhan ketika kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi. Contohnya dapat ditemukan di berbagai negara berkembang, di mana krisis ekonomi dan sosial memperdalam keraguan tentang peran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, teisme tetap menjadi nilai inti di banyak masyarakat tradisional, terutama di negara-negara dengan sejarah budaya dan agama yang kuat. Di kawasan Timur Tengah, Asia Selatan, dan Amerika Latin, keyakinan kepada Tuhan sering kali terjalin erat dengan identitas budaya dan politik. Meski demikian, tantangan modernisasi dan globalisasi turut memengaruhi generasi muda yang mulai membuka diri terhadap skeptisisme religio dan spiritualitas non-religius.
Skeptisme itu kemudian dianggap pemicu kelahiran agnotisme yang merajalela. Mudahnya, mereka yakin Tuhan ada. Tapi Tuhan tidak perlu terlalu jauh ikut campur urusan pribadi saya, urusan kantor saya hingga tidak perlu ada label urusan Tuhan dalam mengurus ekonomi, berpolitik dan bernegara.
Membuat Tuhan Relevan
Cerita tentang Pak Hadi sampai pada hikmah yang mengusulkan pendekatan yang lebih mendalam: memperbaiki hubungan kita dengan masyarakat sekitar. "Kalau ada orang yang mencuri kotak amal, berarti ada yang lapar di sekitar kita. Ada yang merasa hidupnya tidak cukup, sehingga mereka rela melanggar aturan. Selama kita tidak menyelesaikan masalah itu, mereka akan terus mencuri, sekalipun kita pasang seratus CCTV," katanya.
Membuat Tuhan relevan bukan berarti kita memaksa orang beribadah. Sebaliknya, ini berarti menciptakan lingkungan di mana kehadiran Tuhan terasa nyata dalam keseharian. Menjadikan masjid lebih dari sekadar tempat ibadah, tetapi juga pusat kepedulian sosial. Memberikan makan kepada yang lapar, membantu yang kesusahan, dan mendekatkan hati-hati yang jauh dari Tuhan.