Mohon tunggu...
Dr Ing. Suhendra
Dr Ing. Suhendra Mohon Tunggu... Dosen - Konsultan, technopreneur, dosen, hobby traveller

Tinggal di Jogja, hoby travel dan baca. Sehari-hari sebagai konsultan, dosen dan pembina beberapa start-up

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Gaya Hidup Instan, Risikonya juga Instan: Memahami Potensi Bahaya Bahan Kimia dalam Kemasan Pangan

24 Maret 2024   02:16 Diperbarui: 24 Maret 2024   12:40 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Canva akun pribadi

Gaya Hidup Instan, Risikonya juga Instan: Memahami Potensi Bahaya Bahan Kimia dalam Kemasan Pangan

Oleh: Suhendra


Dalam kehidupan yang semakin cepat dan praktis, konsumsi makanan cepat saji dan minuman kemasan menjadi pilihan banyak orang. Gaya hidup instan ini, meskipun menawarkan kenyamanan, menyembunyikan risiko yang sering terabaikan: bahaya kimia dalam kemasan yang kita gunakan setiap hari. Memasuki hari-hari sibuk seperti Ramadhan dan hari raya Idul Fitri, konsumsi fast food semakin meningkat. Konsekuensinya, penggunaan bahan kemasan semakin banyak.


Tentunya, tidak bijak bila kehadiran tulisan ini menimbulkan ketakutan kita dalam transaksi ekonomi untuk menunaikan hajat hidup kita. Apalagi merugikan ekonomi UMM milik rakyat kecil. Kebutuhan makan dan minum, selain kebutuhan utama, juga menjadi pendorong ekonomi.


Meski demikian, memilih setiap produk yang kita perlukan sudah selayaknya kita fahami manfaat maupun potensi dampaknya. Hal ini terkait bungkus makanan dan minuman, penelitian terkini mengungkapkan bahwa banyak kemasan makanan dan peralatan makan sekali pakai, membawa potensi bahan kimia. Karena bahan kimia tersebut masih menempel pada kemasan, maka adanya kontak dengan makanan atau minuman yang kita konsumsi memiliki potensi bahan kimia tersbut masuk ke dalam tubuh kita. Bahan kimia yang kini sedang banyak dicurigai banyak pada kemasan pangan adalah zat per- dan polifluoroalkil (PFAS)). Zat kimia ini tidak dapat terurai dan berpotensi meningkatkan risiko kanker bila terakumulasi dalam tubuh manusia.


Makanan yang kita nikmati, mulai dari kentang goreng, kebab, sup, teh celup, hingga burger, sering kali disajikan dalam kemasan yang terlihat ramah lingkungan namun sebenarnya mengandung PFAS. Karena sifatnya yang tahan terhadap air dan lemak, PFAS digunakan untuk penguat kemasan agar tidak mudah bocor atau berminyak. Konsumsi makanan yang dikemas dengan bahan mengandung PFAS dapat menyebabkan dampak serius pada kesehatan, termasuk meningkatkan risiko kanker dan melemahkan sistem imun.


Namun, ketika zat kimia ini mencemari alam, mereka tidak terurai dan dapat berpindah melalui aliran air dan udara ke berbagai penjuru dunia.. Risiko kesehatan dari PFAS tidak hanya terbatas pada pencemaran lingkungan secara langsung. Zat ini dapat terakumulasi dalam tubuh melalui rantai makanan, misalnya pada ikan dan seafood, sehingga akhirnya masuk ke dalam tubuh kita dalam konsentrasi yang lebih tinggi.


Selain itu, terdapat bukti ilmiah yang menunjukkan bahwa hampir semua orang telah terpapar PFAS, yang dapat mengurangi efektivitas vaksinasi. Bahaya lain PFAS adalah potensi merusak organ vital tubuh seperti hati dan tiroid. Studi yang dilakukan antara tahun 2014 dan 2017 terhadap sampel darah anak-anak di Jerman menemukan keberadaan PFAS dalam setiap sampel yang diuji. Penelitian ini menggarisbawahi betapa luasnya paparan zat berbahaya ini pada populasi.


Pada level regulasi, Uni Eropa telah melarang penggunaan beberapa jenis PFAS, namun masih terdapat lebih dari 4.700 jenis dalam kelompok zat ini. Upaya yang sedang dilakukan oleh berbagai Lembaga perlindungan konsumen dan pencinta lingkungan, termasuk Umweltbundesamt (Lembaga Pelestarian Lingkungan) Jerman, adalah untuk mengajukan larangan terhadap seluruh produk yang mengandung PFAS,


Sebuah survei oleh Bund fr Umwelt und Naturschutz Deutschland (BUND/ Asosiasi Perlindungan Lingkungan dan Alam Jerman) pada tahun 2021 menemukan bahwa hampir semua sampel kemasan makanan cepat saji dan peralatan makan sekali pakai yang diuji mengandung PFAS. Bagi konsumen, sulit untuk mengidentifikasi kemasan yang mengandung PFAS tanpa analisis laboratorium, meskipun kemasan tersebut mungkin terlihat ramah lingkungan.


Terkait situasi ini, penting bagi kita untuk meningkatkan kesadaran akan bahaya PFAS dan mempertimbangkan alternatif yang lebih aman untuk kemasan makanan. Dengan mendorong peraturan yang lebih ketat dan memilih produk yang tidak menggunakan PFAS, kita dapat berkontribusi pada upaya mengurangi risiko kesehatan dan melindungi lingkungan.

Karenanya, di masa seperti Ramadhan saat ini, mari kita bijak menjaga kesehatan tubuh kita dan melindungi lingkungan kita. Salah satunya, dengan mengurangi memakai kemasan pangan yang tidak kita perlukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun