Mohon tunggu...
Suhendra L. Hardi
Suhendra L. Hardi Mohon Tunggu... pendidik -

Bilai ketulusanmu tidak dihargai, balaslah ia dengan keikhlasan, lalu pergilah sejauh mungkin, tanpa pernah mengingat-ingat lagi |Menikmati Utopia Kehidupan|

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dari HAM, Saya Belajar Mengabaikan Murid Saya

4 Juli 2016   10:17 Diperbarui: 4 Juli 2016   10:29 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kita yang lahir di era sebelum tahun 1990 tentu akrab sekali dengan hukuman guru. Saya ingat ketika saya lalai membersihkan asrama, padahal saat itu adalah jadwal piket saya, oleh guru asrama saya di dihadiahi 10 kali pukulan mistar besi sepanjang 1 meter di kedua telapak tangan saja. Saya hanya bisa menutup mata dan merasakan keram, mati rasa, pasca pemukulan itu. Atau ketika saya SD, saya di jewer oleh guru ketika membuat keributan di dalam kelas. 

Dan banyak lagi hal lain yang, mungkin untuk ukuran `generasi pelajar manja` saat ini, itu sangat layak untuk diadukan ke orang tua dan di bawa ke meja hijau. Tapi, kami semua saat itu paham, bahwa selalu ada konsekuensi atas setiap kesalahan. Bila ditegur tidak mempan, maka pengadaan kekerasan fisik menjadi lumrah bagi kami. Setidaknya kami lalu kuat, tidak lembek, bermental patriot, memperbaiki kesalahan dan menghormati guru-guru kami.

Kejadiannya serba terbalik kini. Atas nama HAM banyak pelajar dididik menjadi kaum `banci`. Yang sok kuat dan gagah, sok preman dan berani, tetapi sekali cubit langsung lapor polisi. Kalu kita telaah beberapa kasus kekinian, seperti kasus Bapak Samanhudi, rupanya bukan saja anaknya yang bermental `banci`, tetapi akar terpenting adalah cara didik orang tuanya. 

Pelaporan Bapak Samanhudi jelas dilakukan oleh ayah dari anak `lembek` yang dicubit oleh gurunya. Ini kajian yang rumit, dimana peran orang tua yang harusnya mendidik dan menanamkan budi pekerti dan rasa hormat, justru menjadi biang masalah utama. Tanpa malu, dan merasa yakin anaknya selalu diliputi benar, orang tua menurunkan harga diri guru anaknya tepat di hadapan anaknya.

Kasus orang tua `gagal` seperti ini cukup banyak saya temukan. Pernah saya melihat seorang ayah datang dan marah-marah di sebuah sekolah karena di nilai rapor anaknya pada penilaian sikap mendapat predikat `C`. Persis yang ditunjukkan oleh ayahnya, si anak pun dengan lancang memaki-maki gurunya karena memberi nilai C. 

Pada kesempatan itu saya lihat bagaimana proses gagalnya pembinaan karakter dan budi pekerti diawali dari gagalnya orang tua menunjukkan perilaku hormat tersebut. Sangat disayangkan memang, seharusnya orang tua adalah orang terdekat siswa yang membantu melakukan evaluasi terhadap pencapaian anak, bukan penuntut yang terus mengharapkan nilai A, sementara secara fakta anaknya sangat jauh dari kepantasan memperoleh nilai A, bahkan nilai C itu sudah terlalu baik, bila boleh sangat pantas mendapat predikat 3 tingkat di bawah itu.

Pada akhirnya, kasus demikian akan semakin sering kita temukan. Bahkan mungkin kita adalah sebagian dari orang tua `gagal` yang dengan bangga membenarkan semua tindak anak kita. Lalu bila pada akhirnya karakter anak kita sangat jauh dari etika, kita lantas menyalahkan sekolah yang tidak dapat mendidik karakter anak kita. Kita adalah orang tua lupa, yang tidak tahu bagaimana cara menanamkan karakter santun pada anak kita. Kita mengharapkan pendidikan terbaik di sekolah tapi lupa mengajak anak kita bangun di subuh hari untuk berangkat ke masjid solat berjamaah.

Mengingat kasus penuntutan guru yang kian marak, saya menyerukan pada guru baik dan visioner di Indonesia, untuk membuat perlawanan. Baik sekali dengan tagar #GuruMelawan. Caranya bukan dengan tindakan kekerasan, tapi dengan gerakan mengabaikan siswa bermasalah, atau siswa yang gemar menyalahkan gurunya, atau siswa yang orang tuanya sering menuntut perbaikan karakter tapi orang tuanya sendiri pun justru yang merobohkan tiang upaya perbaikan budi pekerti di rumahnya. Siswa yang tidak sadar diri, orang tua yang tidak tahu diri, adalah paket khusus untuk didiamkan dan diabaikan.

Bila kita hanya punya 100% energi peduli, maka memikirkan siswa-siswa bermasalah itu saja akan menguras sampai 80% energi kita. Itu pun hanya berakhir dengan pengulangan kejadian atau pelaporan ke polisi karena ikut campur kita dalam pembenahan karakter yang itu nyata dibenarkan sebagai pelanggaran HAM. Maka dari pada memikirkan anak yang tidak mau dipikirkan, lebih baik kita memikirkan mereka yang mau dipikirkan saja. Dalam satu sekolah pasti kita akan menemukan tiga golongan siswa. Golongan anak soleh berprestasi, golongan anak biasa-biasa, dan golongan anak yang merepotkan.

Hayuk gunakan 100% energi peduli kita dengan bijak. Abaikan mereka yang sering mengabaikan guru, dan beri perhatian bagi anak-anak yang layak untuk diperhatikan. Jaga progres prestasi golongan siswa pertama, berikan perhatian khusus dan lebih untuk menaikkan kelas siswa golongan ke dua, dan abaikan saja anak golongan ke tiga. Mereka memiliki HAM untuk hidup mereka.

Saya teringat sebuah quotes `Bila ketulusanmu tidak dihargai, balaslah orang itu dengan keikhlasan, lalu tinggalkan ia tanpa pernah mengingat-ingat lagi`. Seorang guru harus berani mempertahankan asas mulia profesi mereka. Bila atas nama HAM guru mudah sekali di penjara, maka dari HAM pula kita belajar mengabaikan siswa `banci` dan orang tua `gagal` itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun