Kekosongan peran yang dihadirkan oleh parpol tersebut kemudian di isi oleh berbagai model gerakan relawan demokrasi. Masuknya relawan dalam pemenangan pemilu merupakan inovasi politik akibat menurunnya kinerja parpol dalam menjalankan tugasnya. Tokoh -- tokoh organisasi relawan pada umumnya memiliki modal sosial yang cukup memadai di masyarakat walaupun segmentasinya terbatas dikalangan tertentu, misalnya sebatas dibidang profesi dan keagamaan. Akan tetapi umumnya ia memahami akar persoalan sekaligus memiliki kedekatan dengan masyarakat, karena memang lebih banyak hadir dalam persoalan keseharian masyarakat sebagai pusat kegiataanya. Suatu tugas mulia yang seharusnya diperankan oleh parpol. Padahal parpol secara kelembagaan memerlukan basis massa untuk menyokong eksistensinya. Basis massa tersebut bukan sekedar sumber dukungan pada saat pemilu tetapi sebagai tolak ukur bahwa mesin parpol bekerja dengan baik dan mampu melakukan penetrasi ideologi dalam kehidupan masyarakat.
Hasil studi mengenai afiliasi ideologi pemilih terhadap parpol menunjukkan bahwa parpol tidak memiliki basis massa yang kuat. Survei Poltracking Indonesia pada Mei 2022 menunjukkan bahwa masyarakat cenderung memilih figur personal (51,4%) ketimbang parpol (14,5%). Tren tersebut timbul karena rendahnya kesadaran politik masyarakat. Hal itu terjadi karena pendidikan politik, konsistensi dan kualitas kinerja parpol secara institusi maupun lewat anggota legislatif dan pejabat eksekutifnya kurang memadai. Suatu realitas yang turut mendorong menguatnya pragmatisme politik di akar rumput.
Sedangkan tata kelola pemilu dan demokrasi perlu memberi ruang kepada rakyat untuk memperoleh ruang kendali daripada parpol terhadap demokrasi. Demikian sejatinya sistem pemilu dalam membangun demokrasi. Sebab sudah menjadi tugas parpol untuk memperbaiki citra dan memperkuat mesin politiknya agar bisa hadir sebagai institusi yang mandiri, kuat, dan bercitra baik. Oleh sebab itu, parpol dalam menjaring kontestan -- calon legislatif, calon kepala daerah, calon presiden -- agar tidak sekedar melihat popularitas, kekuatan finansial, dan pemenuhan kuota, akan tetapi perlu lebih fokus kepada kapasitas personal dalam memahami akar persoalan di masyarakat.
Inovasi Politik Pemenangan Pemilu Presiden
Kehadiran Relawan Demokrasi sebagai organisasi pemenangan pada Pemilu Presiden (Pilpres) tahun 2014 tidak bisa dinafikan lagi, walaupun pada Pilpres tahun 2004 sudah ada kiprah relawan pemenangan semacam KIP SBY (Komite Independen Pemenangan Susilo Bambang Yudhoyono). SBY dalam pemilihan Calon Wakil Presiden di Sidang Umum MPR RI tahun 1999 telah masuk nominasi walaupun gagal. Karena itu, lahirnya Partai Demokrat sebagai kontestan Pemilu Legislatif sampai kemudian menjelma menjadi kendaraan politik SBY -- JK pada Pilpres tahun 2004 dinilai sebagai sesuatu yang jamak. Berbeda dengan Joko Widodo, seorang Gubernur DKI Jakarta, mantan Walikota Kota Solo, bukan Ketua Umum / elit partai politik, tetapi Joko Widodo berhasil menjadi Presiden selama dua periode.
Hal lain yang membedakan eksistensi Relawan dalam melakukan Gerakan pemenangan Pilpres tahun 2004, 2009 dan 2014 dengan tahun 2019 dan tahun 2024 adalah waktu pelaksanaan Pilpres yang berbeda dengan Pileg (Pemilu Legislatif). Pemilu tahun 2019 dan 2024 dilakukan bersamaan antara Pileg dengan Pilpres, sehingga bisa dikatakan lebih obyektif dalam mengukur kinerja Relawan dalam melakukan operasi pemenangan Pilpres. Sebab, pada saat waktu penyelenggaraan Pilpres berbeda dengan Pileg, maka kinerja mesin parpol dengan relawan sulit untuk dipisahkan, karena semua kader, anggota dan simpatisan partai memiliki agenda yang sama dengan organ relawan pemenangan Pilpres. Berbeda dengan pelaksanaan  Pileg dan pilpres yang dilakukan  secara bersamaan, dimana fokus partai pengusung paslon capres dengan seluruh struktur partai bekerja bisa diukur. Sebab, pada momentum yang demikian merupakan periode yang tepat mengukur kinerja, militansi, totalitas antara intrumen kelembagaan partai dengan relawan bisa disandingkan.  Â
Kedekatan Joko Widodo atau populer dengan sebutan Jokowi dengan relawannya terjalin dengan baik. Berbagai organisasi relawan pendukung Jokowi dalam berbagai kesempatan banyak dilibatkan menangani masalah pemerintahan dan problem kemasyarakatan. Inovasi politik Jokowi dengan gerakan relawan bisa ditelisik saat Pilkada DKI Jakarta. Baju Kotak -- Kotak sebagai brand kampanye Jokowi di Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 menjadi raw model kampanye, menggerakan pemilih sampai ke TPS dan model pengamanan suara selama proses rekapitulasi. Baju Kotak -- Kotak menjadi inovasi paket pemenangan yang efektif. Wajar bila kemudian kemenangan Jokowi pada Pilkada DKI Jakarta dianggap mencerminkan dukungan populer kepada seorang pemimpin yang sederhana. Popularitas Jokowi terus menanjak tajam sampai menjadi sorotan media nasional dan internasional. Berbagai hasil survei menunjukkan bahwa nama Jokowi selalu unggul, sehingga PDIP dan partai-partai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mendapuknya sebagai calon Presiden berpasangan dengan Jusuf Kalla sebagai Cawapresnya.
Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merupakan gabungan partai politik pengusung Joko Widodo -- Jusuf Kalla melawan Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai gabungan partai politik yang mengusung Prabowo Subianto -- Hatta Rajasa pada pemilu 2014. Koalisi Indonesia Hebat memiliki 208 (37.14%) kursi di DPR RI, yang terdiri dari 109 kursi (18.95%) dari PDIP; 36 kursi (6.42%) dari Partai NasDem; 47 kursi DPR (8.39%) dari PKB dan 16 kursi (2.9%) dari Partai Hanura. Sedangkan PKPI tidak mendapatkan satu kursipun di DPR karena Ambang Batas yang tidak mencukupi. Syarat mendapatkan kursi DPR RI adalah 3.5% minimal suara nasional sebagai Ambang Batas. KPU menyatakan bahwab Joko Widodo -- Jusuf Kalla menang dengan 53.15% suara atau 70,997,859 suara pemilih, sementara Prabowo Subianto -- Hatta Rajasa mendapatkan 46.85% suara sah atau 62,576,444 suara pemilih di Pemilu Presiden tahun 2014.
Bandingkan dengan perolehan suara dari partai -- partai politik KIH sebagai partai pengusung Joko Widodo -- Jusuf Kalla yaitu sebesar 52,931,575 suara sah. Jadi apabila dibandingkan dengan perolehan Suara Presiden -- Wakil Presiden terpilih dengan perolehan suara partai -- partai KIH pada pemilu tahun 2014 ternyata ada disparitas suara sebanyak 18,066,284 suara sah. Anomali antara perolehan suara Presiden terpilih dengan partai pengusungnya belum bisa disimpulkan dengan lebih akurat mengingat penyelenggaraan Pilpres dan Pileg yang tidak  dalam  satu waktu. Hipotesa atas perbedaan perolehan suara antara parpol KIH sebagai partai pengusung dengan raihan suara dari Capres - Cawapres Terpilih merupakan hasil inovasi politik di luar kelembagaan kinerja partai politik.
Anomali perolehan suara antara partai pengusung Calon Presiden dengan Presiden terpilih menjadi semakin terang pada hasil Pilpres tahun 2019 dan 2024. Sebab Pilpres dan Pileg dilakukan secara bersamaan, dalam satu waktu, sehingga bisa memberikan gambaran utuh guna menilai kinerja parpol dalam memenangkan agenda utamanya yaitu menang Pilpres dan Pileg secara bersamaan. Akan tetapi, posisi Joko Widodo sebagai Calon Presiden patahana; Kompetitor Joko widodo sebagai Capres tetap Prabowo Subianto, dimana perubahan hanya terjadi pada Calon Wapres masing-masing; perubahan peta koalisi parpol dengan Pilpres sebelumnya; hadirnya parpol baru sebagai kontestan Pemilu 2019; Dan keberadaan relawaan demokrasi yang bekerja untuk memenangkan Pilpres perlu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh karena saling berkelindan antara yang satu dengan yang lainnya. Jadi, memotret hasil perolehan suara Pileg dan Pilpres tahun 2019 secara sepintas bisa menimbulkan kerancuan tersendiri bila dilakukan secara parsial.
Adapun perolehan suara pasangan calon Joko Widodo - Ma'ruf Amin adalah 85,607,362 atau 55.5% suara sah pemilu 2019. Perolehan suara Presiden terpilih tersebut jauh lebih kecil apabila dibandingan dengan koalisi partai pengusung (Koalisi Indonesia Maju), yaitu 86,801,597 suara sah. Artinya, selisih perolehan suara parpol pengusung lebih besar bila dibandingkan dengan Presiden terpilih yaitu sebanyak 1,194,235 suara sah. Namun demikian, selisih perolehan suara tersebut belum dapat mencerminkan faktor-faktor yang membuat kinerja relawan bisa dikesampingkan begitu saja. Sebab, pada saat membandingkan peningkatan perolehan suara Joko Widodo -- Jusuf Kalla dengan Joko Widodo -- Ma'ruf Amin yaitu dari 70,997,859 suara pemilih pada pemilu 2014 menjadi 85,607,362 suara pemilih di pemilu 2019 merupakan lonjakan suara yang sangat signifikan. Jokowi mengalami peningkatan suara sebanyak 14,609,503 suara sah setelah menjadi Presiden selama lima tahun atau satu periode.