Inspektur Jenderal ATR/BPN memberikan sanksi terhadap 125 Pegawai ATR/BPN yang terlibat dalam praktek mafia tanah pada pertengahan Oktober 2021. Ada 125 Pegawai yang dijatuhi sanksi dengan rincian 32 pegawai mendapatkan hukuman berat, 53 orang dihukum disiplin sedang, dan 40 orang dihukum disiplin ringan. Tindakan tegas tersebut patut diapresiasi. Walaupun tindak pidana oknum pejabat ini tetap harus mendapatkan sanksi lebih lanjut mengingat dampak yang ditimbulkan. Demikian halnya dengan Polda Banten yang telah menangkap oknum BPN Kabupaten Lebak yang diduga terlibat dalam praktik mafia tanah. Namun demikian, efek kejut dari gebrakan itu nampaknya hanya bertahan sebentar saja. Apalagi beberapa waktu belakangan justru tidak ada gebrakan lebih lanjut. Inilah wajud nyata dari pemberantasan mafia tanah yang dilakukan dengan setengah hati.
Praktik mafia tanah pun terus berlangsung di sekitar kita. Jaksa Agung mengakui kejahatan yang dilakukan komplotan mafia tanah ini seolah tidak terlihat, tetapi kegiatan mereka sangat nyata merugikan rakyat. Praktek mafia tanah juga berpotensi menjadi penghalang dari pelaksanaan reforma agraria yang menjadi program prioritas pemerintah, karena kerap menimbulkan konflik agraria dan sengketa pertanahan.
Upaya pemberantasan mafia tanah harus terus dijaga dengan mendorong keterlibatan Pemerintah Daerah dan pengawasan secara langsung oleh masyawarakat. Dukungan aktif dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Ombudsman RI tentu sangat dinantikan. Sebab, kedua lembaga ini dinilai akan memperkuat ruang penindakan kepada para mafia tanah dari segi korupsi, kolusi, nepotisme, dan maladmistrasi. Terlebih lagi dengan adanya perubahan peraturan yang begitu cepat, UU Cipta Kerja yang disahkan, waluapun sempat ditolok melalui Mahkamah Konstitusi RI, namun UU Nomor 2 / 2022 sebagai hasil dari penetapan Peraturan Pemerintah Penganti Undang-undang nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja telah efektif. Pengesahan UU Cipta Kerja dikhawatirkan bisa menyebabkan berbagai kontradiksi, bahkan berpeluang melindungi praktik mafia tanah itu sendiri.
Disamping praktek mafia tanah yang masih marak, ternyata beberapa peraturan justru membuka celah bagi timbulnya konflik agraria di tanah air.Â
Gambaran nyata atas kondisi ini bisa dilihat dari adanya pertentangan mengenai ketentuan perpanjangan atau pembaharuan HGU.  Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu  tertentu untuk usaha pertanian, perikanan, dan peternakan. Di dalam Pasal 6 Peraturan Presiden RI No. 18 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, tanah HGU dan HGB yang telah habis masa berlakunya serta tidak dimohonkan perpanjangan dan/atau tidak dimohonkan pembaharuan haknya maka dalam jangka waktu satu tahun setelah haknya berakhir dijadikan sebagai salah satu objek redistribusi tanah. HGB (Hak Guna Bangun) ialah kewenangan yang diberikan oleh pemerintah atau suatu hak yang didapatkan untuk menggunakan lahan yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu 30 tahun dan dapat diperpanjang maksimum 20 tahun. Akan tetapi, pada Pasal 79 ayat (1) Peraturan Menteri ATR/BPN Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah, diatur bahwa tanah HGU kembali menjadi tanah negara apabila setelah waktu pemberian / perpanjangan berakhir dan dalam jangka paling lama dua tahun tidak dimohonkan.Â
Dari dua ketentuan itu saja telah terjadi dualisme pengaturan terhadap mekanisme pengembalian tanah negara yang bersumber dari tanah HGU yang sudah berakhir. Ditambah dengan ketentuan pada Pasal 79 ayat (2) yang mengatur tentang wewenang Menteri ATR/BPN yang masih memberikan "prioritas" kepada bekas pemegang hak untuk mengajukan permohonan pemberian hak kembali. Menteri juga bisa memberikan tanah negara tersebut kepada Badan Bank Tanah dengan Hak Pengelolaan. Hal semacam ini  justru menunjukan bahwa peraturan yang tidak konsisten dapat membuka kembali celah bagi mafia tanah untuk beraksi, padahal sedang gencar melakukan kerja-kerja pemberantasan mafia tanah.
*** --- ***
Note :
* tulisan disampaikan kepada FH Universitas Jakarta pada 2023
** penulis merupakan salah satu korban mafia tanah di Kota Depok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H