Selain daripada itu, selayaknya, setiap WNI bebas menetap disetiap wilayah NKRI dan mendapatkan jamainan untuk hal tersebut. Bahkan bila diperlukan, Pemda Jakarta harus menyediakan pemukiman yang layak dan terjangkau oleh warganya untuk hunian, bukan menggusurnya. Bukankah demikian seharusnya pemerintah menjalankan tugas dan fungsinya.
Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Provinsi DKI Jakarta, Budi Awaluddin mengatakan bahwa ada 194.777 penduduk yang NIK-nya akan di non aktifkan pada tahun 2022 demi ketertiban administrasi penduduk, mengurangi potensi kerugian keuangan daerah, mengurangi potensi golput, dan menghindari penyalahgunaan dokumen kependudukan oleh masyarakat.Â
Selain itu, Budi Awaluddin juga menyatakan bahwa ada tren statistik urbanisasi dari luar DKI Jakarta sebanyak 80 persen pendatang yang berpendidikan SLTA ke bawah, dengan kisaran 40-50 persen berpenghasilan rendah, dimana sekitar 20 persen menempati wilayah RW yang termasuk katagori kumuh.
Alasan mengurangi potensi kerugian keuangan daerah sejatinya lahir dari kesadaran bahwa pemerintah daerah merasa tidak memiliki tanggungjawab dalam mensejahterakan rakyatnya. Kesadaran tersebut tidak bertolak dari konstitusi bahwa negara harus menjamin kehidupan fakir miskin dan anak terlantar.
Sementara alasan soal tren urbanisasi bila merujuk kepada data Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang menemukan fakta bahwa 55 persen populasi dunia telah tinggal diperkotaan pada tahun 2018. Hal ini sejalan dengan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang memproyeksikan bahwa tahun 2035 jumlah penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan akan mencapai 66,6 persen.Â
Namun demikian, angka pelaporan kedatangan penduduk dari luar provinsi Jakarta justru mengalami penurunan berdasarkan data yang di monitor oleh BPS pada bulan Maret – Mei 2021 yaitu 13.047 pada bulan Maret, menurun menjadi 11.636 pada bulan April, dan kembali mengalami penurunan di bulan Mei di tahun yang sama menjadi 7.189 orang. Terjadi penurunan jumlah kedatangan penduduk dari luar Jakarta sebesar 44, 90 persen atau 5.858 jiwa pada tahun 2021 menegaskan bahwa argumentasi ada tren peningkatan urbanisasi dari luar Jakarta patut dipertanyakan.
Berikutnya adalah soal warga berpenghasilan rendah atau identik dengan pengangguran dan kemiskinan. Jumlah penduduk miskin menurut data demografi DKI Jakarta pada bulan Maret tahun 2018 sebesar 373,12 ribu jiwa yang mengalami penurunan di bulan yang sama pada tahun 2019 menjadi 356,55 ribu jiwa. Penurunan angka kemiskinan di Jakarta cukup konsisten sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2019. Dan perlu diketahui bahwa data kemiskinan pada tahun 2015 sebesar 398,92 ribu. Jadi alasan Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta sebagai dasar melakukan kebijakan penonaktifan NIK warga DKI Jakarta karena penduduk berpenghasilan rendah selain tidak relevan, sekaligus berlepas tangan atas kewajibannya mensejahterakan setiap warga Jakarta.
Terkait dengan angka Golput di Jakarta, perlu dikomparasi dari pemilu ke pemilu, selain komparasi antar provinsi perlu pula dikomparasi dengan partisiasi pemilih secara nasional. Partisipasi pemilih pada pemilu legislatif secara nasional mencapai 91,4 persen pada 1955, data ini mengalami peningkatan pada pemilu tahun 1971 menjadi 96,6 persen. Justru partisipasi pemilih mengalami penurunan pada pemilu 1999 yang menjadi 92,7 persen, dimana angka itu merupakan yang terendah sejak pelaksanaan pemilu 1971. Walaupun pada pemilu 2014 partisipasi pemilih mencapai 75,11 persen dan kembali mengalami peningkatan pada pemilu 2019 yaitu sebesar 81,69 persen.Â
Pada pemilu legislatif tahun 2019 partisipasi pemilih Provinsi DKI Jakarta memang rendah karena mencapai 73,8 persen dengan total Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebesar 9,75 juta jiwa.Â
Pertanyaannya kemudian adalah, apakah betul rendahnya partisipasi warga DKI Jakarta pada pemilu legislatif akibat ada 194.777 NIK (pemilih) yang tidak menetap di Jakarta! Padahal menurut data Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2017 ternyata partisipasi pemilih justru mengalami peningkatan antara putaran pertama yang  berkisar 75,75 persen menjadi 78 persen pada putaran kedua.
Selain itu, partisipasi warga Jakarta juga lebih tinggi apabila dibandingkan dengan pemilu legislatif. Artinya, alasan menonaktifkan NIK untuk mengurangi Golput di Provinsi DKI Jakarta akibat rendahnya partisipasi pemilih dengan melakukan penggusuran terhadap 194.777 NIK warga Jakarta kembali tidak menemukan urgensinya, kecuali dalam rangka melempangkan agenda politik tertentu dari kelompok tertentu.