Namun lain halnya dengan mereka yang pernah dijadikan Tahanan Politik / Narapidana Politik selama rejim Orde Baru akibat keterlibatannya dengan PKI, baik langsung maupun tidak lansung. Luka batin, trauma, kemarahan, maupun dendam akibat perlakuan tidak adil oleh lawan-lawan ideologis mereka yang kemudian berkuasa selama pemerintahan Orde Baru menjadikan luka - luka mereka semakin perih tiada terkira.Â
Simpatisam PKI sebagai kelompok yang terpinggirkan, ditambah dengan penguasaan teori revolusi dan pengalaman gagal dalam melakukan suatu aksi revolusi sehingga menjadi aksi kontra revolusi menyisakan pengalaman getir yang amat mendalam. Kritik oto kritik menambah rasa penasaran sekaligus meningkatkan gairah radikalime.
Kegetiran demi kegetiran menjadikan kelompok tersebut memilih tampil dalam berbagai bentuk paguyuban berlabelkan agenda sosial budaya, membantuk lembaga dan LSM dalam rangka merawat jaringan, menjaga eksistensi, sarana transformasi ide dan nilai-nilai, sekaligus menjadi trauma healing bersama atas kengerian tragedi kemanusiaan sepanjang era 1960an.
Dalam perjalanannya, sejumlah pihak mensinyalir bahwa ada sejumlah orang yang berhasil direkrut dan dipengaruhi untuk menerima faham komunisme. Kader yang berhasil direkrut pada umumnya bersumber dari dua jalur yaitu Turunan dan Tularan.Â
Turunan ialah anak, cucu dan famili dari simpatisan PKI termasuk organisasi underbouwnya. Sedangkan Tularan ialah orang yang berhasil dipengaruhi sehingga berpaham marxisme - leninisme dan bersedia terlibat dalam kegiatan dan program mereka. Walaupun jumlah kader tularan ini bisa dibilang sangat sedikit atau bisa dikatakan tidak ada.
Jadi wacana musiman tentang kebangkitan PKI sesungguhnya tidak terlepas dari kondisi yang ada di tanah air dimana korban akibat kebijakan Orde Baru beserta keluarganya cukup besar jumlahmya. Sedangkan tabir atas penuntusan peristiwa tersebut lebih sebagai komoditas politik.
Selain itu, kondisi IPOLEKSOSBUD di masyarakat memang sangat memungkinkan bagu tumbuhnya ideologi radikal, ekstrimisme, dan revolusioner semacam Komunisme. Oleh sebab itu, memahami wacana musiman tentang kebangkitan PKI sebagai upaya menjaga memori tragedi kemanusiaan 1965 / 66 dengan segala trauma yang ditimbulkannya bisa didekati dari tiga perspektif kepentingan, yaitu :
Pertama, bagi simpatisan dan keluarga PKI. Tragedi 1965 merupakan memori kolektif kekalahan politik dalam melalukan aksi sepihak. Walaupun dalam banyak kesempatan mereka lebih banyak mengemukakan sebagai kelompok yang menjadi korban fitnah dan pesakitan.Â
Namun demikian, Bung Karno dalam pidatonya yang berjudul Nawaksara tidak memungkiri adanya oknum PKI yang keblinger. Bahwa kemudian banyak anggota, simpatisan maupun masyarakat biasa yang tidak tahu - menahu bahkan menjadi korban amuk politik adalah permasalahan keadilan yang tidak akan pernah tuntas dalam pendekatan keadilan substantif;
Kedua, pihak yang lebih menekankan kepada momentum peringatan agar kejadian semacam G30S Â tidak terulang kembali sehingga perlu memastikan bahwa PKI tidak memiliki ruang untuk bangkit dan eksis di Indonesia, apalagi telah ada payung hukimnya. Kewaspadaan itu karena mengingat ideologi revolusioner PKI yang sangat digandrungi oleh masyarakat yang terperangkap dalam kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan, sehingga Indonesia bisa dengan mudah menjadi persemaian untuk melakukan revitalisasi komunisme. Jadi lebih kepada mengeliminasi potensi ancaman atas ketentraman yang telah tercipta sejak PKI dilarang;
Ketiga, apabila kedua kelompok tersebut diatas dengan mudah ditelusuri dari ekspresi gerakan, sesungguhnya perspektif ketiga ini nyaris lepas dari pengamatan. Karena  kelompok ini adalah mereka yang sengaja memelihara memori bahaya laten PKI, trauma korban PKI, trauma korban orde baru, trauma di-PKI-kan. Padahal kelompok - kelompok itu belum tentu menyadari bahwa mereka telah dijadikan obyek komoditas politik melalui sintemen kelompok yang di kelola sedemikian rupa.Â