Mohon tunggu...
Achmad Suhawi
Achmad Suhawi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Politisi Pengusaha

MENGUTIP ARTIKEL, Harap Cantumkan Sumbernya....! "It is better to listen to a wise enemy than to seek counsel from a foolish friend." (LEBIH BAIK MENDENGARKAN MUSUH YANG BIJAK DARIPADA MEMINTA NASEHAT DARI TEMAN YANG BODOH)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pancasila Ideologi Negara atau HIP - hop

16 Juni 2020   19:13 Diperbarui: 2 Juni 2023   13:35 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Eksistensi Pancasila sebagai ideologi belakangan ini tengah menjadi perhatian yang cukup luas ditengah-tengah masyarakat. Berbagai diskursus mengemuka seiring dengan mencuatnya RUU HIP atau Rancangan Undang-undang Haluan Ideologi Pancasila. Ada yang dilandasi dengan romantisme masa lalu; ada yang dibangun dengan prasangka sebagai suatu sikap waspada; Dan ada pula yang melihat sebagai suatu peluang untuk infiltrasi demi memuluskan agenda strategis dikemudian hari. 

Eksistensi Pancasila memang selalu di uji disetiap jaman, sampai kemudian ada peringatan Hari Kesaktian Pancasila  setiap 1 Oktober, bukan itu saja, Pancasila juga memiliki 2 hari lahir yaitu 18 Agustus 1945 dimasa Orde Baru, dan 1 Juni 1945 setelah 2016. Berbagai upaya dalam rangka membumikan Pancasila sering dilakukan, dimasa Orde Lama melalui diskursus-diskursus, dimasa Orde Baru melalui kurikulum pendiddikan, -- setelah reformasi 1998 kurikulum pendidikan pancasila sempat dihapuskan -- penataran p4 dicanangkan setelah dilakukan redefinisi melalui butir-butir pancasila, selain daripada itu ada pelatihan 4 pilar dari MPR RI. 

Dan BPIP beberapa tahun belakangan banyak melemparkan wacana “aneh”. Walaupun langkah kongkrit BPIP belum kelihatan dalam upaya membumikan pancasila itu sendiri. Barangkali akibat keterbatasan infrastruktur dan daya dukung sehingga tidak masif dalam menjalankan program.


Pancasila sebagai ideologi memang perlu diinternalisasi agar bisa menjadi tata nilai dalam perikehidupan nasional kemasyarakatan ditengah derasnya arus perubahan yang terjadi, apalagi pertentangan ideologi sudah bukan lagi bipolar selayaknya abad ke-19, sebagaimana pandangan Bertrand Russel. Sebab tata dunia sudah bisa dikatakan interdependent tetapi ideologi sebagai way of life sejatinya mengalami multipolar dan sangat kompleks. Walaupun ada pula para pendukung Daniel Bell yang beranggapakan bahwa ideologi telah berakhir, seiring dengan beralihnya megaproyek rekayasa sosial kepada ide-ide mikro yang lebih sporadis tanpa konstruksi. Oleh sebab itu, Pancasila sebagai ideologi perlu diinternalisasikan atau dibumikan agar bisa menjadi landasan kesadaran dalam kehidupan nasional sebagai suatu negara bangsa.

Sejatinya setiap manusia Indonesia menyadari bahwa Pancasila adalah konsensus yang mempersatukan segala bentuk keberagaman ide yang tersebar diantara gugusan pulau-pulau se-nusantara. Namun demikian, dalam interpretasi atau proses pendefinisian sebagai langkah awal untuk aktualisasi nilai-nilai pancasila dalam praktek kehidupan kenegaraan seringkali mengalami goncangan sosial politik. Mendiagnosa pangkal pokok dari persoalan tersebut amat diperlukan. Interpretasi secara holistik menjadi bagian dari cetak biru reaktualisasi dan revitalisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan ditengah segala permasalahan yang dihadapi.

Pancasila sebagai ideologi  dalam implementasinya selalu menuai pertentangan. Bahkan tidak jarang menghadapi cobaan melalui sejumlah upaya mengganti dengan paham selain pancasila atau cara yang lebih smart yaitu dengan memberikan penafsiran sesuai agenda kelompok kepentingannya. Hal ini terjadi karena the founding fathers hanya berkonsensus kapada rumusan Pancasila sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Padahal, begitu Pancasila menjadi ideologi maka ia membutuhkan instrumen aktif dan pemahaman yang komprehensif untuk bisa diaktualisasikan sebagai dasar hidup bernegera. Kenyataan ini terungkap pada pidato Bung Karno tanggal 1 Juni 1945 yang menganjurkan soal pengamalan pancasila, Weltanschauung, didalam kerja keras dari setiap kelompok dan golongan dalam memenangkan cita-cita ideologinya ditengah masyarakat. Realitas ini menjadi dasar kealpaan rezim Orde Baru dalam mencanangkan Azas Tunggal sehingga menimbulkan komplikasi cukup serius dalam kehidupan masyarakat. Artinya, ide – ide yang berkembang pada masa BPUPKI- PPKI tetap punya ruang eksistensinya ditengah masyarakat hingga kini. Demikian halnya dengan kebebasan untuk menginterpretasikan bahwa ide yang diperjuangkan tetap sejalan dan senafas dengan Pancasila, kecuali Komunisme setelah adanya Tap MPRS No. XXV/1966.

Kehendak membumikan dan menafsirkan pancasila sebagai weltanschauung di bumi Indonesia belum menemukan konsensus yang paripurna akibat penerimaan terhadap pancasila sebagai dasar Indonesia merdeka masih dilandasi dengan interpretasi subjektif dari kelompok masing-masing. Pancasila sebagai ideologi ternyata baru sampai kepada racikan saripati ide-ide yang berkembang ditengah-tengah masyarakat yang digali dan ditangkap dengan penuh kearifan dan kebijaksanaan oleh para pemimpin pergerakan kemerdekaan, tetapi belum sampai kepada kesamaan pemahaman yang dapat diaktualisasikan dengan lebih konkrit.

Pancasila sebagai suatu konsensus perlu juga dimaknai sebagai suatu kompromi dari ide-ide yang berkembang di dunia dan Hindia Belanda ketika itu, sebelum menjadi negara Indonesia. Artinya, Pancasila merupakan titik temu atau sinkretisme antara nilai-nilai tradisionalisme dengan modernisme, individualisme dengan kolektivisme, internasionalisme dengan nasionalisme, sekulerisme dengan teologisme, pemikiran dunia timur dengan dunia barat, bangsa yang terjajah dengan kehendak untuk merdeka atau bangkit melawan. Dan ide-ide tersebut masih terus eksis sekaligus membutuhkan ruang eksistensinyaa. Sehingga tafsir tunggal atau pemaksaaan pemahaman atas nilai-nilai pancasila sebagai bagian dari upaya internalisasi untuk menjadikan manusia Indonesia sebagai "manusia Pancasilais" selalu menemukan "kompetitor alamiahnya" atau dipandang sebagai suatu pengingkaran atas komitmen yang sudah dirumuskan oleh para pendiri Republik. 

Bentangan sejarah menunjukan bahwa tafsir atas pancasila sendiri belum menemukan rumusan finalnya, dimana semua arus utama pemikiran yang terangkai dalam rumusan Pancasila melalui para aktor utamanya di dalam BPUPKI - PPKI belum mufakat, sehingga menjadi tugas setiap generasi untuk menjaga, merawat, dan mengembangkan dalam tamansari keberagaman bumi pertiwi. Upaya menginternalisasikan Pancasila selalu menemukan petentangan dalam perjalanannya,  mulai dari huru hara wacana - pemikiran, sampai upaya pendongkelan dengan gerakan bersenjata. Artinya, penolakan terhadap RUU HIP merupakan peringatan bahwa ada masalah serius dalam memberikan interpretasi terhadap nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara. Resistensi tersebut tidak bisa dipisahkan dengan wacana-pemikiran yang beberapa kali menuai pro kotra. Bahkan program membumikan Pancasila semacam Empat Pilar MPR RI, BP7 dengan P4, Asas Tunggal, G30S, sidang-sidang Konstituante yang beberapa kali mengalami deadlock, DI/TII, dan Permesta, termasuk penghilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 telah menjadi sumber kekecewaan sebagian kelompok Islam.

Redefinisi atas nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari upaya menginternalisasi ideologi negara barangkali dipandang mendesak oleh sebagian yang lain, namun mengabaikan konfigurasi pemikiran yang ada didalam sidang-sidang BPUPKI – PPKI adalah praktek a-historis yang bisa menjadikan pancasila tercerabut dari akar persemaiannya. Bahkan sampai ada yang menduga bahwa ada penumpang gelap didalam gagasan HIP.

Menelusuri genetik pemikiran yang berkembang semenjak perumusannya didalam BPUPKI – PPKI dan ikhtiar yang dilakukan untuk merawat, menjaga dan mempertahankan pancasila dapat memberikan perspektif kehidupan kebangsaan yang holistik. Pemetaan bisa didekati melalui empat pendekatan, yaitu : Pertama, sebelum menyelami pemikiran dari setiap anggota BPUPKI – PPKI yang turut memberikan andil kepada perumusan Pancasila / Pembukaan UUD 1945 dengan seluruh batang tubuhnya perlu terlebih dahulu mengetahui profile dari setiap tokoh yang merepresentasi pemikiran masing-masing kelompok, semisal jawa - luar jawa, islam - non islam, pendidikan barat / luar negeri - non barat; Kedua, dalam perspektif spektrum ide bisa disederhanakan menjadi representasi Agama, representasi Kebangsaan, representasi Sosialis - komunis, representasi bangsawan - aristokrat, representasi individualisme -kapitalis. Dimana semua itu turut membentuk konfigurasi gagasan yang berkembang; ketiga, ide yang masih eksis ditengah masyarakat sampai dengan saat ini, apakah melalui partai politik, ormas, atau kelompok-kelompok tertentu; keempat, upaya yang dilakukan oleh setiap generasi dalam rangka membumikan pancasila dengan segala praktek redefinisi yang dilakukan harus dilihat sebagai upaya konkrit menginternalisasikan pancasila sebagai ideologi, terlepas dari segala kelemahan, kekurangan, dan permasalahan yang ditimbulkan. Keempat pendekatan itu merupakan upaya untuk memahami pancasila sebagai bibit ideologi dengan persemaiannya, sehingga tidak terjadi salah perlakuan didalam memupuk, mengembangkan, dan mereaktualisasi pancasila dalam kehidupan bernegara. Sebab, kegagalan dalam melakukan pemetaan hanya akan membuat ide untuk menginternalisasikan pancasila sebagai konsesus bersama teralienasi dan tercerabut dari akar persemaiannya.

Pancasila sebagai philosophische grondslag jauh tertinggal dalam implementasinya bila dibadingkan dengan teologisme seperti Islam yang mengetengahkan konsepsi syariah, kapitalisme - imperialisme dengan gagasan liberalisme, atau bahkan komunisme dalam pendekatan kolektivismenya. Bukanya hanya itu, implementasi pancasila dalam praktek kehidupan lebih sebagai jargon daripada praktek pengamalan ideologi negara, jargon tentang ekonomi pancasila, demokrasi pancasila, pancasila adalah Indonesia, dimana semua itu layaknya sebagai Hiburan Orang Payah (HOP).

Padahal Bung Karno dalam pidato kenegaraannya tahun 1960 dengan lantang mengatakan bahwa "Pancasila adalah suatu pengangkatan ke taraf yang lebih tinggi suatu hogere optrekking daripada Declaration of Independence dan Manifesto Komunis.” Artinya, Pancasila dikatakan sebagai hogere optrekking karena telah melewati pergulatan ideologis didalam sidang-sidang BPUPKI – PPKI dimana semua pemikiran dielaborasi untuk kemudian dipertemukan, baik gagasan yang bersumber kepada agama, kepada individualisme, kepada kolektifisme, kepada internasionalisme, kepada nasionalisme sampai menjadi rumusan Pancasila sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945.

Adalah Bung Karno yang mengemukakan bahwa Pancasila bisa diperas menjadi Trisila : sosio demokrasi, sosio nasionalisme, dan ketuhanan atau Ekasila yaitu Gotong Royong, dimana dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 Bung Karno juga menolak penyebutan Dharma. Artinya, Bung Karno sendiri insyaf bahwa rumusan dasar negara merupakan konsensus dari ide-ide yang tetap membutuhkan ruang eksistensi dirinya masing-masing. Sementara rumusan implementasi dari pancasila sebagai dasar negera dituangkan dalam UUD 1945 dimana ikhtiar untuk mencapai cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 bisa berbeda diantara masing-masing kelompok. Dan dengan demikian diharapan agar setiap ide yang berkembang menjadi kohesi dan turut memupuk tumbuh kembangnya Pancasila dalam tamansari keberagamana Indonesia.

Sebab, Pancasila bagi Bung Karno dan PNI ialah jalan Marhaenisme; Konsesus tentang dasar negara bagi KH. Wachid Hasyim / NU, Ki Bagus Hadikusumo / Muhammadiyah, atau kelompok - kelompok Islam dengan Masyumi sejatinya menginterpretasikan Pancasila dan UUD 1945 tidak ubahnya dengan Piagam Madinah dimana jalan yang harus dilalui ialah Syariat Islam, sedangkan gotongroyong dapat dimaknai sebagai hablum minannas; Dan tentu berbeda dengan Sakirman, kelompok marxisme dengan PKI sebagai penopangnya, memaknai Pancasila sebagai bentuk lain dari masyarakat tanpa kelas, sedangkan gotongroyong dianggap sejalan dengan konsep sama rasa sama rata. Fragmentasi pemikiran semacam ini juga timbul pada sanubari tokoh-tokoh yang ada di BPUPKI – PPKI semacam GSSJ Ratulangi dan J. Latuharhary dimana mereka bukan saja merepresentasikan tokoh luar Jawa tetapi juga Trinitas. Artinya keberadaan tokoh-tokoh pergerakan dalam sidang-sidang BPUPKI juga merupakan representasi dari berbagai spektrum ide yang ada.

Merumuskan Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dengan memberikan penafsiran secara sekulerisme nir kesadaran teologis, atau memaknai pancasila secara kolektivisme nir perlindungan hak individu, mendekati pancasila dalam kaca mata modernisme nir adat istiadat warisan luhur bangsa, menginternalisasi pancasila dengan spektrum kebangsaan nir ruang eksistensi bagi berkembangnya ide-ide lain sejatinya tidak ada bedanya dengan Hiburan Orang Payah (HOP). Sebab, Pancasila dalam perumusannya diliputi oleh suasana religius yang sangat dominan, dimana spektrum teologis masih eksis sampai saat ini. Selain daripada itu, rumusan Pancasila merupakan sinkretisme dari ide-ide yang ada dan berkembang dimana sebagian besar masih eksis lestari ditengah keseharian masyarakat. Oleh sebab itu, Haluan Ideologi Pancasila (HIP) seyogyanya menjadikan Pancasila sebagai ideologi negara dimana ide-ide yang lain semacam kebangsaan, islam, demokrasi, kemanusiaan, sosialisme dan lain sebagainya menjadi penopang dan memperkuat eksistensi pancasila bukan justru menjadi segregasi yang dapat melemahkan pancasila sebagai ideologi negara. Hanya dengan demikian Haluan Ideologi Pancasila (HIP) tidak terperosok menjadi Hiburan Orang Payah (hop).

***---***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun