Kerusuhan terjadi lagi untuk yang kesekian kali, di negeri ini. Setelah bermacam jenis kerusuhan SARA yang pernah terjadi, macam: kerusuhan di Sampang Madura, Kerusuhan Tolikara Papua, Konflik Ambon, dll. Apakah ini bertanda bahwa bangsa ini begitu mudah dipecah dan dibodohi oleh orang-orang busuk yang bersembunyi di balik label agama?
Dulu, ketika masa penjajahan oleh pihak Belanda, bangsa ini sangat cepat naik emosinya karena tersulut oleh "ocehan" yang tidak bertanggung jawab. "Ocehan" yang tidak bertanggung jawab dan "Provokatif" ini disebut juga sebagai "politik adu domba" devide et impera yang sering kita pelajari saat di bangku sekolah. Sungguh mengherankan ketika setelah penjajah terusir, Indonesia bersatu dan dunia semakin modern dengan banyak literatur cerdas, tetapi justru cara-cara sama masih dengan mudah terjadi di Negeri ini dan membuat Kebhinekaan bangsa ini terancam keberlangsungannya.
Jangan berhenti membaca,Â
Cara-cara sama yang dimaksud adalah mudahnya "provokatif" dan "hasutan" menggerogoti akal sehat bangsa ini, yang katanya sudah belajar dan memiliki banyak  keberagaman yang membuat Negeri ini kaya. Entah politik atau kebencian, entah kebencian atau kebodohan, inillah yang sebenarnya terjadi di Negeri ini.
Mayoritas masyarakat Indonesia masih berpikir bahwa perbedaan yang terjadi di Negeri ini merupakan sesuatu yang mesti diwaspadai karena banyak sejarah kelam di mana perbedaan itu menjadi "kerusuhan". Kejadian yang bahkan bukan terjadi di Indonesia bisa membuat Negeri ini saling curiga terhadap yang lainnya. Seperti, peristiwa Konflik Rohingnya di Myanmar, sering dijadikan bahan "hasutan" dan radikalisasi. Tidak jarang juga hal ini sering berhasil, padahal ini bukan terjadi di Indonesia.
Pihak yang paling cocok dijadikan pelaku kejahatan ini adalah orang-orang munafik dan busuk  dibalik label agama, politik, atau yang lainnya. Orang-orang jahat seperti ini kesal kalau negeri ini bersatu, senang kalau negeri ini bercerai.
Entah apa yang ada dibalik kelompok-kelompok macam ini. Peristiwa yang sebenarnya hanya perlu kompromi baik, ketika seorang tionghoa mengeluh karena toa masjid yang terlalu berisik. Keluhan seperti ini kadang memang membuat beberapa orang marah tapi tidak perlu sampai merusak sesuatu atas nama agama, karena kekerasan macam itu bukan ajaran suatu agama.
Benteng kokoh dari pengaruh seperti ini, bukan lagi hanya mempertebal iman dan menjaga kerukunan semata, tapi juga harus mengubah pikiran kita masing-masing agar "cerdas" sebelum bertindak. Inipun harus menjadi catatan bagi Negeri ini agar tidak hanya ikut-ikutan supaya kompak, pikirkan juga hal apa yang diikuti agar tidak tersesat. Mengingat Negeri ini lebih sering jadi korban ikut-ikutan daripada tahu dahulu apa yang diikutinya. contohnya, ikut-ikutan ramai pakai batu akik sampai yang terbaru ikut-ikutan main "Pokemon Go" yang bahkan belum resmi dirilis di Negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H