Meliput kedatangan Presiden ke sebuah daerah adalah tugas utama dan penting bagi jurnalis yang bertugas di suatu daerah tersebut,biasanya penguasa di kantor tempat si jurnalis bertugas memberikan catatan khusus dan sejumlah target yang harus di capai oleh si jurnalis untuk di beritakan di media tempat dia bekerja, itu yang saya alami sepanjang hidup saya bekerja sebagai jurnalis.
Saya sudah memulainya sejak zaman Presiden Soeharto, Habibie,Abdurahman Wahid,Megawati,Susilo Bambang Yudhoyono sampai Joko Widodo.
Setiap Presiden punya gaya yang berbeda – beda , kita maklum itu. Tentu juga cara mereka dan perlakuan terhadap jurnalis juga berbeda – beda .
Dalam kunjungan kerja Presiden Joko Widodo selama 22 jam di Jambi pada 30- 31 Oktober lalu,saya mendapatkan tugas dari petinggi kantor untuk melakukan peliputan selama orang nomor satu di Republik Indonesia itu berada di Jambi, tugas itu pun saya lakoni semaksimal mungkin.
Segala persiapan layaknya melakukan peliputan kunjungan Presiden sudah saya ikuti, antara lain meminta id card khusus ke instansi berwenang biasanya dikoordinir humas Propinsi dan Korem, Id didapat dan siap – siap untuk melaksanakan tugas kenegaraan.
Ternyata banyak hal baru saya temukan saat bertugas meliput kegiatan Joko Widodo ke Jambi, mulai jadwal yang tak menentu, berubah – ubah dan tak pasti sampai “tidak bersahabatnya” Paspamres dengan para Jurnalis terutama yang mereka sebut Jurnalis lokal.
Para Jurnalis yang mungkin mereka sebut sebagai “kuli” itu sungguh dibuat pening.
Jadwal kedatangan saja sudah kacau balau, contohnya kedatangan ke Jambi, sudah direncanakan pada tanggal 24 september 2015, berubah jadi tanggal 25 september berubah – berubah lagi akhirnya baru pesawat kepresidenan mendarat pada tanggal 30 Oktober 2015, soal ini mungkin bisa dimaklumi alas an kabut asap yang menyelimuti bandara Sultan Thaha jambi, yang membuat jarak pandang di bandara itu tidak bisa didarati pesawat kepresidenan, maklum untuk seorang presiden keamanan dan keselamatannya nomor satu .
Layaknya kedatangan seorang Presiden, segala persiapan pun dilakukan, termasuk dalam pengaturan Jurnalis, staf protokol dan humas istana yang biasa mengatur wartawan hanya memperbolehkan jurnalis dari media tertentu yang bisa masuk ke lokasi acara , dasar pemilihannya tampaknya membuat bingung, tak jelas parameternya, katanya permintaan Bapak tapi entah Bapak siapa, sehingga di cabutlah 12 orang dari media yang disebutkan staf protocol dan humas istana itu. jurnalis lain tidak boleh masuk.
Tidak selesai di situ, ditempat acara berlangsung kembali diskriminasi Jurnalis muncul lagi, wartawan yang boleh masuk kembali disaring. Tidak ada kompromis jika nama media yang tidak disebutkan masuk , Paspamres akan mengusir dengan kasar.Kalau perlu di dorong.
Catatan saya, apakah benar nama media yang diperbolehkan masuk itu adalah media yang direkomendir oleh Pak Jokowi ? atau memang begitu cara Jokowi dalam berkomunikasi ? memilih media yang dianggapnya perlu ?, Saya mungkin bisa maklum kalau pilihan itu dasarnya dibagi atas media terbitan daerah atau media yang terbit di Jakarta , atau media elektronika, online,cetak.Ini tidak jelas, dari 12 media yang disebutkan boleh masuk itu parameternya tak jelas, dipilih dari media televisi, online,dan media cetak tapi tak jelas dasarnya tampaknya semau – maunya yang memilih saja.
Padahal public tahunya Presiden Joko Widodo adalah Presiden yang merakyat, Presiden yang dekat dengan rakyat bersahabat dan hangat terhadap Jurnalis bahkan di media terlihat begitu gampangnya untuk mewawancarai seorang Presiden yang naik dari walikota Solo itu.
Saya sebagai jurnalis sangat bingung, bingung mencari tempat acara karena jadwal selalu berubah – ubah, juga bingung mengikuti cara – cara itu.
Sekedar perbandingan, di eranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, jadwal tertib , kemudian Jurnalis diberi ruang dan tempat pada sebuah sudut tertentu, tidak dibatasi, asal memiliki id resmi yang diterbitkan humas Pemda dan Korem jurnalis tersebut bisa masuk pada tempat yang disediakan.Kebiasaan SBY jika memberikan pernyataan ditempat tertentu dan tertib.
Padahal dengan gaya Presiden Joko Widodo yang biasa memberikan keterangan pada jurnalis di lokasi acara ( istilahnya door stop ) mdembuat jurnalis harus selalu mengikuti gerak sang Presiden agar tidak ketinggalan “ucapan” nya.
Terhadap semua ini, secara berbisik saya tanyakan pada salah seorang staf humas dan protocol istana yang mengatur ruang gerak jurnalis itu, dia menjawab santai “ memang begitu, cara Bapak “.
Entahlah, hanya Pak Presiden Joko Widodo dan stafnya itu yang tahu, tidak etis rasanya saya akan tanyakan langsung pada sang Presiden wong masuk saja susah.
Kalau soal jadwal yang berubah – ubah dari staf humas dan prokol istana itu saya mendapatkan jawaban itu sudah lumrah di eranya Joko Widodo, meminjam istilah nya “ Hanya Pak Jokowi dan Tuhan yang tahu pasti jadwalnya “
Saya harus kompromis dengan diri saya sendiri, apalah seorang jurnalis ? sesakit – sakit hatinya tidak akan bisa berbuat banyak, karena saya sadar Presiden Joko Widodo punya hubungan baik dengan para petinggi media dan pemilik modal di media besar di tanah air.
Padahal di benak saya sebelumnya sosok Joko Widodo adalah produk media yang besar dan jadi presiden karena di dukung media, ujung tombaknya adalah jurnalis yang pontang panting dibuatnya.
Semoga ini hanya cara salah oknum tertentu yang menterjemahkan cara melayni pimpinan dengan baik, sehingga banyak aturan yang dilanggar. Semoga akal sehat jurnalis seperti saya tidak hilang dalam emosi.
Mungkin Pak Jokowi Tak Tahu ?
(Catatan Kecil Seorang Jurnalis )
Oleh : Suhatman Pisang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H