Mohon tunggu...
Suharyo AP
Suharyo AP Mohon Tunggu... wiraswasta -

trainer dan penulis buku

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kita Belum Banyak Berbuat Sesuatu

16 Juli 2013   09:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:29 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu, penulis menghadiri undangan PWM Jatim, di Gedung DUM Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Jatim. Acaranya biasa: Kajian Ramadhan dengan tema “Dakwah Kultural Masa Kini”. Pada acara yang dibuka Prof. Din Syamsudin, juga hadir pembicara lain: Prof. Munir Mulkan, Prof. Syafieq Mugni dan Prof. Malik Fajar.

Materi yang mereka sampaikan sangat mencerahkan. Maklum, mereka para pakar. Namun yang terasa lebih luar biasa adalah, hadirnya sejumlah nara sumber yang tidak menyandang gelar guru besar, Dr, atau sarjana. Kehadiran mereka untuk memberi testimoni terhadap apa yang sudah dikerjakan. Antara lain, Pak Arief, Ketua PCM Krembangan Surabaya. Dia berhasil “mengentas” para PSK di dua lokalisasi. PSK itu banyak yang kembali ke masyarakat dengan meninggalkan profesi lamanya.

Di antara PSK yang sudah “tobat” itu diminta untuk menjelaskan, mengapa tertarik pada ajakan Pak Arief. Salah satu alasannya adalah, karena cara dakwah yang dilakukan sangat mengena, menyentuh hati, tidak memojokkan, dan memberi solusi. “Saya akhirnya keluar dan sekarang jualan kopi,” ujar salah seorang yang merasa senang bekerja sebagai orang “biasa”.

Audiens dibuat terperangah ketika mendengarkan testimoni dari Erma Suryanti, ibu dari tiga anak yang kebetulan fisiknya mengalami kelumpuhan. Hal yang sama juga dialami suaminya. Namun kelumpuhan itu tidak membuatnya putus asa, justru sebaliknya ingin bangkit untuk terus bergerak dan bergerak. Yaitu, melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi orang lain.

Awalnya, dia belajar membuat karya tangan dengan bahan kain perca. Setelah berhasil, dia pun keliling menjualnya. Tentu saja, untuk bisa laku tidak semudah membalik telapak tangan. Ada saja penolakan dari calon konsumen. Erma tidak putus asa, dia terus memperbaiki kwalitas garapannya. Sampai akhirnya dia sangat menguasai. Produknya bagus.

Impian Erma bukan hanya untuk dirinya. Dia ingin mengembangkan keahlian itu kepada anak invalid di daerahnya. Maka, dia pun mengajukan proposal kepada Bupati Kebumen. Lama tidak ada respon, dan setiap ngecek jawaban selalu nihil. Proposal itu baru mendapat tanggapan dari bupati setelah dia datang yang ke 21 kali. Itu pun ketika bupati hendak olah raga Erma nylonong menemuinya. “Ternyata responnya bagus,” kenangnya.

Kepada bupatinya, Erma mengatakan, “Bu saya mengajukan proposal nilainya tidak banyak. Yaitu Rp 5 juta. Tapi dengan uang Rp 5 juta kalau memang diperkenankan dalam waktu tidak lama, anak cacat di daerah ini akan bisa berkarya dan mandiri. Karena penjelasannya meyakinkan dia pun dipercaya dan uangnya akhirnya cair.

Dalam waktu tidak sampai tiga tahun, anak-anak invalid di 21 kecamatan telah dilatihnya membuat karya tangan. Dan, problem pemasaran pun muncul. Persoalannya bukan karena tidak ada pasar, tetapi jumlah permintaan yang luar biasa banyak. Dari pasar Tanah Abang Jakarta saja mintanya ratusan ribu lembar. Akhirnya kerja keras dan kerja keras....

Inspirasi dari Koran

Ada kisah tidak mengenakkan ketika dia datang ke Pasar Tanah Abang. Selama jualan hasil karyanya kena obrak Pol PP. Bahkan, barang jualannya sebagian tidak laku karena –awal uji coba—jualan ke ibu kota, belum memenuhi standar kwalitas orang kota. Tapi Erma tidak putus asa. Dia menganggap gagal awal merupakan langkah untuk bisa maju. Memang berat, masak selama di tanah Abang dia harus tidur di atas tumpukan karung dengan “bonus” guyuran hujan.

Di balik kejadian itu ada hikmah. Ada angin menghamburkan kertas-kertas yang berserakan di pasar itu. Ternyata ada potongan kertas koran yang menempel di pipinya. Dia coba baca, ternyata ada pengumuman lomba yang diadakan oleh Kemenpora yaitu Pengusaha Muda Kreatif. Pendaftaran dilakukan di UI Jakarta. Dengan tertatih-tatih dia mencoba mendaftar dan ternyata akhirnya menjadi pemenang juara I.

Sejak itu namanya mulai dikenal. Media meliput dan memuatnya di sejumlah koran, majalah bahkan TV. Maka, bermodal uang hadiah senilai Rp 150 juta itu Erma mengembangkan usaha dan terus melatih anak-anak invalid di negeri ini. Sekarang sudah ada 60 ribu anak cacat menjadi asuhannya. Saya belum menghitung berapa yang ada di Jawa Timur, ujarnya. Walau anak asuh sudah banyak, saya siap untuk melatih anak-anak yang lain di negeri ini, ujarnya.

Berkat ketekunannya, Erma akhirnya sering menjadi pembicara di berbagai acara. Dia mengaku, penghargaan yang pernah diraih tingkat nasional dan internasional lebih dari 100 penghargaan. Garapan saya sekarang banyak melayani pasar di Australia dan negara lain.....Erma dengan kondisi fisiknya yang lumpuh, telah banyak berbuat dan bermanfaat bagi orang lain. Pertanyaannya, bagaimana dengan kita? (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun