alam masih tertidur pulas. terdengar satu-dua ayam berkokok, memberi tanda bahwa kita sudah harus bergerak. bahwa kita harus meneruskan hari, tanpa protes. aku yakin, tak ada yang bisa benar-benar mengalahkan waktu. bahkan saat beberapa orang mengakui sebuah kemenangan atas waktu, aku tersenyum setengah. toh, kenapa mereka masih terus mengejar waktu saat telah memenangkannya? lucu, kan?
seperti aku yang terus melipat dan menggelar hari, waktu tetap saja tak pernah bisa aku taklukkan. waktu masih terus memainkan rekaman masa lalu di kepalaku. tentang perahu nelayan di laut paling biru di kampungku. waktu itu aku masih anak ingusan yang bahkan akan menangis keras saat tidak mendapatkan permen kacang dari Ibu. aku dan Ibu akan berjalan kecil, melawan lorong subuh yang abu-abu. kami berdiri di bibir pantai, melambaikan tangan untuk nelayan-nelayan yang akan pergi melaut. tak hanya aku dan Ibu yang kerap seperti ini, hampir semua perempuan di kampungku melakukan hal yang sama. menghantarkan doa paling khusyuk untuk mereka.
"bu, bu, aku mau ikut melaut. aku mau lihat ikan yang banyak sekali."
begitu kataku dengan nada yang terlalu polos untuk disalahkan. ibu hanya tersenyum sambil terus melambaikan doa dan rindu yang terpahat di perahu-perahu nelayan. perlahan, perahu-perahu nelayan hilang di luasnya laut yang masih berselimutkan subuh. kami beranjak. menyulam rindu-rindu yang akan kami kenakan saat perahu-perahu nelayan kembali.
"ibu, aku mau ikut kesana, jauh sekali. aku mau ketemu sama putri duyung, terus aku juga mau main sama lumba-lumba, bu. boleh ya bu?"
aku yang masih bocah terus memohon pada Ibu. sudah kubilang, terlalu polos untuk kau salahkan. lagi-lagi, Ibu hanya tersenyum. terlihat ufuk timur menyala. matahari mulai merekah, indah.
sesampainya di rumah, ibu menyuruhku duduk di sampingnya. tak seperti biasa, tak ada cerita hari ini. ibu menatapku, lekat dengan senyuman yang kekal terpahat di bibirnya. aku, tahu apa? hanya anak kecil yang bahkan belum benar-benar paham isyarat mata.
"nak, kamu ini anak gadis. tubuhmu tidak akan cocok kalau harus ke laut seperti nelayan-nelayan itu. kamu terlalu lembut untuk bergulat dengan laut yang ganas. nah, tempat yang paling nyaman untukmu adalah ini, anakku." kata ibu lembut sambil melebarkan kedua tangannya seperti hendak memeluk rumah kami.
aku tak sempurna memahami maksud ibu, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa pergi ke laut, melihat putri duyung, atau bermain dengan lumba-lumba.
ribuan hari telah datang dan pergi tak kembali. hari ini aku paham betul maksud ibu puluhan tahun silam. aku bahkan tahu apa yang ingin ibu katakan, hanya saja memikirkan bagaimana aku akan memahaminya. ya, aku benar-benar paham bahwa ibu ingin mengatakan padaku tentang laut yang sesungguhnya. bahwa di laut sana tak ada putri duyung. aku bahkan tak bisa bermain dengan lumba-lumba. sebab putri duyung hanya hidup dalam imajinasi orang-orang, sementara lumba-lumba? mereka punya teman yang lebih baik ketimbang aku ataupun anak-anak seusiaku yang juga menginginkan hal yang sama, waktu itu. waktu kami masih benar-benar polos.
di luar semua itu, aku tahu betul apa yang ingin katakan padaku waktu itu bahwa laut tidak selalu berteman dengan doa-doa kami yang terpahat di perahu-perahu nelayan. bahwa tidak semua perahu-perahu nelayan itu akan kembali, bahwa tidak semua rindu yang kami sulam akan bercahaya.
"laut, tidak seramah yang kau pikir, nak. ia bahkan tak mengizinkan ayahmu kembali pada kami."
mungkin, itu yang ingin ibu katakan padaku waktu itu.Cerita Subuh Tentang Perahu-Perahu Nelayan
alam masih tertidur pulas. terdengar satu-dua ayam berkokok, memberi tanda bahwa kita sudah harus bergerak. bahwa kita harus meneruskan hari, tanpa protes. aku yakin, tak ada yang bisa benar-benar mengalahkan waktu. bahkan saat beberapa orang mengakui sebuah kemenangan atas waktu, aku tersenyum setengah. toh, kenapa mereka masih terus mengejar waktu saat telah memenangkannya? lucu, kan?
seperti aku yang terus melipat dan menggelar hari, waktu tetap saja tak pernah bisa aku taklukkan. waktu masih terus memainkan rekaman masa lalu di kepalaku. tentang perahu nelayan di laut paling biru di kampungku. waktu itu aku masih anak ingusan yang bahkan akan menangis keras saat tidak mendapatkan permen kacang dari Ibu. aku dan Ibu akan berjalan kecil, melawan lorong subuh yang abu-abu. kami berdiri di bibir pantai, melambaikan tangan untuk nelayan-nelayan yang akan pergi melaut. tak hanya aku dan Ibu yang kerap seperti ini, hampir semua perempuan di kampungku melakukan hal yang sama. menghantarkan doa paling khusyuk untuk mereka.
"bu, bu, aku mau ikut melaut. aku mau lihat ikan yang banyak sekali."
begitu kataku dengan nada yang terlalu polos untuk disalahkan. ibu hanya tersenyum sambil terus melambaikan doa dan rindu yang terpahat di perahu-perahu nelayan. perlahan, perahu-perahu nelayan hilang di luasnya laut yang masih berselimutkan subuh. kami beranjak. menyulam rindu-rindu yang akan kami kenakan saat perahu-perahu nelayan kembali.
"ibu, aku mau ikut kesana, jauh sekali. aku mau ketemu sama putri duyung, terus aku juga mau main sama lumba-lumba, bu. boleh ya bu?"
aku yang masih bocah terus memohon pada Ibu. sudah kubilang, terlalu polos untuk kau salahkan. lagi-lagi, Ibu hanya tersenyum. terlihat ufuk timur menyala. matahari mulai merekah, indah.
sesampainya di rumah, ibu menyuruhku duduk di sampingnya. tak seperti biasa, tak ada cerita hari ini. ibu menatapku, lekat dengan senyuman yang kekal terpahat di bibirnya. aku, tahu apa? hanya anak kecil yang bahkan belum benar-benar paham isyarat mata.
"nak, kamu ini anak gadis. tubuhmu tidak akan cocok kalau harus ke laut seperti nelayan-nelayan itu. kamu terlalu lembut untuk bergulat dengan laut yang ganas. nah, tempat yang paling nyaman untukmu adalah ini, anakku." kata ibu lembut sambil melebarkan kedua tangannya seperti hendak memeluk rumah kami.
aku tak sempurna memahami maksud ibu, tapi aku tahu bahwa aku tidak bisa pergi ke laut, melihat putri duyung, atau bermain dengan lumba-lumba.
ribuan hari telah datang dan pergi tak kembali. hari ini aku paham betul maksud ibu puluhan tahun silam. aku bahkan tahu apa yang ingin ibu katakan, hanya saja memikirkan bagaimana aku akan memahaminya. ya, aku benar-benar paham bahwa ibu ingin mengatakan padaku tentang laut yang sesungguhnya. bahwa di laut sana tak ada putri duyung. aku bahkan tak bisa bermain dengan lumba-lumba. sebab putri duyung hanya hidup dalam imajinasi orang-orang, sementara lumba-lumba? mereka punya teman yang lebih baik ketimbang aku ataupun anak-anak seusiaku yang juga menginginkan hal yang sama, waktu itu. waktu kami masih benar-benar polos.
di luar semua itu, aku tahu betul apa yang ingin katakan padaku waktu itu bahwa laut tidak selalu berteman dengan doa-doa kami yang terpahat di perahu-perahu nelayan. bahwa tidak semua perahu-perahu nelayan itu akan kembali, bahwa tidak semua rindu yang kami sulam akan bercahaya.
"laut, tidak seramah yang kau pikir, nak. ia bahkan tak mengizinkan ayahmu kembali pada kami."
mungkin, itu yang ingin ibu katakan padaku waktu itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H