Bukan persoalan besarnya UMK yang kemudian membuat para buruh untuk berunjuk rasa setiap tahunnya, melainkan besarnya kebutuhan hidup di Batam yang jauh melampaui kota-kota lain di Indonesia, bahkan mungkin di Jakarta. Sepiring nasi di tambah  teh obeng (es teh) di warung dan kedai di Batam, rata-rata dijual seharga Rp20 ribu. Di warung ala kadarnya di mall, harga seporsi yang sama bahkan bisa membengkak hingga Rp40 ribu.
Belum lagi harga perumahan yang tidak bisa di jangkau oleh masyarakat menengah ke bawah, hingga bermunculanlah rumah-rumah liar yang kumuh dan menjadi sarang kriminal.Belum lagi transportasi yang buruk dan  mahal, biaya sekolah yang tinggi meskipun SPPnya  gratis, tapi uang beli buku, LKS, Komite, uang pemantapan bagi yang mau lulus sekolah dan lainnya yang tentu tidak sedikit.
Â
Di Batam pedagang selalu mencari momentum dan celah agar bisa mendapatkan untung yang sebesar-besarnya. Bahkan kenaikan UMK masih sebatas isu saja, para pengusaha  sembako seolah-olah menyambutnya dengan gembira,dan  lebih dulu menaikkan dagangan mereka. Pada bulan Oktober ini saja misalnya di msaat pembahasan UMK tengah berlangsung di kantor disnaker, berbagai kebutuhan hidup terutama beras harganya sudah naik semua. Jujur saja dengan UMK tahun depan yang mungkin di kisaran tigajutaan masih sangat jauh jika untuk hidup yang di katakan layak. Jika kita bandingkan dengan negara tetangga yang hanya berjarak setengah jam dimana gaji buruh di sana bisa sepuluh kali lipat lebih besar sementara harga sembakonya nyaris sama dengan Batam dan bahkan ada yang lebih murah di sana, tentu kita jadi bertanya apa yang salah dengan ini semua?
Batam masih jauh dari semboyannya yang menjadikan kota ini sebagai bandar dunia yang madani, yang ada justru surga bagi kapitalis, lihatlah aturan yang bisa dimainkan, pejabat yang bisa disogok, prostitusi yang terang-terangan, kumpul kebo, pembunuhan dan perampokan sudah menjadi berita sehari-hari di sini. Dan bagaimana tanah-tanah disulap dengan cepat menjadi mal dan ruko  meski masyarakat setempat lebih membutuhkan taman kota yang hijau untuk tempat bermain anak-anak.
Tidak sedikit bahkan yang memilih menyerah pada keadaan dan memilih untuk meninggalkan Batam menuju kota lain, meski tidak ada jaminan akan lebih baik di kota tersebut, tetapi jika di lihat dari angka pengangguran yang sudah tembus 20 ribu orang dan tingginya kriminalitas, maka alasan untuk meninggalkan Batam akan menjadi masuk akal dan menjadi PR besar bagi pemerintah setempat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H