Prolog
Pemerintah RI melalui Kemenkopolhukam telah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Propinsi Papua dan Propinsi Papua barat tahun 2017.Tim terpadu yang dibentuk oleh Kemenkopolhukam berdasarkan Surat Keputusan Nomor 5 tahun 2017 yang ditandatangani oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum Dan Keamanan Republik Indonesia.
Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 5 tahun 2017 ("SK-2017") tersebut Tim Terpadu mempunyai tugas yang telah dirumuskan sebagai berikut:
a. Menghimpun data dan informasi yang diterima dari laporan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan sumber-sumber lainnya mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Provinsi Papua dab Provinsi Papua Barat;
b. Menginventarisir, mengolah, dan menganalisa semua data-data dan informasi yang diterima untuk menentukan klasifikasi dan status tahapan penanganan selanjutnya; dan
c. Melaporkan hasil sebagaimana dimaksud dalam huruf b kepada menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan selaku Penasihat Tim Terpadu dan selanjutnya hasil tersebut sebagai bahan laporan kepada Presiden.
Tim Terpadau Berdasarkan Surat Keputusan Nomor 5 tahun 2017 tersebut memiliki tugas selama 12 bulan.Pertanyaannya apakah rekomendasi dari hasil kerja Tim Terpadu secara serta merta dapat dilaksanakan oleh Presiden dalam Perspektif Law Enforcement ?
Dugaan Pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat
Mendasarkan pada Press Release tentang penanganan dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat Kemenkopolhukam 30 januari 2017 secara keseluruhan telah diuraikan antara lain sebagai berikut:
Sebelumnya Pemerintah RI melalui Kemenkopolhukam telah mengeluarkan Surat Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 40 tahun 2016 tentang Tim terpadu penanganan dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2016 ("SK-2016"). SK-2016 tersebut diterbitkan dengan pertimbangan sebagai berikut : Sebagai Negara Demokrasi, Indonesia telah mengakui HAM warga negaranya didalam UUD45. Seiring dengan hal tersebut Bapak Presiden berkeinginan memprioritaskan penyelesaian Kasus HAM khususnya Penyelesaian Dugaan Pelanggaran HAM Papua dan Papua Barat, mencermati hal tersebut Kemenko Polhukam telah membentuk Tim penanganan dugaan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat dengan diterbitkannya Surat Keputusan Menkopolhukam RI Nomor 40 tahun 2016 tentang Tim terpadu penanganan dugaan pelanggaran HAM di Provinsi Papua dan Papua Barat tahun 2016.
Tim terpadu dibentuk dengan melibatkan perwakilan dari kementerian dan lembaga, Tim Penyelidik dari Komnas HAM, Tim Penyidik dari Kejaksaan Agung dan Tim pemantauan/penggiat HAM dari masyarakat sipil. Hasil kajian Tim terpadu terhadap dugaan pelanggaran HAM masa lalu di Papua.
Tim Terpadu berdasarkan telah mengidentifikasi 12 (dua belas) isu yang diduga pelanggaran HAM.Hasil identifikasi Tim Terpadu dari 12 (dua belas) isu tersebut di pisahkan penanganannya sesuai status kasus tersebut antara lain : Kejaksaan Agung menangani isu yang diduga termaksud pelanggaran HAM Berat dan Kepolisian Daerah Papua menangani yang tidak termaksud pelanggaran HAM Berat.
1. Kejaksaan Agung RI menangani Kasus antara lain; Kasus Pasca pembebasan Mapenduma tahun 1996 (1), Kerusuhan Biak Numfor Juli 1998 (2), Kasus Wasior tahun 2001 (3), Peristiwa pembobolan gudang senjata Kodim 1702/JWJ tahun 2003 di Wamena (4), Kasus Paniai tahun 2014 (5).
2. Sedangkan yang tidak termasuk pelanggaran HAM berat ditangani oleh Polda Papua antara lain: Penyerangan Mapolsek Abepura tahun 2000 (1), Kasus hilangnya Aristoteles Masoka tahun 2001 (2), Peristiwa kerusuhan Uncen tahun 2006 (3), Peristiwa penangkapan Yawan Wayeni di Kab. Kep. Yapen tahun 2009 (4), Peristiwa Kongres Rakyat Papua III tahun 2011 (5), Peristiwa penangkapan Mako Tabuni di Jayapura tgl 14 Juni 2012 (6), Peristiwa penangkapan Opinus Tabuni tahun 2012 (7).
Adapun Perkembangan penyelesaian dugaan pelanggaran HAM di Papua oleh Tim Terpadu dari 12 (dua belas) isu, sebagai berikut :
1. Dugaan pelanggaran HAM berat ada 3 (tiga) kasus yaitu;
yang sedang di koordinasikan dan konsultasikan antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung terdapat 2 (dua) Kasus yaitu : Peristiwa Wamena tahun 2003 dan Peristiwa Wasior tahun 2001.
2. yang masih dalam proses penyelidikan Komnas HAM adalah peristiwa Paniai tahun 2014.
3. yang masih dalam proses kajian hukum ada 2 (dua) kasus, yakni peristiwa Mapunduma Desember 1996 dan peristiwa Biak Numfor Juli 1998.
4. Tim telah dapat menentukan 7 (tujuh) kasus bukan pelanggaran HAM berat dan penanganannya dilakukan oleh Polda Papua, perkembangannya sebagai berikut: Kasus yang masih dalam proses penyelidikan adalah Peristiwa hilangnya Aristoteles Masoka tahun 2001; Peristiwa Kongres Rakyat Papua III tahun 2011; Peristiwa penangkapan Opinus Tabuni tahun 2012.
5. Kasus yang dinyatakan selesai dan tidak ada masalah baik dari aspek hukum maupun HAM adalah :
5.1.Penyerangan Mapolsek Abepura tahun 2000;
5.2.Peristiwa kerusuhan Uncen tahun 2006;
5.3.Peristiwa penangkapan Yawan Wayeni di Kab. Kep. Yapen tahun 2009;
5.4.Peristiwa penangkapan Mako Tabuni di Jayapura tgl 14 Juni 2012.
Terhadap kasus yang termasuk pelanggaran HAM Berat, ditahun 2016, diprioritaskan penyelesaian terhadap 2 (dua) kasus yaitu Kasus Wamena dan Wasior, adapun perkembangannya, Jaksa Agung telah mengembalikan berkas Penyelidikan kepada Komnas HAM selaku penyelidik, Petunjuk Penyidik kepada Penyelidik agar melengkapi berkas penyelidikan masih belum ada atau kurang jelas antara lain tentang : Pelaku, Korban, baik Sipil maupun Kelompok Separatis Bersenjata, Visum Et Repertum korban, dukungan Ahli Forensik, dan Dokumen Surat Perintah Operasi. Atas petunjuk dari Jaksa Agung Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kembali, dan telah mengembalikan berkas tersebut kepada Jaksa Agung. Sesuai dengan program Pemerintah untuk revitalisasi hukum tahap kedua, penegakan hukum termasuk penyelesaian permasalaham akan menjadi prioritas pemerintah, oleh karena itu TIM terpadu penanganan permasalahan di Papua dan Papua Barat akan terus dilanjutkan.
Pendapat / Solusi
Berdasarkan laporan dalam press release tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:
Kasus yang termasuk pelanggaran HAM Berat, ditahun 2016, diprioritaskan penyelesaian terhadap 2 (dua) kasus yaitu Kasus Wamena dan Kasus Wasior.Atas 2 (dua) kasus tersebut telah terjadi keadaan hukum (posisi hukum) dimana atas hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM RI pihak Penyidik Kejaksaan Agung RI berpendapat bahwa berkas atas penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM belum lengkap sehingga perkara belum dapat dilimpahkan ke Pengadilan guna untuk diadili.
Atas petunjuk dari Jaksa Agung Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kembali dan telah mengembalikan berkas tersebut kepada Jaksa Agung. Jika Komnas HAM telah melakukan penyelidikan kembali memenuhi permintaan pihak penyidik Kejaksaan Agung dan oleh Komnas HAM berkas penyelidikan dinyatakan telah dinyatakan lengkap.
Dengan suatu asumsi bahwa dokumen hukum (legal document) tersebut benar bahwa Pihak Komnas HAM sudah berependapat berkas penyelidikan telah dinyatakan lengkap. Disisi yang lain pihak penyidik Kejaksaan Agung RI masih tetap berpendapat bahwa berkas perkara belum memenuhi syarat/belum lengkap maka secara hukum Pihak Kejaksaan Agung RI selaku penyidik berdasarkan pasal 21 ayat (1) UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dapat menetapkan mengeluarkan surat penghentian penyidikan oleh Jaksa Agung RI berdasarkan Pasal 22 ayat (4) UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dengan alasan hukum tidak diperoleh bukti yang cukup.
Kesimpulan
1. Kasus pelanggaran HAM Berat yaitu Kasus Peristiwa Wamena dan Kasus Peristiwa Wasior dapat disimpulkan oleh Pihak Kejaksaan Agung RI selaku Pihak Penyidik tidak diperoleh bukti yang cukup.
2. Jika berkas perkara dinyatakan tidak diperoleh bukti yang cukup maka dapat di tetapkan dikeluarkan Surat Penghentian Penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI berdasarkan Pasal 22 ayat (4) UU Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
3. Atas dasar keadaan hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa Kasus pelanggaran HAM Berat Peristiwa Wamena dan Kasus Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Wasior dapat disimpulkan tidak dapat dilakukan pemeriksaan persidangan di Pengadilan HAM, disebabkan tidak cukup bukti.
Saran
(1) Pemerintah RI sebaiknya dalam menyelesaikan kasus dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat tetap menyelesaikan dengan pendekatan Pro Justitia melalui Institusi Kejaksaan Agung RI dalam kapasitas dan kwalitasnya selaku Penuntut Umum serta Komnas HAM dalam kapasitas dan kwalitasnya selaku penyelidik.
(2) Jika hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM oleh Penyidik Kejaksaan Agung RI dinyatakan tidak lengkap disebabkan tidak cukup bukti maka Kejaksaan Agung RI secara Pro Justitia dapat menyatakan perkara di hentikan.
(3) Pemerintah dalam kapasitas dan kwalitasnya selaku Pihak Eksekutif baik melalui Presiden RI maupun melalui Kemenko Polhukam cukup menyerahkan persoalan kasus dugaan terjadinya pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat kepada Institusi Kejaksaan Agung RI dalam kapasitas dan kwalitasnya selaku Pihak Yudikatif.
(4) Keikut sertaan secara Pro Aktif Pihak Pemerintah (eksekutif) terhadap ranah proses Penegakan Hukum (yudikatif) dapat berpotensi menimbulkan politisasi dalam proses penegakan hukum di Indonesia.
(5) Kejaksaan Agung RI dalam kapasitas dan kwalitasnya selaku Pihak Yudikatif yang memiliki fungsi sebagai penuntut umum dan juga sebagai Pengacara Negara dapat secara pro aktif mengambil langkah hukum apakah Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Kasus Peristiwa Wamena dan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Wasior dapat diteruskan untuk dilakukan Penyidikan atau tidak.
(6) Kejaksaan Agung RI sebagai Institusi Penegak Hukum yang Profesional tidak harus menunggu hasil kerja dari Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM di Propinsi Papua dan Propinsi Papua barat tahun 2017 bentukan Kemenko Polhukam RI.
(7) Kejaksaan Agung RI dapat menindak lanjuti Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Kasus Peristiwa Wamena dan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Wasior dapat ditindak lanjuti atau tidak dapat ditindak lanjuti proses penyidikannya.
(8) Apabila Kejaksaan Agung RI tidak segera memastikan langkah dalam rangka memastikan apakah Kasus Dugaan pelanggaran HAM Berat Kasus Peristiwa Wamena dan Kasus Dugaan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Wasior dapat ditindak lanjuti atau tidak dapat ditindak lanjuti proses penyidikannya maka dapat menimbulkan dampak politisasi dalam spectrum yang luas dalam kaitannya dengan situasi dan kondisi politik di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat.
Artikel Lainnya : OpiniHardi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H