Ibarat mambangun rumah besar, kemudian tiang pondasinya tidak kuat maka bangunan rumah tersebut pasti tidak aman bagi penghuni rumah besar tersebut. Mudah untuk dapat di prediksi jika ada sedikit saja guncangan gempa bumi maka rumah besar tersebut rentan ambruk. Demikianlah kira-kira betapa bahayanya jika faktor fundamental ekonomi nasional dari suatu negara itu lemah atau tidak kuat.Â
Jika rumah besar tersebut yang kita maksud Indonesia, maka kita semua rakyat Indonesia wajib bahu membahu, bersama-sama dengan penguasa bersatu padu membangun memperkuat pondasi ekonomi nasional dengan beraneka cara berbasis berdasarkan posisi porsi dan urgensinya masing-masing.Â
Untuk memperkuat pondasi ekonomi nasional keberadaan hukum sebagai penjaga aturan bermain (rule of the game) sangat diperlukan terutama pada sektor kebijakan ekonomi nasional sebagai frame politik hukum dari suatu negara sebagai bentuk dari kemauan politik (political will) dari penguasa.Â
Dalam kerangka menegakkan aturan bermain tersebut diperlukan secara absolut terciptanya sinkronisasi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tanpa adanya sinkronisasi secara intensif dan inten, maka kebijakan ekonomi nasional yang didedikasikan oleh penguasa untuk kepentingan umum dalam rangka penguatan fundamental ekonomi nasional sulit terwujud.
Paket kebijakan ekonomi nasional dari suatu negara dari perspektif hukum harus mengandung nilai-nilai kebenaran yang terukur dan logis, ditinjau dari unsur-unsur teorisasi disiplin keilmuan terkait, sehingga memiliki dasar-dasar keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara akademis dan hukum oleh penguasa pengambil kebijakan ekonomi nasional.Â
Dari perspektif teori trias politika unsur eksekutif, legislatif dan yudikatif secara sistemik tidak boleh saling mengganggu dengan alasan karena adanya otoritas kewenangan dan kekuasaan. Seluruh bentuk kekuasaan dan kewenangan secara sistemik tidak boleh ada pertentangan, jika terjadi tafsir atas kewenangan dan kekuasaan wajib dilakukan sinkronisasi antar lembaga negara dengan semangat dan niat untuk kepentingan penguatan pondasi ekonomi nasional.
Ujian Kepemimpinan Presiden
Sistem hukum di Indonesia yang masih memposisikan model kekuasaan Presiden yang demikian besar, kewenangan sebagai kepala negara dan kewenangan sebagai kepala pemerintahan masih belum ada pembagian sehingga Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar. Dengan adanya modal kekuasaan yang demikian besar, Presiden selaku eksekutif dapat melakukan kebijakan percepatan penguatan pondasi ekonomi nasional secara cepat dan terukur. Dari aspek struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum secara proporsional telah tersedia sehingga dari ketiga unsur tersebut cukup tersedia. Presiden tidak tepat lagi kiranya jika akan beragumentasi dengan alasan tidak tersedianya ketiga unsur tersebut.
Jika ketiga unsur tersebut telah tersedia secara proporsional, artinya dari perspektif sistem hukum tidak ada alasan jika kegagalan atau kesulitan mewujudkan upaya penguatan pondasi ekonomi nasional disebabkan tidak memadainya sistem hukum yang berlaku. Jika demikian halnya maka keberhasilan atau kegagalan bukan disebabkan oleh sistem hukum yang tersedia tetapi disebabkan oleh faktor orangnya (the man behind the gun). Kekuasaan Presiden yang demikian besar mendasarkan pada ajaran the man behind the gun tersebut sesungguhnya faktor kepemimpinan sangat menentukan.Â
Presiden dalam perspektif tersebut dapat menggunakan pola management pemerintahan dengan model target. Model target yang dimaksud dapat ditujukan kepada para menteri selaku pembantu Presiden wajib ditarget sesuai dengan arah dari paket kebijakan ekonomi dari pemerintah yang telah digariskan oleh Presiden baik selaku kepala negara maupun selaku kepala pemerintahan. Model targeting tersebut perlu diterapkan di Indonesia mengingat kultur malu belum membudaya di Indonesia.Â
Menteri-menteri selaku pembantu Presiden jika tidak berhasil dalam mengemban tugas negara selalu berdalih, mencari alasan dengan berbagai argumentasi. Mestinya seorang menteri itu harus malu hati jika gagal dalam mengemban tugas negara dan lebih terhormat tentunya jika secara jiwa besar mengundurkan diri disebabkan memang tidak memiliki kemampuan dalam menjalankan perannya selaku menteri.Â