Dr Suhardi Somomoeljono,SH.,MH.
Praktisi Hukum dan Akademisi Dosen Pascasarjana Universitas Matlha'ul Anwar Banten
Prolog
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam jumpa persnya (tribunnews.com 31.7.2018) mengumumkan bahwa stabilitas sistem keuangan masih terjaga pada Triwulan II 2018 dan Gubernur Bank Indonesia menegaskan mengenai posisi rupiah berada pada level Rp.14.414 per dolar AS.Â
KSSK juga menegaskan melemahnya rupiah juga disebabkan oleh tekanan yang berasal dari eksternal terus meningkat, disebabkan oleh dampak dari kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Central Amerika Serikat, The Federal Reserve serta ditambah adanya sentimen perang dagang Amerika Serikat dengan China.
Dengan adanya dua faktor yang berasal dari eksternal mengakibatkan posisi rupiah tergerus melemah. Secara akademis kita dapat menarik suatu hipotesa bahwa stabilitas sistem keuangan negara (baca, Pemerintah RI) masih sangat rentan atau mudah terdistorsi oleh faktor yang berasal dari luar.Â
Dari perspektif hukum keadaan rentan seperti itu variabel dominannya tentu disebabkan oleh lemahnya struktur pondasi ekonomi nasional. Indonesia tahun 1998 mengalami guncangan stabilitas sistem keuangan nasional, rupiah tergelincir pada posisi Rp.15.000 per dolar AS yang mengakibatkan terjadinya badai krisis moneter yang mengakibatkan jatuhnya presiden RI Soeharto.Â
Tergelincirnya posisi rupiah tahun 1998 tentu saja variabel dominannya disebabkan lemahnya fundamental ekonomi nasional atau struktur pondasi ekonomi nasional sehingga sangat rentan (mudah terpengaruh) terhadap adanya faktor eksternal antara lain dampak dari kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Central Amerika Serikat, The Federal Reserve.
Yang lebih tragis kejadian krisis moneter tahun 1998, yang hanya dipicu oleh rumor yang berasal dari Negara Singapura, dihembuskan secara besar-besaran bahwa di Indonesia akan terjadi devaluasi. Akibat dari rumor tersebut dalam waktu yang sangat singkat masyarakat termakan-percaya, sehingga akibatnya sangat mengerikan antara lain, para nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam negeri ditarik secara besar-besaran sehingga terjadi rush.Â
Para pemilik modal dari luar negeri yang menanamkan modalnya di Indonesia ditarik secara besar-besaran sehingga terjadi perpindahan kapital secara sporadis-maraton (capital flight). Pemerintah karena panik akhirnya mengeluarkan kebijakan membubarkan bank secara besar-besaran justru mengakibatkan krisis moneter tidak dapat terhindarkan.Â
Masih beruntung tahun 1998 dimana pelaku ekonomi kerakyatan diseluruh nusantara masih bertahan dengan cara dan polanya sendiri. Pelaku ekonomi konglomerasi yang sangat dimanja oleh pemerintah justru hancur berantakan, tidak memberikan kontribusi apapun atas terjadi krisis moneter di Indonesia. Dalam kenyataannya yang menjadi juru penyelamat perekonomian nasional justru para pelaku ekonomi kerakyatan, bukan para pelaku ekonomi konglomerasi.
Fundamental Ekonomi Nasional