Mohon tunggu...
Suhardi Somomoeljono
Suhardi Somomoeljono Mohon Tunggu... Advokat -

Suhardi Somomoeljono Channel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Fenomena "Ahok" dalam Pandangan Penulis

28 November 2016   01:02 Diperbarui: 4 September 2018   13:26 1598
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Prolog

Pasca jatuhnya Orde Baru tahun 1997 lahirlah Orde Reformasi tahun 1998. Setiap orde kekuasaan selalu memiliki karakter tersendiri terutama dalam kaitannya dengan model kepemimpinan. Orde Baru lebih menekankan perlunya pembangunan ekonomi secara dominan oleh karena itu akibatnya nilai-nilai demokrasi dalam kaitannya dengan HAM kurang mendapat perhatian dalam kebijakan legislasinya. Orde Reformasi lahir sebagai orde kekuasaan yang akan merubah nilai-niali demokrasi dari suatu negara lebih baik dari orde sebelumnya. Untuk itulah orde reformasi akhirnya dalam pilihan-pilihan kebijakan legislasinya lebih mengutamakan nilai-nilai demokrasi. Tentu saja, dalam implimentasinya seluruh tatanan kehidupan dalam berbangsa dan bernegara disinergikan dengan prinsip-prinsip negara modern yang mengunggulkan nilai demokrasi diatas segala-galanya. Bahkan Indonesia saat ini termasuk negara yang paling demokratis di dunia terutama dalam kebijakan perundang-undangan dalam kaitannya dengan politik, ekonomi dan sosial.

Fenomena Ahok

Sebagai akibat dari maraknya nilai-nilai kebebasan dalam berdemokrasi saat ini di Indonesia yang penting berstatus sebagai warga negara indonesia (WNI) dapat menduduki jabatan politik apapun misal "Ahok" seorang keturunan suku "Tiong Hoa" diperbolehkan untuk menduduki jabatan Gubernur DKI Jakarta. Bahkan Jabatan Presidenpun konstitusi sudah demikian terbukanya (demokratis) sudah terbuka untuk orang-orang keturunan Tiong Hoa yang penting sudah berstatus sebagai WNI.Secara teoritik formalistik konstitusi yang demikian bebas seolah-olah dalam implimentasinya tidak akan menimbulkan benturan.Apakah dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan perlawanan dari masyarakat ? dalam perspektif itulah tulisan ini di dedikasikan. Ketika sosok keturunan Tiong Hoa yang bernama AHOK diajukan oleh partai politik untuk maju menjadi calon Gubernur DKI Jakarta dalam kontek ini sosok AHOK itu jelas pilihan dari partai politik pengusung.

Jika Ahok kemudian ditolak oleh masyarakat dengan alasan telah melakukan penistaan agama Islam dan telah dalam status tersangka ("TSK"). Bahkan gelombang demonstran dari kalangan umat Islam hampir 3 juta manusia berkumpul meminta agar Ahok segera ditangkap untuk ditahan dan diadili. Dalam keadaan seperti itu pihak Mabes Polri masih juga belum melakukan penahanan. Disisi lain, partai politik pengusung Ahok sebagai calon Gubernur DKI tetap bersikukuh mempertahankan Ahok selaku calon Gubernur DKI Jakarta. Partai politik pengusung tetap bersikukuh mempertahankan Ahok sebagai calon Gubernur DKI Jakarta, seolah sudah tidak ada lagi pengganti calon Gubernur DKI Jakarta selain Ahok.Sulit dilakukan analisa secara akademis mengapa partai pengusung demikian bersikukuh tetap mempertahankan Ahok meskipun ibarat langit sudah mau runtuh. 

Ada konsesi-konsesi apa antara partai pengusung dengan Ahok atau kelompok kepentingan lainnya. yang sudah pasti penolakan masyarakat terutama umat Islam ( prosentase antara yang menolak dan menerima belum dapat di konfirmasikan) atas keberadaan Ahok sebagai calon Gubernur DKI gelombangnya sangat besar. Potensi terjadinya konflik horizontal bahkan sangat besar yang tentunya sangat memberatkan tugas kepolisian dalam menjaga ketertiban dan keamanan jika demonstrasi gelombang besar jutaan umat muslim turun ke jalan.

Kearifan Lokal yang terlupakaan

Dalam perspektif sejarah kemerdekaan Indonesia memori kolektif masyarakat Indonesia tentu masih menempel dalam benak orang banyak bahwa tokoh-tokoh Islam nusantara aktual factual ada di barisan terdepan dalam usaha melawan pemerintahan kolonial Hindi Belanda. Bahkan sumpah pemuda 1928 yang bersumpah untuk cita-cita Indonesia merdeka ( satu nusa satu bangsa satu bahasa melayu sebagai bahasa nasional ) adalah modal utama dalam frame cita-cita kemerdekaan. Sumpah pemuda tahun 1928 memiliki cita rasa bagi seluruh warga nusantara yaitu keinginan untuk merdeka melawan pemerintahan kolonial Belanda. 

ASecara sosiologis dapat diprediksi nilai-nilai sejarah tersebut tentunya memiliki kontribusi dalam mewarnai kehidupan dalam berbangsa dan bernegara dalam kaitannya dengan perebutan kepemimpinan politik antara lain  Presiden, Gubernur,  Bupati. Pembangunan hukum meskipun telah menggunakan teori-teori demokrasi yang paling mutakhir nampaknya tetap saja tidak tepat jika melupakan nilai-nilai sejarah. Nilai-nilai sejarah dari suatu bangsa itulah yang kemudian menghasilkan nilai-nilai apa yang kita sebut sebagai "kearifan lokal".  

Imlimentasi Kearifan Lokal

Rasanya semua orang bisa memahami disebabkan di Propinsi Bali itu, mayoritas beragama Hindu-Budha maka sampai saat inipun Gubernurnya belum memungkinkan untuk dijabat oleh orang yang beragama Islam. Demikian juga di NusaTenggaraTimur (NTT) mayoritas beragama Katolik untuk jabatan Gubernur orang-orang Islam juga belum dimungkinkan. Didaerah-daerah lainnya yang Islam minoritas juga belum memungkinkan mendududki jabatan Gubernur misalnya di Maluku / Ambon. Sebaliknya karena mayoritas di propinsi Aceh beragama Islam non muslim  juga belum dimungkinkan untuk menduduki jabatan Gubernur.Tentu dalam frame negara yang ber Idiologi Negara Pancasila setiap WNI secara lambat laun berdasarkan kesadaran hukum masyarakat dapat menduduki jabatan kenegaraan dalam level apapun. Kesadaran akan berbangsa dan bernegara dalam frame Bhineka Tunggal Ika itulah melalui pendekatan semangat kearifan lokal perlu terus menerus dengan kesabaran dibina. Jika pembinaan masyarakat dalam kerangka penyadaran hukum tidak secara intensif dilakukan maka dapat diprediksi konstitusi dalam perspektif penegakan hukum sulit terlaksana dengan baik.

Bagaimana dengan Propinsi DKI Jakarta ? populasi muslim di jakarta lebih kurang 85%, jika kemudian non muslim demi hukum (UU) dapat menduduki jabatan Gubernur apakah masyarakat jakarta sudah dipersiapkan secara mental melalui berbagai pendekatan.Apakah sudah dipandang tidak diperlukan lagi nilai-nilai  kearifan lokal khusus untuk wilayah Jakarta ? apa penjelasan akademiknya jika demikian halnya ? boleh jadi potensi kerawanan konflik di jakarta disebabkan tidak dihiraukannya keberaan kearifan lokal sebagai mana masih berlaku di propinsi-propinsi lainnya. Kajian-kajian yang bersifat akademik untuk membuktikan kebenaran hipotesa tersebut tentunya sangat diperlukan kaitannya antara pembangunan hukum nasional dengan kearifan lokal sebagai hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Fenomena Ahok dapat dijadikan momentum untuk melakukan evaluasi ulang dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara dengan tanpa mengurangi keberadaan kearifan lokal sebagai hukum yang hidup dan berkembang serta berlaku di tengah-tengah kehidupan masyarakat (living law). Jika dalam membangun tatanan hukum nasional tidak mengindahkan nilai-nilai sejarah serta nilai-nilai kearifan lokal maka hukum positif yang berlaku dapat dipandang tidak lagi mengindahkan perasaan masyarakat.Hukum akan kehilangan tujuan intinya yaitu keadilan bagi masyarakat. 

Artikel Lainnya : OpiniHardi

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun