Secara umum berdasarkan pengalaman itu, saya biasanya jadi lebih nyaman. Dan yang lebih penting, rasa meriang tadi tidak berlanjut pada kondisi demam yang lebih parah.
Secara umum seperti itu, tapi kadang kondisi demamnya berlanjut dan membutuhkan pengobatan di puskesmas. Selama berobat ke tenaga kesehatan, ramuan sambiloto tetap jalan.
Ramuan kedua yang sering saya konsumsi sejak masa kecil adalah campuran antara jahe dan gula aren. Jamu tradisional ini jadi andalan ketika gejala flu mulai menyerang, termasuk ketika flu itu menyebabkan penumpukan dahak di tenggorokan yang membuat kita batuk parah.
Kehangatan air dengan sensasi jahe yang hangat dan sedikit pedis itu berhasil mengencerkan dahak. Kalau sudah encer, biasanya mudah dibatukkan untuk dibuang.
Setidaknya dua jenis ramuan itu yang menemani masa kecil saya ketika sakit hingga akhirnya tumbuh dewasa dan merantau jauh dari orang tua seperti sekarang.
Meski telah lama menikmatinya, saya kadang tidak menyadari kalau itu adalah jamu. Konsep jamu dalam benak saya masih identik pada ibu penjual jamu gendong.
Pertahanan Primer Selama Pandemi COVID-19
Ketika saya mulai belajar ilmu keperawatan dan kesehatan pada umumnya, saya pun sedikit mengerti mengenai penggolongan obat-obatan yang berlaku di Indonesia. Dan jamu tadi juga diakui sebagai obat tradisional yang melengkapi jenis pengobatan lain yang lebih modern.
Saat kuliah jurusan keperawatan dulu, saya juga belajar mata kuliah keperawatan komplementer. Sesuai namanya, komplementer itu dianjurkan sebagai pelengkap pengobatan lain.
Dari sekian banyak jenis terapi komplementer tersebut, jamu adalah salah satunya. Dan jamu ini disebut sebagai ramuan tradisional bangsa Indonesia yang mulai diakui oleh bangsa lain.
Ketika pandemi COVID-19 sedang meningkat pada tahun 2020, saya sedang berjuang menyelesaikan pendidikan Magister Keperawatan di Fakultas Keperawatan Universitas Airlangga, Surabaya.