Pendek kata, dari beberapa penelitian yang saya baca, vape yang awalnya dianggap sebagai solusi kini menjadi masalah juga pada akhirnya. Rokok elektrik bisa dianggap sebagai upaya mengatasi masalah dengan masalah.
Soalnya, informasi dampak buruk rokok elektrik ini kalah bersaing dengan promosi penjualan yang dilakukan selebgram dan pesohor lainnya. Kita tahu, tren di Indonesia selalu datang dari orang terkenal di media massa daripada para ilmuwan.
Mungkin "Matinya Kepakaran" sudah benar-benar terjadi sehingga banyak masyarakat lebih merujuk pada orang yang salah. Akibatnya tren penggunaan vape makin meningkat dan orang-orang mungkin tidak peduli pada sedikit informasi mengenai bahaya penggunaannya.
*
Saya kemudian mengingat bagaimana dulu saya berhenti merokok. Sebenarnya saya sudah tulis pengalaman tersebut yang bisa Anda baca di sini dan di sini.
Tapi saya coba meringkas sedikit di sini. Saya berhasil berhenti merokok yang telah berjalan kurang lebih 13 tahun, semuanya berkat pengaturan pikiran bawah sadar atau kita juga bisa sebut sebagai niat yang kuat.
Sekitar tahun 2019, saya mulai berpikir untuk berhenti merokok tapi candu membuat saya terus terbelenggu. Hingga akhirnya saya menemukan buku bagus berjudul "Kekuatan Pikiran" karya Christian H. Godefroy.
Buku itu menekankan bahwa semua perilaku kita, termasuk kecanduan merokok, dipengaruhi oleh sistem kepercayaan yang terbentuk dalam alam bawah sadar. Karena itu, menurut penulis buku tersebut, kalau mau mengubah perilaku atau kebiasaan apa saja, maka ubahlah sejak dari dalam pikiran.
Berdasarkan pengalaman tersebut, saya pernah menulis di Kompasiana tentang "Berhenti Merokok dengan Kekuatan Pikiran".
Sependek yang sudah saya jalani hingga 13 tahun, metode "Kekuatan Pikiran" itu tidak memiliki efek negatif. Saya justru makin baik, semakin baik, dan lebih baik.
Tidak seperti vape yang awalnya diniatkan untuk mengurangi rokok, tapi pada akhirnya orang tetap merokok lebih lama. Bahkan ada yang dikombinasi, rokok konvensional dan rokok elektrik dinikmati semua.