Begitu tiba di rumah, Gibran terus mendesak, "Bapa, baca suratnya Keke."
Saya juga penasaran, lalu segera membukanya. Secara umum terlihat tulisan dengan huruf tali yang pastinya ditulis orang tua, buka huruf atau tulisan anak TK.
Saya membaca dengan seksama. Sepertinya kertas itu dicopot dari buku agenda rapat orang tua, karena isinya berupa rencana kerja bakti di sebuah lingkungan rumah.
"Bapa tidak bisa bahasa Inggris? Gibran terus mendesak karena saya tidak kunjung membaca keras-keras. Dia kira tulisan huruf tali itu sama dengan bahasa Inggris.
Gibran sebenarnya sudah mengenal huruf dalam taraf yang lumayan. Kalau saja tulisan itu ditulis dengan huruf tegak, dia pasti tidak membutuhkan bantuan saya. Tapi itu huruf tali, dia belum belajar sampai di sana, sehingga ia mengira itu yang namanya bahasa Inggris.
Saya sedang memikirkan apa yang perlu saya terangkan ke Gibran, anak pertama kami yang belum genap 6 tahun pada saat itu, kemudian mata saya tertuju pada sebuah coretan kecil. Itu sebenarnya hanya coretan asal jadi saya kira, tapi kalau dilihat dari berbagai sudut, kadang bisa terlihat seperti bentuk hati.
"Ini seperti ada gambar love," kata saya dengan mimik serius.
Gibran tersenyum, tapi saya kemudian khawatir juga. Apakah ini gejala yang wajar pada anak-anak seusia Gibran.
Hingga saat ini, Gibran selalu berobsesi menjadi pacarnya Keke. Tapi, kalau kami menganalisis dari apa-apa yang dia cerita, Keke sepertinya biasa saja. Keke mungkin anggap Gibran sebagai teman biasa, tapi Gibran malah memikirkan hal lain.
Mungkin salah kami juga yang sering tanya hal-hal yang tidak semestinya. Kami juga tidak tahu mana anak yang bernama Keke itu. Kami mengenalnya dari cerita-cerita Gibran sepulang sekolah.
"Tadi Keke kasi saya permen," kata Gibran suatu hari.