Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Boros Ingin Berhenti Merokok

31 Agustus 2016   09:50 Diperbarui: 31 Agustus 2016   10:10 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti yang pernah saya ceritakan sebelum-sebelumnya, kalau pagi hari, selalu berusaha menghindari untuk bertemu dengan Boros. Tapi, hari ini benar-benar apes. Belum sempat saya mengenakan sepatu agar segera ke tempat kerja, Boros sudah berdiri di hadapan pintu. Sebagai orang TiMor (Tinggi Moral), saya persilakan Boros masuk dan menunda berangkat kerja. Saya percaya, berkat Tuhan bisa mengalir lewat semua orang, termasuk sama si Boros.

Baru saja bokongnya menyentuh kursi, Boros langsung bilang, "Sudah lama sekali kita tidak ngobrol, Bang. Rindu rasanya, apalagi akhir-akhir ini banyak isu penting".

"Ah, bahasa mu itu lho, kayak pengamat di TV saja, serius amat. Santai saja. Sana, buat kopi dulu baru lanjut ceritanya".

Boros segera melaksanakan amanah dengan cekatan. Maklum, dia sudah terbiasa datang di tempat saya, seperti rumahnya sendiri. Itulah sebabnya saya juga tidak segan meminta dia menyeduh kopi buat diminum bersama.

"Bang, katanya harga rokok akan naik jadi 50 ribu sebungkus ?", Tanya Boros saat meletakkan dua gelas kopi di meja bundar yang kami kelilingi.

"Itu cuma hoax. Awalnya dari sebuah penelitian seorang profesor di FKM UI sana. Intinya, disimpulkan dari hasil penelitian mereka, kalau harga rokok dinaikkan sampai 50 ribu, sebagian besar perokok akan behenti. Saat hasil penelitian itu dipublikasi, entah siapa dan bagaimana, tersiar kabar dengan viralnya, harga rokok naik menjadi 50 ribu".

"Oh, syukurlah, hehehe..."

"Kenapa kamu tertawa, Boros ?"

"Saya kira, Bibi penjual rokok di ujung gang itu tidak mengetahui berita tentang naiknya harga rokok, sehingga saat beli tadi, harganya masih normal. Padahal, saya yang mendapat informasi keliru. Duhh..."

Saya menyeruput kopi perlahan, merasakan pahit-manis sekaligus. Seperti sedang menikmati hidup, ada sisi pahit sekaligus sisi manisnya. Semuanya itu, nikmat.

Boros mengambil sesuatu dari saku bajunya, sebatang rokok yang tinggal setengah bagian saja. Katanya sisa rokok tadi pagi. Sengaja disimpan biar hemat. Setelah meneguk kopi beberapa kali, Boros menyalakan rokok, dan mengisapkan dalam-dalam. Asap mengepul di udara. Karena ruangan sempit, asapnya dengan cepat memenuhi ruangan. Saya mengibas tangan 5 cm di hadapan hidung. Sia-sia, sejago apapun saya mengibas, pasti ada asap yang tidak sengaja terhirup.

"Andai saja harga rokok naik seperti isu tadi, apa kamu setuju ?" Boros kembali bertanya.

"No idea", kata saya sambil menggelengkan kepala, "kalau menurut kamu, bagaimana ? Apa analisis Anda sebagai pengamat ?".

"Saya kira akan terjadi ketidakseimbangan kosmik. Kasian warga miskin nantinya, semakin banyak pengeluaran untuk membeli rokok. Sudah miskin, nantinya semakin miskin akibat membeli roko yang mahal. Apalagi mahasiswa seperti saya, terpaksa banyak menipu orang tua atau keluarga agar memperolah jatah uang lebih buat beli rokok".

Saya menyela pembicaraan Boros gara-gara batuk. Mungkin gara-gara asap rokok. Entahlah, pokoknya batuk yang membuat pembicaraan Boros terhenti.

"Selain itu", Boros menlanjutkan penjelasan, "kalau sampai harga rokok naik, bisa-bisa banyak industri rokok yang kolaps. Ujungnya, nasib pekerja industri rokok dan petani tembakau serta cengkeh, tentunya semakin merana. Masalah pengangguran terus bertambah. Masalah sosial akan berjamuran".

Saya diam saja. Sesekali menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal. Beberapa helai rambut berjatuhan. Lama-lama bisa botak kalau terlalu mendengar Boros bicara.

"Pemerintah tidak boleh menaikkan harga rokok sesuka hati, ia kan ?" Boros seolah-oleh terus mendesak saya untuk menyatakan pendapat tentang rokok.

"Stop !, saya sedikit mengagetkan Boros, "dengarkan baik-baik !".

Saya menunjukkan jari telunjuk, "Pertama, kamu sudah tahu kalau saya tidak merokok. Tapi, soal orang boleh rokok atau tidak, saya tidak peduli. Saya malas berargumentasi yang tak bertepi, karena apapun yang ada di dunia ini khususnya Indonesia, mana sih yang tidak kontroversi ? Sekolah, ada yang bilang tidak perlu; lebih banyak bermain dari pada belajar; full day school; home scooling, dll. Rokok, yang kontra bilang mengganggu kesehatan; yang pro bilang meningkatkan pendapatan negara dan kesejahteraan petani atau pekerja industri. Pengedar narkoba, sebagian bilang harus dihukum mati karena efek perbuatannya menghancurkan generasi bangsa; ada juga yang bilang tidak boleh dihukum mati, itu melanggar HAM. Bumi, kini kembali diperbebatkan, apakah benar-benar bulat atau datar. Si Mukidi yang tidak tahu apa-apa, bahkan jadi sasaran, dijadikan kambing-hitam dalam perdebatan. Jadi, tidak usah diperdebatkan terus. Renungkan saja baik-baik, kalau memang mau terus merokok, monggo..".

Saya menghunus jari kedua, jari tengah, "Kedua, kalau hasil perenungan kamu menyatakan rokok itu baik, silakan dan nikmati proses serta dampaknya. Begini, informasi atau penyuluhan tentang bahaya merokok sudah saaaaaannnnnngatttttttttt banyak. Meski banyak, orang-orang tetap skeptis. Biarkan pengalaman efek merokok itu dirasakan dulu, karena menyesal itu memang harus muncul di belakang, kalau di depan namanya pendaftaran".

Saya menambah jari manis untuk diancungkan, "Ketiga, kalau sudah mantap memilih rokok sebagai bagian dari hidup, bahagialah. Jangan sampai anda mengeluh soal harga. Saat sakit, mengeluh tidak ada uang untuk berobat. Mengeluh tidak mampu menbayar iuran asuransi kesehatan. Mengeluh dan selalu berharap mendapat bantuan pemerintah. Malu kalau kita merokok dengan gagahnya, eh ternyata seorang pengeluh".

Boros terdiam cukup lama. Saya juga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam, kemudian mengehmbuskan perlahan. "Krik, krik, krik...", hanya terdengar bunyi jangkrik dari arah toilet.

***

"Saya dulu pernah merokok".

Boros ternganga, "Ah, tidak percaya. Mana mungkin muka yang tampak suci seperti abang itu merokok ?"

Saya tertawa geli mendengar Boros berceletuk seperti itu.

"Saya tinggal di lingkungan yang mudah mendapatkan rokok", saya mulai berkisah. Orang tua saya memiliki kios, salah satu barang dagangannya adalah rokok. Karena tidak diawasi dengan ketat, sejak SD saya sudah mulai coba-coba merokok. Saya terpengaruh dengan anggapan banyak orang bahwa merokok itu laki banget, dan memperbanyak teman".

"Terus, terus..?", Boros mendesak.

Saya membasahi tenggorokan dengan kopi yang mulai dingin, "Saat SMP, merokok sudah menjadi rutinitas. Setiap hari harus mengisap. Entah bagaimana pun caranya, harus merokok. Sudah ketagihan. Maka, segala cara dihalalkan. Uang dari orang tua yang seharus digunakan untuk membeli buku, alihkan buat beli rokok. Kalau uang habis, minta rokok sama teman. Kalau tidak cukup, 1 batang rokok bisa buat 5 sampai sepuluh orang, dihisap secara bergilir. Ada istilahnya: satu napas, yaitu tiap giliran hanya boleh dihisap satu kali".

"Waduh, tidak takut tertular penyakit dari mulut ke mulut ?" Boros menyela bertanya.

"Tidak pernah terpikirkan saat itu. Bahkan, saat SMA lebih gila lagi. Saya pernah bersama teman-teman mengelilingi area perkotaan (Ruteng) hanya untuk mencari puntung rokok. Biasanya, kami mencari puntung rokok di tempat sampah dekat ATM. Kalau masuk ATM kan tidak boleh merokok. Nah, orang yang buru-buru masuk ruangan ATM sementara merokok, biasanya segera membuang puntung rokok ke tempat sampah. Puntung itulah yang kami sasar, hingga menjadi rebutan".

"Ah, sampai segitunya kah ?" Boros belum yakin.

"Banyak efek lain yang kadang tidak disadari. Kebutuhan uang untuk mendapatkan rokok terus meningkat, padahal jatah uang dari orang sangat terbatas. Semenjak itu saya piawai menipu dan kadang mencuri uang milik orang tua. Intinya, apapun cara yang harus dilakukan, asalkan shahwat merokok bisa terpenuhi".

"Sulit dipercaya. Bagaimana bisa sekarang tidak merokok ?"

"Ceritanya sangat panjang. Yah, gara-gara saya kuliah dan ingin menjadi perawat. Dosen saya mengingatkan, kalau Perawat itu adalah 'role mode' bagi pasien atau masyarakat pada umumnya. Kalau mengharapkan pasien tidak merokok, maka Perawat mesti mencontohkannya".

"Ah, lebai sekali", Boros menyela dengan ekspresi sinis.

"Tampaknya lebai, tapi saya terus berusaha. Saya berniat henti merokok sejak awal tahun 2009, dan awal tahun 2010 berhasil mengendalikan diri, tidak lagi merokok".

"Caranya bagaimana ?"

"Suatu saat, tanpa sengaja saya membaca buku milik Andrew Djebau, judulnya: Kekuatan Pikiran. Luar biasa, isinya sangat menarik. Saya kemudian meminjam buku tersebut dan membaca hingga tuntas. Salah satu bagian buku tersebut, menjelaskan cara berhenti merokok dengan memaksimalkan kekuatan pikiran. Saya ikuti petunjuk dengan seksama, dan Puji Tuhan, akhirnya berhasil. Trust me, it's work !".

"Apa manfaat yang abang rasakan setelah berhenti merokok ?", Boros terus mengejar saya dengan berbagai pertanyaan yang tidak terduga sebelumnya.

"Wah, banyak sekali. Secara umum, saya merasa kualitas hidup terasa lebih baik. Saya bisa saving atau menabung dari jatah uang bulanan yang dikirim orang tua. Setalah cukup banyak, uang itu saya gunakan buat beli motor bekas, komputer, HP, pakaian, dll".

"Terus..?"

"Sewaktu kuliah di Surabaya, saya tetap mempertahankan kebiasaan menabung. Nah, tiap kali liburan tiba, saya biasanya jalan-jalan ke berbagai tempat. Saya pernah ke Jakarta, Jogja, Malang, Bali, dan tempat-tempat lain menggunakan uang sendiri, hasil penghematan dari jatah uang rokok. Selain itu, saya bisa leluasa makan di Mbok Ginuk, rutin beli buah tiap minggu, sesekali nonton di bioskop, dan yang peling penting bisa membeli buku-buku baru".

"Wah, saya tertarik untuk mencoba. Bisa ajarkan caranya ?", kata Boros sedikit memohon.

"Bisa saja, why not ? Namun, saya harus berangkat kerja sekarang. Saya akan jelaskan lain waktu saja.Itupun kalau Boros masih berminat".

"Oh iya, tentu saja berminat", kata Boros bersemangat.

"Bagus kalau begitu. Oh iya, For Your Information saja, di Kota Kupang sudah ada layanan Konseling Upaya Berhenti Merokok (UBM).

"Betul, kah ? Di mana layanan itu bisa didapat ?"

"Kamu bisa kunjungi Puskesmas Oepoi, tanya saja di sana. Tidak usah bingung dan ragu. Begitu ketemu petugas puskemas, tanya tentang konseling berhenti merokok. Pasti akan dilayani dengan baik. Nih, saya perkenalkan dengan salah seorang penggeraknya, Ners Muhamad Zainudin".

"Kalau tanya-tanya via online, bisa ko sonde ?".

"Bisa sekali. Langsung kirim pesan atau inbox ke Ners Udin, atau gabung saja di grup: KONSELING UPAYA BERHENTI MEROKOK (UBM)".

"Oh..., kalau....."

Belum sempat Boros teruskan kalimatnya, saya segera berlari ke halaman sambil berteriak, "Maaf Boros, saya sudah sangat terlambat masuk kerja", kemudian mendorong sepeda motor ke jalan, menghidupkan mesin, lalu cusss....

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun