Sebelum memulai, kami diterima secara adat oleh tokoh masyarakat Fatuleu. Tua adat memgucapkan doa, kalau tidak salah disebut Natoni, agar leluhur orang Fatuleu turut menjaga semua peserta selama berada di sana. Beliau sangat ramah, dan mengaku sebagai kepala desa dua periode di desa. "Semenjak saya jadi kepala desa, gunung Fatuleu ini semakin banyak dikenal dan dikunjungi orang dari luar", katanya dengan mantap saat mengakhiri sesi pembukaan. Tidak lama berselang, banyak pengunjung yang minta selfi bersamanya.
Pendakian dimulai. Pikiran saya berkecamuk. Saya bisa atau tidak ? Saya terus atau tidak ? Saya tunggu di lereng atau harus mencapai puncak ?
Dalam kegamangan berpikir, kaki saya terus melangkah. Ikuti saja langkah teman-teman lain, kalau mereka bisa, saya juga pasti bisa.
Jalan terus !!! Kondisi jalan semakin terjal, semakin sulit melewatinya. Mesti pelan, penuh konsentrasi. Terlena sedikit, bisa berbahaya. Batunya mirip batu karang di pinggir laut, karakteristiknya keras, kasar, dan tajam.
Sialnya, sebagai pemanjat tebing pemula, saya tidak dilengkapi peralatan pengaman. Saking kampungannya, selain tanpa menggunakan sarung tangan, saya juga mengenakan sandal jepit. Selain menyusahkan diri sendiri, saya juga malu dengan yang lain.
Akibatnya, tangan dan kaki terpaksa merasakan perih. Saya tahan saja dan terus mendaki. Apapun kondisinya, puncak Fatuleu saya gantung 5 cm di depan dahi. Cieh, terinspirasi sama film atau novel 5 cm lagi...
Sepanjang pendakian, komentar sesama peserta itu variatif. Ada yang pesimistik ada pulang yang optimistik.
"Oe kawan, kitong sampe sini sa ! Tau kita mau dapat apa sampe di atas nanti", seorang peserta berkomentar sambil megambil botol minuman di tas mininya.
"Woe, lebih baik turun ko duduk tenang-tenang. Jangan pi cari hal di atas sana", teman ikut menimpali.
"Ayo, kita sudah sampai pertengahan, sedikit lagi sudah sampai. Kita pasti bisa, tetap jalan saja, biarpun pelan-pelan".