[caption caption="Saverinus Suhardin mengucapkan, Selamat Hari Natal 2015 bagi yang merayakan"][/caption]Lama tidak menulis cerita yang panjang-panjang di sini. Kaku juga rasanya ketika mau memulai kembali. Alur berpikir macet. Mirip roda yang tidak diberi pelumas. Penuh dengan karatan dan berderit saat dipaksakan untuk berputar.
Apapun yang terjadi, mulai lagi saja. Apalagi, perayaan Natal telah tiba. Masa tidak ada cerita tantang natal yang bisa ditulis ?
Natal kali ini bercampur aduk rasanya. Gembira karena bisa berlibur dari praktik profesi ners, meski hanya sebentar. Sedih karena tidak bisa merayakannya di kampung.
Tahun ini, menjadi tahun ke-3 saya merayakan Natal di rantauan, Kota Surabaya. Cara saya merayakan, hampir tidak ada bedanya. Bangun pagi, pasang perangkat audio dengan lagu-lagu natal. Setelahnya, tidak melakukan apa-apa. Duduk di sudut pintu kamar, sambil minum kopi kalau ada. Kemudian merenung atau berkhayal. Bisa kembali pada memori terdahulu, atau berandai-andai dengan masa depan. Hari ini, saya juga melakukan hal yang sama.
Pada masa lalu, saya jadi ingat kembali kenangan manis merayakan natal di kampung. Saat masih SD, tiap liburan natal, kami sekeluarga biasanya mengunjungi rumah Opa dan Oma. Memang tidak begitu jauh. Tapi, karena kondisi jalan waktu itu belum beraspal, sarana transportasi juga terbatas, maka harus jalan kaki hingga jalan utama. Dari situ, barulah bisa menumpang angkutan umum hingga tujuan.
Tiap kali liburan, paling sering kami membawa oleh-oleh ayam. Sudah menjadi tugas saya untuk menjinjingnya. Kedua sayap dan kaki ayam diikat biar tidak berontak. Begitu tiba, biasa Opa dan Oma langsung menyambut, "Oh..,cucu saya pintar sekali. Luar biasa bisa bawa ayam". Saya merasa bahagia. Lalu kami melewati perayaan natal bersama. Pergi misa di gereja, bersalaman-berpelukan-cipika-cipiki sambil mengatakan, "salam damai natal". Dan paling penting, saat makan kue dan daging. Di kampung, tidak setiap hari kita bisa makan kue dan daging, tunggu saat-saat tertentu, seperti perayaan natal tadi. Makanya, ketika itu dulu, bagi saya natal adalah saatnya makan enak.
Beranjak ke masa sekolah menengah (SMP-SMA), beda lagi cara merayakannya. Biasanya ada program dari sekolah untuk berkunjung ke paroki di daerah pedalaman. Kami siswa/i disiapkan untuk menyanyi (koor) saat misa natal. Selain itu ada juga kegiatan pentas seni, pertandingan sepakbola dan bola voli.
Kalau tidak ada kegiatan sekolah tadi, biasanya diajak teman untuk merayakan natal di kampungnya. Jalan dari kampung ke kampung. Senang saja bisa mengetahui kebiasaan merayakan natal di daerah atau kampung lain. Intinya, saat masa remaja itu dulu, bagi saya natal adalah jalan-jalan.
Begitu kuliah, natal adalah rindu orang tua dan keluarga. Hal ini bisa terjadi karena tempat kuliah sangat jauh dari kampung. Liburan natal yang dialokasikan oleh penyelengara pendidikan rasanya kurang cukup untuk bisa pulang kampung. Waktu tempuh pergi-pulang cukup lama, rasanya hari libur hanya akan dihabiskan dalam perjalanan saja. Belum lagi bicara soal biaya, semakin rumit urusannya.
Ada juga hal baru yang saya tahu soal natal saat kuliah, khususnya saat media sosial ramai digunakan. Kurang lebih 3 bulan sebelum hari raya natal, ramai dibicarakan soal ucapan selamat natal. Ada orang-orang non-kristen menganggap dan menyebarkan informasi atau lebih tepatnya mengajak orang yang berkeyakinan sama, agar tidak mengucapkan selamat hari natal pada umat kristiani. Semuanya dikemas dalam bentuk tulisan atau status FB, atau tulisan pada situs online yang disebarkan di berbagai media sosial. Kalau kita baca komentar dari pembaca, jelas terjadi pro dan kontra. Tidak semua setuju dengan himbauan seperti itu.
Jujur, awalnya saya merasa heran saat membaca berita atau himbauan seperti itu. Kok bisa ada larangan begitu ? Lama-lama akhirnya saya tidak memikirkannya lagi. Biarkan saja, karena setiap orang punya pilihan masing-masing.