Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Libur Lebaran 03: Malam Hari di Bali

24 Juli 2015   20:23 Diperbarui: 24 Juli 2015   20:27 1145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kembali saya mengucap selamat sesuai waktu Anda membaca tulisan ini. Selamat pagi, atau siang, atau malam. Senang rasanya bisa terus bercerita tentang pengalaman selama libur lebaran di Pulau Dewata. Sudah ada 2 tulisan sebelumnya. Kalau Anda mengikuti terus, syukurlah, sehingga bisa memahami secara utuh ceritanya. Jika tidak, silahkan klik tulisan ini dan ini.

Tulisan ketiga ini khusus menceritakan aktivitas saat malam hari pertama di Bali. Cerita sebelumnya berakhir saat makan malam di kost teman saya, Vian. Setelah makan, kami menonton acara FTV di salah satu TV swasta. Menurut Vian, dia cukup rutin menonton FTV tiap hari. Bisa jadi referensi saat berpacaran, itulah alasan yang sering dijawab saat ditanya alasan mengapa suka dengan film tersebut.

Namun tidak berlangsung lama. Vian mengajak saya jalan-jalan melihat seputaran Kota Bali di malam hari. Tentu saya mengiyakan. Rela tidak mengikuti jalan cerita FTV. Lagian FTV bisa kita khayal sendiri ceritanya, tapi pengalaman nyata belum tentu bisa terulang kembali. Selagi berada di Bali, tidak ada salahnya kita melihat banyak hal yang unik.

 [caption caption="Bali saat malam hari"][/caption]

Wisata Malam

 

Saya kira, setiap kota di manapun itu, saat malam hari terlihat menakjubkan. Khususnya bagi saya yang lama hidup di desa, tentu saja berdecak kagum melihat lampu berwarna-warni dari setiap rumah, gedung perbelanjaan, hotel, restoran, patung atau monumen, lampu jalan dan sebagainya. Hal yang tidak pernah terlihat di kampung.

[caption caption="Salah satu ruas jalan di Bali saat malam hari"]

[/caption]

Apalagi di Bali. Bangunan yang khas, mulai dari bentuk atap maupun ukiran yang menghiasi dinding gedung, terlihat menawan ketika dipadu dengan cahaya lampu. Hampir sepanjang jalan saya mengungkapkan kekaguman. “Olee...,ngeri e. Adih...pung bagus lai. Mama sayang e...!!?”, dan masih banyak lagi ocehan saya tiap melihat hal yang indah dan unik. Vian tertawa saja sambil mengendalikan jalannya sepeda motor. Apalagi kendaraan sangat banyak, lalu lintas ramai, jika tidak berhati-hati bisa celaka.

Tibalah kami di tempat tujuan. Ternyata Vian mengajak saya ke daerah Kuta-Bali. Suasananya ramai sekali. Banyak orang yang berhilir-mudik. Dentuman musik dari kafe di sepanjang jalan riuh terdengar. Terlihat pula banyak wisatawan yang sedang menikmati makanan dan minuman sambil duduk santai.

[caption caption="Vian di Kuta-Bali"]

[/caption]

Tidak sedikit juga yang berfoto di sepanjang jalan Kuta. Apalagi di depan Hard Rock Cafe Kuta-Bali, disediakan spot khusus bagi yang mau foto. Saya pikir tempat itu sangat khas. Hampir pasti, orang yang baru pertama kali datang ke Bali akan foto di sana. Begitupun saya, tidak merasa datang ke Bali kalau belum foto di sana. Vian dengan sabar melayani permintaan saya untuk difoto. Biar adil, saya juga meminta dia berpose di sana. Kita foto bergantian. Sesekali selfie. Kalau ada orang yang bersedia membantu, barulah kami bisa foto bersama.

[caption caption="Saya (Saver) di Kuta-Bali"]

[/caption]

Setelah itu, Vian mengajak saya menuju pantai Kuta. Pantai ini bagi saya sangatlah familiar terdengar. Sebabnya, lagu Andre Hehenusa “Kuta Bali” merupakan salah satu yang saya favoritkan. “...Suatu saat di Kuta Bali...”, itulah sepenggal lirik yang selalu terngiang dalam ingatan, meski keseluruhan liriknya tidak begitu hafal.

[caption caption="Vian, masih di seputaran Kuta-Bali"]

[/caption]

Dari jalan raya, wilayah pantai ditutup oleh tembok yang cukup tinggi. Ada pintu untuk masuk ke sana. Saat itu, kondisinya gelap. Sudah malam dan tidak ada lampu di sana. Tidak terlihat apa-apa. Hanya mendengar bunyi ombak yang menghempas di bibir pantai, serta terpaan angin laun yang begitu kencang. Samar-samar terlihat, bayangan pasangan anak manusia yang duduk berduaan. Banyak sekali, berjejer sepanjang pantai. Mungkin mereka sedang meresapi pesan-pesan cinta dari alam, agar nuansa cinta itu selalu tumbuh dalam dirinya.

[caption caption="Saya (Saver), masih di seputaran Kuta Bali"]

[/caption]

Tidak lama kami di sana. Saya mengajak Vian segera kembali pulang. Selain tidak mau mengganggu pasangan tadi, tidak baik juga kalau kami yang sesama jenis jalan berdua di sana. Haram hukumnya jalan berdua di tempat gelap dengan orang yang bukan murhim, hehehe...

 

Beda Budaya

 

Dari pantai Kuta, dengan sepeda motor, kami menelusuri tiap jalan atau gang yang bisa dilewati. Keliling saja tanpa tujuan yang jelas. Hampir sepanjang jalan didominasi oleh bule. Persis seperti yang tulis sebelumnya, Bali merupakan rumah kedua bagi bule atau wisatawan dari mancanegara. Hmmm...di mana-mana lihat bule. Dari yang bule tua hingga bule yang masih bayi, ada semuanya.

[caption caption="Suasana di Legian-Bali saat malam hari"]

[/caption]

Di kiri kanan jalan terlihat berjejer cafe yang menyajikan live music, mini market, bar, hotel, restoran, pusat perbelanjaan, panti pinjat, dan berbagai bisnis lainnya. Bule-bule tadi, baik yang sedang duduk di cafe atau sedang berjalan, paling banyak memegang botol beer. Saking banyaknya, saya bahkan menganggap mereka sudah mengganti kebutuhan cairan hariannya dengan beer. Kalau selama di Surabaya saya susah mencari beer di minimarket, di sana dengan mudah kita dapatkan. Dijual di mana-mana. Mungkin ada bedanya penerapan peraturan larangan minuman keras tiap daerah di Indonesia. Daerah pariwisata masih diperbolehkan.

[caption caption="Dua botol minuman menemani nongkrong di Legian-Bali"]

[/caption]

Lelah berkeliling, kami memutuskan nongkrong di salah satu mini market di Legian. Tidak lama di sana, hanya membeli dua botol minuman. Setelah masing-masing menenteng minuman, kami memilih nongkrong di taman Monumen Bom Bali.

Sabar, sabar, sabar..! Tadi katanya membeli 2 boto minuman, itu jenisnya apa ? Karena minuman itu masih sangat umum, lebih baik dispesifikkan pada jenis tertentu. Biar jelas.

Ok, saya akan jelaskan secara detail. Tapi saya kok heran, orang berada di Bali kok bertanya seperti itu ? Semestinya bisa tebak sendirilah. Tapi ya sudah, biar saya uraikan saja. Miuman yang kami beli itu disajikan dalam bentul botol ukuran kecil. Kurang lebih berisi 300 ml. Terdapat label khusus pada botolnya, dan saya kira semua orang sudah familiar dengan label tersebut. Banyak tulisan pada label tadi, tapi ada satu tulisan yang agak besar, “IND*MAR*T”. Isinya berupa air bening yang dingin karena disimpan dalam kulkas. Murah saja kok, dan dijual bebas di setiap mini market. Bagaimana, sudah jelas ???

[caption caption="Nongkrong sambil selfie dulu"]

[/caption]

Baiklah kalau sudah jelas. Kembali lagi pada situasi di Legian saat itu. Jama pada gadget saya menunjukkan pukul 23.00. Biasanya saya sudah terlelap mimpi pada jama segitu. Namun kala itu, tidak sedikitpun ada rasa kantuk.

Memang tidak mengukur secara pasti, namun perkiraan saya, sepanjang 1 km di Legian (Monumen Bom Bali), didominasi diskotik pada kiri dan kanan jalan. Dentuman musik riuh terdengar hingga ke jalanan dan taman tempat kami duduk. Rata-rata menyajikan live music. Terdengar lagu reagge, rock/metal, R n B, dan jenis musik lainnya. Disesuikan dengan selera para tamu yang didominasi bule. Hanya satu jenis musik yang absen di sana, yaitu musik dangdut. Saya jadi sedih tidak bisa bergoyang dangdut. Padahal kan, “dangdut is the music of my country”.

[caption caption="Vian, di seputaran Legian-Bali"]

[/caption]

Orang-orang, (sekali lagi, yang didominasi oleh bule), tumpah ruah di jalanan. Ada yang jalan sendiri, bedua, bertiga, berempat, bergerombolan, dan seterusnya. Masing-masing di tangan memegang botol minuman keras. Gaya jalannya terlihat sempoyongan, mungkin sudah mabuk. Mereka terkekeh-kekeh, bergoyang, dan ada pula yang lari-lari di jalan. Sebagian besar terlihat bergoyang dalam ruang diskotik. Ramai, gegap gempita.

Semakin larut malam, semakin banyak yang berdatangan. Ada yang menggunakan jasa taxi, sepeda motor, jalan kaki, digendong sama pacarnya. Mungkin di tempat lain orang sudah pada tidur, istirahat untuk menghilangkan kelelahan setelah berkerja seharian. Sementara di sana, seperti baru memulai hari. Tetap semangat dan terus terjaga. Wow..., baru pertama kali saya menyaksikan pemandangan seperti itu.

[caption caption="Saya (Saver), masih di seputaran Legian- Bali"]

[/caption]

Di sebelah tempat kami duduk, ada dua orang bule. Saya perhatikan sejak tadi keduanya asyik menenggak beer. Entah sudah berapa botol yang habis. Salah seorang dari mereka sibuk membeli yang baru tatkala beer pada botol sebelumnya hampir habis. Keduanya minum secara berkelanjutan. Beda dengan yang lainnya, mereka tampak diam saja. Tidak berdisko, tidak ribut atau teriak-teriak, terlihat tidak sedang mabuk. Padahal sudah banyak botol bekas yang telah diminta oleh pemulung yang sedang lewat di sana.

Ingin rasanya bercerita dengan mereka berdua. Namun ada banyak pertimbangan yang menjadi kendala bagi kami untuk memulai percakapan. Pertama, jujur saja, kemampuan bahasa inggris kurang memadai. Kedua, takut percakapan semakin ngawur karena mereka sudah minum beer terlalu banyak. Dari pada terjadi salah paham, lebih baik diam-diam saja sambil menikmati keriuhan yang ada.

 

“Mas, dari mana ?”, tanya salah seorang dari mereka dengan logat bule yang khas.

 

Waduh, ternyata diantara mereka ada yang bisa berbahasa Indonesia. Akhirnya kami berkenalan dan bisa ngobrol tentang banyak hal. Bule yang agak kurus namanya Joseph dan yang berbadan tegap berotot, namanya Paul. Keduanya berasal dari Jerman. Joseph ternyata sudah lama di Indonesia. Dia mengaku kuliah di UGM Jogja, mengambil jurusan Sastra Indonesia. Makanya dia paling lancar berbahasa Indoensia. Sementara Paul, hanya berlibur selama 2 minggu saja di Bali. Dia kuliah di Jerman, dan tentunya tidak bisa berbahasa Indonesia.

Dari sekian banyak ngobrol, tiba-tiba Joseph curhat tentang pengalaman berpacaran selama berada di Indonesia. Dia mengaku, ada pacar orang Jakarta. Tapi, dia stress dengan kebiasaan atau budaya Indonesia, karena tidak bisa ngapa-ngapain (berciuman dan seterusnya), kalau belum nikah secara sah.

Saya dan Vian hanya bisa menjelaskan kalau memang budaya kami seperti itu. Dalam hati saya jengkel dengan pikirannya tadi. Kalau saja bisa seperti yang Joseph inginkan, ya tidak mungkin juga kalau saya dan Vian nongkrong bersama. Pasti sudah membawa pasangan cewek masing-masing. Terserah mau didapat dari mana. Ahh...ada-ada saja bule ini.

 [caption caption="Kiri-kanan: Paul, Joseph, Vian, dan saya (Saver)"]

[/caption]

            Duduk lama-lama di sana, akhirnya bosan juga. Saya dan Vian sepakat pulang ke kost. Kami berpamitan dengan 2 bule dari Jerman tadi. Saya perhatikan jam, sudah menunjukan angka 01.00. Tidak sabar lagi untuk segera tiba di kost, merebahkan badan, dan tidur. Capai sekali rasanya. Tapi, di seputaran Legian tetap ramai. Orang terus berdatangan. Entah sampai jam berapa seperti itu ??? Saya belum menemukan jawabannya.

            Baiklah, tulisan kali ini saya cukupkan di sini. Nanti akan dilanjutkan lagi. Ikuti terus ya ? Memang tida bermanfaat, tapi sebaiknya Anda tahu. Mungkin tulisan berikutnya agak lama dari biasanya, sekitar 2-3 hari lagi. Ada hal yang harus saya selesaikan dulu. Salam sukses buat semua. Tuhan memberkati !!!

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun