Semakin larut malam, semakin banyak yang berdatangan. Ada yang menggunakan jasa taxi, sepeda motor, jalan kaki, digendong sama pacarnya. Mungkin di tempat lain orang sudah pada tidur, istirahat untuk menghilangkan kelelahan setelah berkerja seharian. Sementara di sana, seperti baru memulai hari. Tetap semangat dan terus terjaga. Wow..., baru pertama kali saya menyaksikan pemandangan seperti itu.
[caption caption="Saya (Saver), masih di seputaran Legian- Bali"]
Di sebelah tempat kami duduk, ada dua orang bule. Saya perhatikan sejak tadi keduanya asyik menenggak beer. Entah sudah berapa botol yang habis. Salah seorang dari mereka sibuk membeli yang baru tatkala beer pada botol sebelumnya hampir habis. Keduanya minum secara berkelanjutan. Beda dengan yang lainnya, mereka tampak diam saja. Tidak berdisko, tidak ribut atau teriak-teriak, terlihat tidak sedang mabuk. Padahal sudah banyak botol bekas yang telah diminta oleh pemulung yang sedang lewat di sana.
Ingin rasanya bercerita dengan mereka berdua. Namun ada banyak pertimbangan yang menjadi kendala bagi kami untuk memulai percakapan. Pertama, jujur saja, kemampuan bahasa inggris kurang memadai. Kedua, takut percakapan semakin ngawur karena mereka sudah minum beer terlalu banyak. Dari pada terjadi salah paham, lebih baik diam-diam saja sambil menikmati keriuhan yang ada.
“Mas, dari mana ?”, tanya salah seorang dari mereka dengan logat bule yang khas.
Waduh, ternyata diantara mereka ada yang bisa berbahasa Indonesia. Akhirnya kami berkenalan dan bisa ngobrol tentang banyak hal. Bule yang agak kurus namanya Joseph dan yang berbadan tegap berotot, namanya Paul. Keduanya berasal dari Jerman. Joseph ternyata sudah lama di Indonesia. Dia mengaku kuliah di UGM Jogja, mengambil jurusan Sastra Indonesia. Makanya dia paling lancar berbahasa Indoensia. Sementara Paul, hanya berlibur selama 2 minggu saja di Bali. Dia kuliah di Jerman, dan tentunya tidak bisa berbahasa Indonesia.
Dari sekian banyak ngobrol, tiba-tiba Joseph curhat tentang pengalaman berpacaran selama berada di Indonesia. Dia mengaku, ada pacar orang Jakarta. Tapi, dia stress dengan kebiasaan atau budaya Indonesia, karena tidak bisa ngapa-ngapain (berciuman dan seterusnya), kalau belum nikah secara sah.
Saya dan Vian hanya bisa menjelaskan kalau memang budaya kami seperti itu. Dalam hati saya jengkel dengan pikirannya tadi. Kalau saja bisa seperti yang Joseph inginkan, ya tidak mungkin juga kalau saya dan Vian nongkrong bersama. Pasti sudah membawa pasangan cewek masing-masing. Terserah mau didapat dari mana. Ahh...ada-ada saja bule ini.
[caption caption="Kiri-kanan: Paul, Joseph, Vian, dan saya (Saver)"]