Sempat berpikir tidak mau turun, sebelum berangkat dari Surabaya, saya sudah makan yang banyak. Masih kenyang. Namun, begitu tahu kalau makan di sana gratis –merupakan standar pelayanan armada travel selain snack-, terpaksa saya makan lagi. Biar tidak hilang percuma jatah makan malam itu.
Warung itu menerapkan sistem prasmanan. Setiap orang dipersilahkan mengambil nasi dan sayur sesuai kebutuhan masing-masing, asalkan mengambil lauk sesuai jatah yang telah ditentukan. Sistem tersebut sama dengan yang diterpakan oleh Mbok Ginuk, pemilik warteg langganan saya di Nginden-Surabaya.
[caption caption="Sedang menikmati makan malam (Kiri-kanan: Kak Yomhi, Kak Korri, dan paling ujung kanan (bertopang dagu) Kak Aty"]
Saat makan, ternyata Kak Aty tidak sanggup makan sama sekali. Beliau masih takut sama kebiasaan mabuk naik kendaraan. Padahal, Kak Aty sudah mengambil nasi. Masa dibuang begitu saja ? Sekali lagi, dengan sangat terpaksa, saya bersama Kak Korry bergotong royong menghabiskannya.
Hmmm...super kenyang. Perjalanan dilanjutkan. Saat lambung penuh dengan makanan, maka aktivitas pencernaan secara kimiawai maupun mekanik semakin meningkat. Agar mendukung proses pencernaan tersebut, tubuh pun melakukan kompensasi, aliran darah ke lambung ditingkatkan. Efeknya, aliran darah ke bagian tubuh yang lain termasuk kepala sedikit berkurang. Karena aliran darah menuju kepala sedikit menurun, rasa ngantuk tidak tidak bisa ditahan lagi. Saya pun tertidur, meski sesekali kaget saat sopir melakukan manuver yang mengagetkan.
[caption caption="Antrian bus dari Ketapang menuju Gilimanuk"]
Saya kembali terjaga begitu tiba di pelabuhan Ketapang, Banyuwangi. Dari sini kami harus menyeberang dengan kapal ferry menuju Pulau Bali. Cukup lama kami mengantri, menunggu giliran. Saat itu, penumpang dan kendaraan dari Bali ataupun sebaliknya terlihat cukup padat. Maklum saat itu H-4 lebaran.
[caption caption="Kendaraan yang baru keluar dari kapal ferry. Tampa pula Ibu penjual kopi."]