Tas, benda ang sudah tidak asing lagi bagi semua orang. Apalagi anak sekolah/mahasiswa, sudah berang tentu (pernah) memakai tas.
Tas, wujudnya beraneka ragam, begitu pula bahan pembuatannya. Saat SD, -berdasarkan pengamatan saya- cuma satu atau dua orang saja menggunakan tas hasil yang dibeli di pasar. Selebihnya, banyak yang menggunakan "Mbere" (Khas daerah Flores-Manggarai), tas yang biasa dibuat sendiri, terbuat dari anyaman daun pandan. Atau jika tidak bisa membuat, paling sering menggunakan kantong plastik (kresek) bekas, sebagai pengganti tas. Dari berbagai bentuk dan bahan tas tersebut, fungsinya sama saja, yaitu menyimpan buku, ballpoint, mistar, lidi sebagai alat bantu hitung, bekal, dan sebagainya.
Saat SMP-SMA, saya melihat trend agak berubah. Tidak terlihat lagi ada yang menggunakan kantong plastik (kresek) sebagai tas. Tapi, bukan berarti mereka semua memilih tas buatan industri, malah tidak suka memakai tas sama sekali.
Memang tidak semua siswa seperti itu, tapi lumayan banyak fenomena itu terlihat. Misalnya, saya sendiri dan beberapa teman, lebih memilih kantong/saku baju atau celana seragam sebagai tempat menyelipkan buku. Tidak banyak buku tulis (biasaya tipis-tipis) yang kami bawa, cukup 2 sampai 3 buah, kemudian digulung sedemikian rupa, sehingga bisa muat di saku celana atau baju.
Akibatnya, buku-buku tadi cepat rusak dan kumal. Catatan pelajaran di sekolah terlihat berkerut, tulisannya pudar, dan pada akhirnya susah untuk dibaca kembali. Sudah pasti, hampir tidak ada pelajaran yang terseimpan baik dalam memori.
Ada juga yang lebih sadis lagi. Tidak membawa tas dan buku tulis ke sekolah. Hanya menyiapkan 2-5 lembar kertas yang dilipat kecil-kecil, dimasukan ke saku baju atau celana. Ballpoint diselipkan di saku baju kalau ada, jika tidak, pinjam sana-sini begitu tiba di kelas. Begitu masuk kelas, biasanya kedua tangan dimasukkan ke dalam saku, kepalanya digoyang-goyang mengikuti irama siulan yang keluar dari mulut yang dimonyongkan. Kesannya cerdas. Tapi begitu ditanya sesuatu, bingung dan pusing tujuh keliling untuk memjawabnya. Saat diperbolehkan melihat jawaban di catatan pelajaran sebelumnya, tidak ada arsip yang tersisa. Nol kaboak alias nol besar.
Saat kuliah sudah agak berbeda. Meskipun masih ada beberapa orang yang berkarater seperti yang saya ceritakan di atas. Tapi tidak jamak. Mungkin itu hanya anomali, satu sampai dua orang dari ratusan orang lainnya.
Saat melanjutkan kuliah Pendidikan Ners di FKp Unair pada pertengahan tahun 2013 lalu, saya melihat atau mengalami hal yang berbeda dari pengalaman sebelumnya. Awalnya, saya berencana hanya menggunakan tas samping ukuran kecil saja. Maklum saat itu lagi trend menggunakan tas-tas samping, yang hanya bisa menyimpan gadget, 1-2 buku catatan ukuran kecil, dan charger. Selebihnya, tidak akan muat lagi.
Begitu kuliah hari pertama, saya langsung risih. Teman kelas, kakak tingkat, hampir semua mahasiswa/i yang mondar-mandir, masing-masing menggendong tas ukuran besar. Dari cara mereka jalan, atau cara menggendong tas, bisa dipastikan sangat berat bawaannya.
Saya pun pelan-pelan mengobservasi teman sekelas. Dengan seksama saya perhatikan ketika mereka membuka tas. Terlihat buku-buku pelajaran yang ukurannya tebal, cukup berat kalau ditenteng satu tangan. Bahkan kalau sedang jadwal presentase tugas, tidak hanya tas besar digendong di punggung, kedua tangan juga masing-masing menjinjing tas yang berisi buku. Belum lagi bekal lain seperti botol air ukuran 1 liter, bekal makan siang yang tetata dalam rantang khusus. Sudah pasti sangat berat.
Saya terpengaruh. Tidak mungkin hanya saya yang tidak membawa "bekal" buku sumber yang cukup saat presentase tugas. Saya tidak mau tampil beda, mengerjakan tugas tanpa buku sumber yang jelas. Apa kata dunia ?
Apakah kebiasaan itu dipaksankan oleh pendidik/Dosen ? Ohh..tidak tentunya. Memang pada kontrak perkuliahan di awal semester, Dosen hanya menyarankan menggunakan literatur terbaru dalam mengerjakan tugas.Seterusnya, mahasiswa dengan kesadaran masing-masing, selalu menyiapkan yang terbaik. Meminjam buku di perpustakaan, menbawanya ke sana- ke mari, tidak peduli dengan berat beban yang dipikul di punggung atau yang dijinjing.
Melihat kenyataan seperti itu, saya akhirnya membeli tas ukuran besar, yang biasanya digending di punggung. Demi penghematan, saya membeli tas yang murah. Harga tentunya menentukan kualitas. Tas yang saya beli saat itu bisa dibilang KW-5. Tas abal-abal.
Nah, satu kali kami kuliah pagi pukul 06.00. Saat itu, kelompok kami yang mendapat giliran mempresentasikan tugas. Nah, sebagai "bekal", saya membawa buku sumber yang cukup tebal dan berat tentunya. Tas saya terisi penuh.
Karena tiba agak terlambat di kampus, dari tempat parkir, saya berlari menuju ruang kelas. Ehh...baru lima langkah, tiba-tiba terdengar "prreeettt". Begitu saya periksa, ternyata tali tas putus. Tidak mungkin lagi saya menggendongnya di punggung, terpaksa memangkunya hingga tiba di kelas.
Tidak berakhir di situ, saat pelajaran berakhir, saya memasukkan kembali semua buku dan barang-barang lain. Begitu resleting tas saya tarik, langsung terlepas karena "muatan" yang berlebihan. Sial ! Langsung hari itu juga saya buang tas itu, lalu membeli tas baru yang lebih berkualitas. Tidak masalah harus merogoh kocek lebih mahal, asalkan kuat dan bertahan lama.
Waktu terus berjalan. Hingga kini, saat menjalani praktik profesi ners, kebiasaan menggendong tas besar di punggung sudah menjadi pemandangan yang lumrah. Semua teman-teman melakukan hal yang sama.
Tadi, saya kembali berpikir tentang kebiasaan tersebut. Saat pulang praktik, perhatian saya tertuju pada punggung teman-teman sekelompok. Semua menggendong tas, ukurannya cukup besar.
Iseng, saya coba mengangkat tas teman-teman. Diperkirakan, rata-rata beratnya antara 10-20 Kg. Lalu, saya foto dari belakang (seperti yang ter-upload).
Memikul tas yang berat, berisi buku dan perlatan lain, didibaratakan sebagai "bekal", senjata dan amunisi untuk "berperang" melawan proses, menuju kemenangan abadi.
Pada akhirnya, saya akan menulis bagaimana dampak jika tidak membawa tas saat sekolah bagi kehidupan kita. Jujur saja, tulisan berikut ini, saya gubah atau adaptasi dari tulisan yang beredar di SocMed,dimana judul aslinya "lost your pen". Saya mengubahnya, dengan mengganti ""pen" dengan "tidak membawa tas sekolah".
Tidak membawa tas ke sekolah = tidak membawa buku
Tidak punya buku = tidak belajar
Tidak belajar = Tidak lulus kuliah (Bukan sarjana)
Bukan sarjana = (sulit) tidak kerja
Tidak kerja = tidk ada uang
Tidak ada uang = tidak makan
Tidak makan = badan bisa kurus kering
Badang kurus = kemudian terlihat jelek
Jelek = tidak ada yang mau jadi pacar
Tidak ada pacar = tidak menikah
Tidak menikah = tidak memiliki anak
Tidak ada anak = hidup sendiri (menyendiri)
Menyendiri = depresi
Depresi = sakit
Sakit = Kematian
Jadi, jangan sampai tidak membawa tas yang berisi "bekal" yang cukup di dalamnya (Buku pelajaran, buku tulis, ballpoint, mistar, dan peralatan pendukung lainnya).
Selamat malam....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H