Mohon tunggu...
Saverinus Suhardin
Saverinus Suhardin Mohon Tunggu... Perawat - Perawat penulis

Saverinus Suhardin. Seorang Perawat yang senang menulis. Sering menuangkan ide lewat tulisan lepas di berbagai media online termasuk blog pribadi “Sejuta Mimpi” (http://saverinussuhardin.blogspot.co.id/). Beberapa opini dan cerpennya pernah disiarkan lewat media lokal di Kupang-NTT, seperti Pos Kupang, Timor Express, Flores Pos dan Victory News. Buku kumpulan artikel kesehatan pertamanya berjudul “Pada Jalan Pagi yang Sehat, Terdapat Inspirasi yang Kuat”, diterbikan oleh Pustaka Saga pada tahun 2018. Selain itu, beberapa karya cerpennya dimuat dalam buku antologi: Jumpa Sesaat di Bandara (Rumah Imaji, 2018); Bingkai Dioroma Kehidupan: Aku, Kemarin dan Hal yang Dipaksa Datang (Hyui Publisher, 2018); Jangan Jual Intergritasmu (Loka Media, 2019); dan beberapa karya bersama lainnya. Pernah menjadi editor buku Ring of Beauty Nusa Tenggara Timur: Jejak Konservasi di Bumi Flobamorata (Dirjen KSDA, 2021); Konsep Isolasi Sosial dan Aplikasi Terapi : Manual Guide bagi Mahasiswa dan Perawat Klinis (Pusataka Saga, 2021); dan Perilaku Caring Perawat Berbasis Budaya Masyarakat NTT (Pustaka Saga, 2022). Pekerjaan utama saat ini sebagai pengajar di AKPER Maranatha Kupang-NTT sambil bergiat di beberapa komunitas dan organisasi. Penulis bisa dihubungi via e-mail: saverinussuhardin@gmail atau WA: 085239021436.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Musim Pemalsuan (3)

31 Mei 2015   19:37 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Catatan: Sebaiknya Anda baca dulu cerita bagian pertama dan bagian kedua)

Sudah beberapa hari terahir, tidak terdengar lagi pembicaraan mengenai Safera. Biasanya Paijo dan sahabatnya gencar membahasnya. Mereka biasanya saling mengungkapkan kekaguman akan Safera. Mulai dari kecantikannya, kerapihan dalam berbusana, hingga keramahan dalam melayani pasien dan keluarga di rumah sakit. Tidak luput, keduanya juga berandai-andai bisa menjadi kekasih Safera.

Rupanya, sahabat Paijo yang tidak berminat menanyakan tentang Safera. Biasanya, dialah penyebab diskusi hangat bisa terjalin. Semenjak perdebatan terakhir, -yang menghubungkan antara batu akik dan niat mengatakan cinta pada Safera- sahabat Paijo enggan menyinggungnya lagi. Dia sudah bosan dengan argumentasi Paijo yang mengada-ada. Sudah begitu, tidak ada langkah konkrit yang diambil dalam melakukan pendekatan dengan Safera. Semua masih abu-abu. Antara jadi mengatakan cinta atau tidak, hanya melayang begitu saja dalam angan-angan.

“Bukankah Paijo tahu, kalau kesempatan itu harus segera dimaksimalkan ? Saya kira, hampir sebagian besar orang sepakat, lebih-lebih para motivator, menyarankan untuk tidak menyia-nyikan kesempatan. Kesempatan itu cuma datang sekali. Meskipun mungkin ada kesempatan berikutnya, namun kualitas atau situasinya tidak bisa sama. Tidak mungkin sebaik kesempatan pertama. Itulah mengapa banyak orang yang mengatakan, jika ada kesempatan segeralah diembat”, kira-kira begitulah yang dipikirkan sahabat Paijo.

Begitu banyak pikiran yang bekecamuk dalam kepala sahabat Paijo. Mungkin akibat tidak dia lontarkan pada Paijo. Menyimpan unek-unek, kadang-kadang membuat mood lebih negatif. Kadang-kadang kepalanya pening, mual, denyut jantung meningkat, dan merasa cemas. Itulah manifestasi fisik dari kegelisahannya. Tidak sanggup lagi dia menahan, ingin segera melepaskan semuanya. Dia pun menunggu waktu yang tepat untuk mendiskusikan kembali bersama sahabatnya, Paijo.

Jarum jam dinding yang menujukkan pukul 12.00. Paijo memberi kode pada sahabatnya. Jari telunjuknya digoyang-goyang ke arah jam dinding. Setelah sahabatnya memperhatikan kode tersebut, Paijo memperagakan dengan bahasa tubuh berikutnya. Gerakan tangannya mengambil sesuatu, kemudian memasukan ke arah mulut. Sahabatnya sudah mengerti, itulah pertanda waktunya untuk istirahat makan siang. Keduanya kemudian menghadap pembimbing klinik untuk mohon izin. Setelah diperbolehkan, mereka menuju kantin langganan yang berlokasi di sudut rumah sakit.

Begitu tiba di kantin, keduanya segera memesan makan sesuai selera masing-masing. Sambil menunggu pesanan datang, sahabat Paijo membuka percapakan. Inilah kesempatan baginya untuk melampiaskan pikiran yang selalu mengganggunya. Meski cukup genting baginya, tetap saja berusaha komunikasi dalam suasana santai. Tidak mau menyinggung perasaan sahabatnya, hanya lantaran persoalan sepele.

“Bro, sudah nonton atau baca berita terheboh minggu ini ?” sahabatnya memancing Paijo untuk berdiskusi.

“Berita tentang apa, Bro ? Kan banyak beritanya”

“Ia banyak memang, tapi yang paling heboh itu tentang bunyi sangkakala dari langit. Pernah dengar ?”

“Ohh..,sepintas saja. Bagaimana ceritanya ?”

“Suara itu dilaporkan orang-orang di Amerika, Kanada, Jerman, Hungaria, Ceko, Denmark, Swedia, Inggris, Kosta Rika, Ukraina, dan Prancis. Ada yang menduga, suara itu merupakan sangkakala seperti yang tertera dalam kitab suci. Katanya itu pertanda kiamat sudah dekat”

“Ahhh.., masa sih ?!”, Paijo sedikit kaget.

“Ia bro, percaya atau tidak, banyak yang berkeyakinan kalau itu pertanda kiamat. Bahkan, ada soerang pimpinan sekte Kerajaan Tuhan Eden, -namanya Lia Aminuddin atau bisasa dikenal Lia Eden-,  menebar ramalan gempa dahsyat yang bakal mengguncang Jakarta pada akhir Mei 2015 ini.”

“Terus, kamu percaya berita begitu ?” tanya Paijo sambil mecibir.

“Tidak percaya Bro, tapi rasa khawatir tetap ada”.

“Permisi, silahkan Mas,” pembicaraan keduanya terpotong saat pelayang mengantar makanan. Setelah meletakan makanan di meja, dengan ramah pelayan tadi melanjutkan, “Mau minum apa Mas ?”

“Es teh saja”, Paijo dan sahabatnya kompak menjawab.

Segera keduanya melahap hidangan yang ada di depan mata. Rupanya sejak tadi sudah menahan lapar. Apalagi masakan Cak Lontong (begitu nama yang tertera di atas pintu kantin), sangat menggugah selera. Satu lagi yang penting, harga tiap porsi tidak terlalu menguras isi kantong. Itulah yang membuat mereka makan dengan gembira. Sambil mengunyah, keduanya tetap melanjutkan percakapan yang sempat terpotong.

“Jo, andaikan saja kiamat itu benar-benar terjadi, apa yang kamu mau lakukan ?”

“Apa ya..?”, Paijo sedikit mengerutkan dahinya, kemudian melanjutkan, “Hmmm, mungkin bertobat Bro. Minimal bisa dapat tiket masuk Surga”.

“Lalu, bagaimana dengan nasib Safera Bro ? Kamu mau menggantung niat-mu hingga kiamat datang ?”, akhirnya sahabat Paijo mulai menyinggung soal Safera lagi.

Paijo berhenti mengunyah saat nama Safera disebut. Kedua tangannya menopang dagu, lalu matanya dipejam sebentar. Rupanya dia sedang berpikir keras. Beberapa menit kemudian, dia menghela napas panjang. Tidak ada kata-kata yang terucap. Kemudian lanjut menguyah makanan yang tersisa kira-kira 2 senduk.

“Lho, bagaimana bro ?”, sehabatnya sedikit mendesak.

Setelah makanan di piring benar-benar kosong, barulah dia mulai menjelaskan. Sambil menikmati es teh dia mengungkapkan apa sebenarnya yang membuat dirinya berlama-lama, tidak segera menyatakan perasaan suka/cinta pada Safera.

“Bro, setelah saya timbang-timbang, ini adalah mission imposibel. Safera itu perfect. Dia cantik, pastinya juga cerdas, perilakunya santun dengan siapapun. Saya tidak percaya diri menyatakan cinta pada-nya. Saya tidak sebanding dengan dia”.

“Kenapa kamu berpikir begitu ?”, sahabatnya menyela Paijo, lalu melanjutkan, “Kamu juga pantas mendapatkannya. Sekarang saya tanya, apa yang kamu takutkan ?”

“Saya takut gagal, cinta ditolak itu sakitnya di sini (sambil menunjuk ke dada)”.

“Gagalnya kapan, sekarang atau nanti ?”

“Ya.., nanti”.

“Kalau nanti, kenapa sekarang tidak ambil tindakan ? Kan gagalnya nanti ? Tidak usah ragu dan takut, sampaikan dengan jujur saja”, sahabatnya mulai memberi motivasi mirip gaya Mario Teguh.

“Ahh...hidup ini tidak semudah kalimat Pak Mario Teguh, Bro !”

Sahabatnya hanya menggaruk-garuk kepalanya yang plontos saat Paijo kembali berkelit-kelit. Tidak ada yang gatal sebenarnya, hanya itu saja yang bisa dilakukan sebagai pelampiasan kekesalannya. Sudah tidak mempan semua tindakan persuasif, mungkin perlu tindakan yang frontal.

“Paijo, mohon tidak plin-plan terus. Kalau kamu mau segera ambil tindakan, kalau tidak yang jangan membuat kita menunggu. Jujur saja, selain kamu, saya juga naksir sama Safera. Bahkan, jutaan orang di luar sana juga pasti berpikiran sama dengan kita”, suara sahabat Paijo semakin meninggi.

Paijo tersentak. Lalu dengan kalem dia menanggapi, “Lho, kenapa tidak bilang dari dulu, Bro ?”

“Saya menghargai kamu sebagai sahabat. Tidak baik jika saya menghalangi keiginan kamu”.

“Berarti, dukungan atau motivasi kamu untuk mendapatkan Safera selama ini tidak sepenuhnya tulus ?. Sadar nggak, itu sama saja memelihara musim pemalsuan agar tetap abadi. Dukunganmu ternyata palsu, Bro”.

Sahabatnya tersenyum malu. “Kalau kamu menganggap dukungan saya selama ini palsu, tidak apa-apa. Saya hanya tidak mau kalau kesempatan menyatakan cinta pada Safera terbengkalai. Itu saja”, dia memberikan argumentasi agar Paijo memahami.

“Ok, kalau begitu, kamu saja yang ambil kesempatan mendekati Safera”.

“Kamu tidak marah, Jo ? Ikhlas tidak ?

“Ngapain marah, kita kan sahabat”.

“Jangan sampai ini pemalsuan lagi ?”

“Kita lihat saja nanti”, Paijo menjawab dengan mimik yang lucu.

“Hahahaha....”, keduanya terkekeh-kekeh bersama. (Bersambung lagi)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun