[caption id="attachment_366593" align="aligncenter" width="448" caption="Saya Saver (kiri) dan Mas Pujo (kanan) di Bukit Jamur"][/caption]
Bukan merupakan rencana khusus berkunjung ke Gresik. Karena salah satu tempat praktek profesi ners dilaksanakan di RS Petrokimia Gresik, makanya harus berdomisili di sana untuk sementara waktu. Masa praktek selama 2 minggu, dilaksanakan dari 11 hingga 22 Mei 2015.
[caption id="attachment_366595" align="aligncenter" width="448" caption="Siap-siap berangkat menuju Bukit Jamur"]
Tidak setiap hari kami masuk praktek, hari minggu libur dari aktivitas di RS. Kesempatan ini menjadi sia-sia jika tidak berkujung di tempat wisata daerah setempat. Mulailah bertanya-tanya sana warga setempat. Mereka menyarankan ke Bukit Jamur.
“Bukit Jamur ???”
“Seperti apa bentuk tempat itu. Apakah di sana tumbuh banyak jamur ?”
Berbagai pertanyaan muncul. Rasa penasaran yang tinggi membuat kami putuskan berkunjung berencana ke sana. Awalnya banyak yang ingin ikut. Namun, pada saat berangkat banyak yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan. Jadilah saya bersama Mas Pujo yang berangkat. Berdua saja, nekat demi melihat Bukit Jamur.
[caption id="attachment_366596" align="aligncenter" width="448" caption="Bingung dengan arah jalan ??? Cek GPS dulu bro..."]
Sekitar pukul 09.30 kami berangkat. Kami menggunakan bantuan GPS (Global Positioning System) atau bisa juga disebut “Gunakan Penduduk Setempat”untuk menanyakan arah jalan dan sebagainya.
Dari Kota Gresik (tepatnya di Jl. A.Yani), kami melewati jalur pantura. Setelah melewati jembatan sungai Bengawan Solo, kita memasuki wilayah Kecamatan Bungah. Tidak jauh dari situ, kita akan melihat papan penunjuk arah menuju daerah Dukun pada sisi kiri jalan. Belok kiri mengikuti petunjuk ke Dukun, sekitar satu kilometer di sisi kanan jalan ada gang masuk ke area pertambangan bukit kapur. Di sanalah kumpulan batu yang menyerupai jamur berjejer.
[caption id="attachment_366597" align="aligncenter" width="448" caption="Jika masih bingung, lihat plank arah jalan. Belok kiri menuju daerah "]
Dari jalan utama menuju areal Bukit jamur, belum beraspal. Meski begitu, jalanan sudah rata dan layak dilewati motor maupun mobil. Belum tiba di areal Bukit Jamur, kita akan “dihadang” oleh petugas parkir. Masuk ke sana tidak gratis. Kita mesti membayar biaya parkir sebesar Rp 3.000 tiap motornya. Tentunya biaya tersebut sangat terjangkau bagi siapapun.
[caption id="attachment_366598" align="aligncenter" width="448" caption="Biaya karcis masuk atau parkir sebesar Rp. 3.000"]
Beberapa meter sebelum tiba di tempat parkir, dari kejauhan sudah kelihatan berjubelnya pengunjung. Terlihat dari banyaknya sepeda motor dan mobil yang berjejer rapi di tempat parkir. Terlihat beberapa tugas parkir mengatur kendaraan agar mudah keluar-masuk .
[caption id="attachment_366599" align="aligncenter" width="448" caption="Pemandangan Bukit Jamur terlihat dari tempat parkir"]
Bagaimana bentuk Bukit Jamur yang sebenarnya ? Dari tempat parkir kita bisa melihat hamparan batu yang berbentuk mirip jamur pada satu bukit. Mungkin karena bentuk batu yang mirip jamur itu, makanya disebut Bukit Jamur.
[caption id="attachment_366600" align="aligncenter" width="448" caption="Mas Pujo di Bukit Jamur"]
Lalu, mengapa kumpulan batu tersebut bisa berbentuk jamur ??? Pertanyaan tersebut masih menyimpan sejuta misteri. Namun, ada kisah terjadinya Bukit Jamur berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat setempat.
[caption id="attachment_366601" align="aligncenter" width="448" caption="Saya (Saver) berpose di depan batu yang menyerupai jamur"]
Dikisahkan, kalau di sana dulunya merupakan tempat galian kapur. Bekas galian tersebut –khususnya pada lokasi Bukit Jamur- , menyisakan struktur kapur yang unik. Disebut unik kerena pada bagian atas merupakan batu dengan struktur yang keras. Sementara struktur bagian bawah berupa batu kapur yang rapuh, sehingga mudah terkikis oleh terpaan hujan dan angin kencang. Lama-kelamaan, pengikisan pada bagian bawah batu, membentuk mirip seperti jamur yang belum mekar.
[caption id="attachment_366602" align="aligncenter" width="448" caption="Pujo berpose di depan batu yang mirip jamur"]
Unjuk Kamera
Hamparan batu mirip jamur tersebut memang terlihat menarik bagi siapapun. Pemandangan yang unik tersebut pantas dijadikan objek foto. Tidak heran jika tujuan orang ke sana hanya untuk berfoto-ria. Pengunjung rela berpanas-panasan ke sana, unjuk kamera mengabadikan gambar.
[caption id="attachment_366603" align="aligncenter" width="448" caption="Bergaya di Bukit Jamur"]
Sama seperti yang kami saksikan saat itu, pengungjung berjubel di sana untuk berfoto. Ada yang datang sendiri, berdua, berkelompok, sekeluarga, pasangan kekasih, dan lainnya. Hampir semua memegang kamera. Mulai dari kamera smartphone, digital pocket, hingga DSLR. Semuanya diunjuk, seolah-olah sedang pameran kamera.
[caption id="attachment_366604" align="aligncenter" width="336" caption="Berbagai gaya di Bukit Jamur"]
Saya bersama Mas Pujo juga tidak mau kalah. Dari satu batu jamur ke batu jamur yang lain, berpose tanpa ada rasa bosan. Terik matahari tidak kami hiraukan. Membran mukosa kering, haus, keringat bercucuran diabaikan demi mendapat bidikan yang terbaik. Hasil foto seperti yang diupload dalam tulisan ini.
[caption id="attachment_366605" align="aligncenter" width="336" caption="Berbagai pose di Bukit Jamur"]
Menikmati Minuman Lokal: Legen
Kurang lebih satu jam kami berada di Bukit Jamur. Rasa haus sudah tak mampu ditahan. Kami lupa menyiapkan air minum. Betul-betul perjalanan yang nekat dan tanpa persiapan yang matang.
[caption id="attachment_366606" align="aligncenter" width="448" caption="Foto lagi sebelum pulang"]
Sekitar pukul 11.20, kami memutuskan pulang. Dalam perjalanan, kami leihat ada yang menjual legen di pinggir jalan. Menurut Mas Pujo, legen adalah minuman tradisional diambil pohon aren. Minuman ini mirip atau sejenis dengan minuman tradisional di daerahku Flores-NTT. Namanya saja yang bebeda. Kami menyebutnya dengan “Tuak Manis / Mince”.
[caption id="attachment_366607" align="aligncenter" width="448" caption="Legen, minuman lokal yang menyegarkan"]
Legen, minuman lokal pelepas dahaga. Mudah didapat, murah, dan tidak kalah nikmat dengan produk minuman moderen. Sambil menikmati legen yang masih tersisa, saya akhiri dulu ceritanya sampai di sini. Lain kesempatan akan disambung kembali dengan cerita baru. Terima kasih telah membaca.
Koleksi Foto yang lainnya:
[caption id="attachment_366608" align="aligncenter" width="448" caption="Mas Pujo di jalan masuk menuju Bukit Jamur"]
[caption id="attachment_366609" align="aligncenter" width="448" caption="Wisata sambil belajar"]
[caption id="attachment_366610" align="aligncenter" width="397" caption="Asal foto saja"]
[caption id="attachment_366611" align="aligncenter" width="448" caption="Mengikuti gaya Mas Pujo, wisata sambil belajar"]
[caption id="attachment_366612" align="aligncenter" width="448" caption="Pujoooo"]
[caption id="attachment_366614" align="aligncenter" width="448" caption="Saverrr..."]
[caption id="attachment_366615" align="aligncenter" width="448" caption="Ada yang bilang kalau foto ini mirip pemain film Fast and Forious 7"]
[caption id="attachment_366616" align="aligncenter" width="448" caption="Saver"]
[caption id="attachment_366617" align="aligncenter" width="448" caption="Pujooo"]
[caption id="attachment_366618" align="aligncenter" width="448" caption="Saver and Pujo"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H