Batin saya tidak tenang seolah dikejar hutang. Beberapa waktu lalu, memang sudah cukup lama, tepatnya 2 Juni 2014, saya mempublikasi tulisan bersambung dalam blog ini. Karena berbagai aktivitas –modus ngeles-, saya tidak melanjutkan ceritanya. Setelah dipikir-pikir, akhirnya saya pun memutuskan untuk meneruskan kisahnya. Entah nanti bermanfaat atau tidak, biarlah Anda sebagai pembaca dan Tuhan yang tahu.
Sebelumnya saya sudah posting 2 seri. Tulisan ini yang ketiga. Kalau mau membaca kisah sebelumnya, bisa klik di sini dan di sini. Dalam seri yang terdahulu (kedua), ceritanya bersambung saat kami tiba di halte bus yang berlokasi dekat dengan pasar Prambanan.
[caption id="attachment_315687" align="aligncenter" width="300" caption="Penunjuk arak ke komplek Candi Prambanan"][/caption]
Begitu keluar dari halte, kami ditawari penyedia jasa transpotasi tenaga kuda, alias dokar. Kami hanya senyum sambil mengangkat tangan, yang menunjukkan penolakan. Tukang becak dan ojek juga turut menawarkan diri. Kami tetap pada pendirian, ingin berjalan kaki hingga ke Candi Prambanan. Jaraknya tidak begitu jauh, hitung-hitung sekalian olahraga.
[caption id="attachment_315688" align="aligncenter" width="300" caption="Saat membeli tiket masuk"]
Kurang lebih 10 menit berjalan, tibalah juga kami di pintu masuk komplek candi Prambanan. Sebagaimana tempat wisata lainnya, di situ kami harus membeli karcis dulu. Petugas menawarkan paket wisata yang tersedia. Bisa hanya mengunjungi candi Prambanan saja, atau sekalian dengan berwisata ke Keraton Ratu Boko. Petugasnya mulai berpromosi mengenai kelebihan dan kekurangan masing-masing paket. Di sana akan begini, akan begitu, dan seterusnya. Setelah berpikir dan berunding, kami memutuskan untuk membeli tiket paket lengkap tersebut. Tiap orang membayar Rp. 35.000.
Pemandangan Indah dari Bukit Ratu Boko
Setelah mengantongi tiket, kami masuk ke dalam komplek candi. Di sana tampak ramai, ratusan, bahkan mungkin ribuan orang sudah mengerumuni sekitar candi Prambanan. Dari jauh terlihat seperti semut yang mengerumuni gula. Bisa dimengerti, saat itu hari libur dalam rangka perayaan hari raya Waisak.
Sebelum melihat candi Prambanan lebih dekat, kami memilih berangkat ke bukit Ratu Boko terlebih dahulu. Tidak jauh dari pintu masuk, sudah ada mobil khusus bagi tamu yang membeli paket wisata lengkap. Mobil tersebut beroperasi secara bergantian tiap 15 menit PP (Pergi/pulang).
[caption id="attachment_315689" align="aligncenter" width="300" caption="Bagian depan Keraton Ratu Boko (I). Tampak jelmaan tiga Ratu Boko(R)."]
Oh ia, perlu saya jelaskan, bukit Ratu Boko terpisah dengan komplek Candi Prambanan. Lumayan jauh, makanya membutuhkan mobil agar bisa ke sana. Letaknya kira-kira 3 km di sebelah selatan dan berada di atas bukit. Dalam bis selama perjalan ke sana, saya begitu penasaran ingin segera melihat, seperti apa bentuk Ratu Boko tersebut.
[caption id="attachment_315690" align="aligncenter" width="300" caption="Bagian depan Keraton Ratu Boko (II)"]
Setiba di halaman masuk Keraton Ratu Boko, kami melaksanakan ritual wajib, foto-foto. Setelah puas, kami meneruskan perjalanan ke area utama. Kami harus menaiki tangga, cukup banyak jumlahnya. Sebelum jalan, pada pintu gerbang terdapat petugas yang melayani pemakaian sarung bagi pengunjung termasuk kami. Penggunaan sarung tersebut sudah menjadi prosedur tetap (protap) bagi siapa pun yang ingin masuk. Bagi saya, penggunaan sarung tersebut menambah keindahan saat difoto, unik dan artistik. Saya lupa menanyakan maksud dan tujuan atau makna penggunaan sarung tersebut. Tapi sudahlah, saya pikir itu tidak begitu penting untuk dibahas.
[caption id="attachment_315691" align="aligncenter" width="300" caption="Petugas memasang sarung bagi setiap pengunjung"]
[caption id="attachment_315693" align="aligncenter" width="300" caption="Berpose setelah menggunakan sarung"]
Selama perjalanan, aktivitas paling banyak yang kami lakukan adalah foto-foto (memotret). Sesekali kami langsung upload ke media sosial facebook. Dari atas puncak bukit, terlihat pemandangan yang menakjubkan. Hamparan sawah yang menghijau dan gugusan candi Prambanan yang cantik memanjakan mata. Pemandangan seperti itu sangat cocok dijadikan latar belakang setiap kali memotret. Seluruh area wisata tersebut kami sisiri hanya untuk berfoto ria.
[caption id="attachment_315694" align="aligncenter" width="300" caption="Memasuki pintu gerbang komplek Ratu Boko"]
[caption id="attachment_315695" align="aligncenter" width="300" caption="Salah satu contoh pemandangan dari bukit Ratu Boko"]
Teringat pelajaran IPS (sejarah) saat SD
Setiap pengunjung Ratu Boko tersebut, pasti memiliki alasan atau tujuan tersendiri yang memotivasi untuk berkunjung. Bagi kami berempat, jujur saja, hanya sekedar jalan-jalan sambil memotret. Itu saja. Terbukti, kaim tidak merasa tertarik bertanya atau mencari informasi lebih lanjut mengenai sejarah atau seluk-beluk dari Keraton Ratu Boko. Yang penting foto saja sudah puas.
[caption id="attachment_315697" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang masuk komplek Ratu Boko"]
Berbeda dengan yang lainnya. Saya sempat memperhatikan satu kelompok remaja, perkiraannya, mungkin masih SMA. Di beberapa titip mereka berkumpul melingkari seorang pemandu wisata yang menjelaskan seluk-beluk Keraton Ratu-Boko. Mungkin mereka sedang melakukan studi/belajar lapangan.
[caption id="attachment_315698" align="aligncenter" width="300" caption="Gerbang komplek Ratu Boko"]
Melihat itu, saya menjadi iri. Saya teringat saat SD, dengan susah payah saya harus belajar (menguasai) nama tempat, candi, kerajaan yang ada di Indonesia. Seingat saya, semua yang dipelari berada di pulau Jawa. Kalau belajar secara langsung seperti yang mereka lakukan tentunya sangat efektif, kemungkinan untuk lupa kecil sekali. Lantas, saya kemudian berpikir, kenapa kami yang di NTT dulu tidak fokus saja belajar tempat-tempat bersejarah yang berlokasi di NTT juga. Paling tidak lebih mudah diketahui karena tidak begitu asing namanya di telinga. Dampaknya, hingga kini, saya tidak begitu mengenal sejarah dari seluruh wilayah NTT. Padahal saya warga asli dan hidup di sana. Ahh...sudahlah, saya tidak mau menyalahkan diri sendiri, apalagi menyalahkan orang lain.