Mohon tunggu...
Suhandono Wijoyokusumo
Suhandono Wijoyokusumo Mohon Tunggu... Freelancer - Grandmaster of kundalini

Grandmaster of kundalini memberikan training dalam spiritual

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Milo part 3

21 Oktober 2024   15:37 Diperbarui: 21 Oktober 2024   16:09 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Bab 1: "Pagi yang Nyaris Sempurna" (Lanjutan)

Joko berdiri terpaku di depan jendela kantor, memandangi celananya yang sobek dengan perasaan campur aduk antara malu dan pasrah. Dalam hatinya, dia bertanya-tanya, "Apakah ini bentuk karma dari dosa-dosa kecil masa lalu? Atau ini hanya lelucon semesta yang benar-benar tidak lucu?"

Kekacauan ini membuat beberapa rekan kerjanya semakin riuh tertawa. Salah satunya, si Tatang, yang selalu menjadi biang keributan di kantor, segera menghampirinya dengan senyum lebar di wajah.

"Wah, Joko! Style baru, ya? Celana robek di bagian... ehm, penting," Tatang menggoda, matanya berkedip nakal. "Keren, bro! Mungkin nanti bisa jadi tren fashion di Paris."

Joko hanya bisa menghela napas sambil menatap Tatang yang asyik tertawa. Ia tidak sanggup lagi menanggapi komentar-komentar konyol. Dengan langkah hati-hati, ia masuk ke dalam kantor, berusaha agar sobekan di celananya tidak terlalu menarik perhatian.

Sayangnya, begitu ia melangkah masuk ke dalam ruangan, seluruh mata karyawan langsung tertuju padanya. Celana yang sobek, rambut yang masih sedikit lengket akibat insiden kecap, dan noda kopi di bagian depannya---semua itu membuat Joko terlihat seperti korban bencana alam kecil yang baru saja lewat.

"Joko, kamu ngapain tadi pagi? Shooting film action?" celetuk Maya, si resepsionis yang terkenal suka ngegosip. Tatapan matanya penuh rasa penasaran campur geli.

"Ah, nggak, cuma... ya, hari yang nggak terlalu bagus," jawab Joko sekenanya sambil tersenyum masam.

Joko buru-buru menuju mejanya, berusaha menghindari lebih banyak tatapan dan komentar yang mungkin akan membuatnya ingin merangkak ke bawah meja. Setelah duduk, ia berharap bisa setidaknya bersembunyi di balik monitor komputernya dan melupakan semua kejadian hari itu.

Namun, seperti biasa, hidup tak pernah semudah itu. Tepat ketika ia mulai merasa aman di mejanya, suara lantang Pak Budi, bos besar yang selalu serius, menggema di seluruh ruangan.

"Joko, ke ruangan saya sekarang!" serunya dari seberang ruangan.

Joko menelan ludah. Dia tahu, dalam keadaan normal, dipanggil Pak Budi bukanlah hal yang menyenangkan. Apalagi dalam kondisi seperti ini, dengan celana robek dan rambut yang masih berminyak. Dengan langkah gontai, ia menuju ke ruangan bosnya, berharap panggilan ini bukan awal dari petaka yang lebih besar.

Sesampainya di depan pintu, Joko mengatur napas, mencoba terlihat setenang mungkin meski rasanya ingin lari. Ia mengetuk pintu dengan hati-hati.

"Masuk!" teriak Pak Budi dari dalam.

Joko mendorong pintu dengan pelan, dan begitu masuk, ia langsung mendapati Pak Budi sedang duduk dengan ekspresi datar, menatapnya tanpa ekspresi. Di belakang Pak Budi, ada papan tulis besar dengan tulisan tangan yang sangat berantakan. Sejenak, Joko tak yakin apakah Pak Budi sedang membuat diagram strategi atau peta harta karun.

"Joko," kata Pak Budi dengan nada serius, "kamu tahu kenapa saya panggil kamu ke sini?"

Joko menggeleng pelan, sambil berusaha mempertahankan senyum canggungnya. "Belum, Pak. Ada apa, ya?"

Pak Budi menghela napas panjang. "Hari ini kita kedatangan klien besar dari luar negeri. Mereka mau lihat presentasi kita tentang proyek baru. Dan kamu yang akan presentasi."

Joko tersentak. "Saya, Pak?"

Pak Budi mengangguk. "Ya, kamu. Siap-siap. Mereka akan datang dalam waktu satu jam. Saya harap kamu sudah siap dengan presentasinya."

Wajah Joko memucat. Dalam pikirannya, ia sudah bisa membayangkan bencana berikutnya: celana sobek, rambut yang berminyak kecap, noda kopi di baju, dan sekarang dia harus memberikan presentasi di depan klien besar?

"Eh, Pak, mungkin---mungkin ada orang lain yang lebih cocok..." Joko berusaha mencari jalan keluar.

Pak Budi menatapnya dengan tajam. "Kamu bisa, Joko. Jangan bikin saya kecewa. Dan tolong, rapikan dirimu dulu."

Dengan perut yang tiba-tiba terasa mual, Joko meninggalkan ruangan Pak Budi. Saat kembali ke meja, pikirannya penuh dengan berbagai cara untuk menyelamatkan diri dari situasi ini. Pertama, dia harus menemukan cara untuk menutupi celana robeknya. Kedua, rambut. Ketiga... presentasi!

Joko melirik jam dinding. Waktu berjalan cepat, dan dia tahu satu jam tidak cukup untuk memperbaiki semua bencana ini. Namun, di tengah keputusasaannya, tiba-tiba ia mendapat ide.

"Mungkin ini solusinya," gumam Joko sambil melirik ke arah Milo, si kucing yang entah bagaimana berhasil menyelinap ke dalam kantor lagi, duduk di atas meja dengan santai.

Joko segera menyusun rencana darurat yang, meskipun terdengar aneh, mungkin adalah satu-satunya cara untuk keluar dari kekacauan ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun