Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Rahasia Dapur” Rumah Makan Padang

17 April 2010   14:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:44 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kalau Anda Tidak Puas Beritahu Kami,

Kalau Anda Puas Beritahu Teman!

Waktu pertama kali saya membaca kata-kata tersebut diatas, yang terpampang diatas papan di beberapa rumah makan Padang di Jakarta, saya mengira bahwa manajemen restoran Padang sudah menerapkan teori manajemen dan teori pemasaran modern. Sambil tersenyum saya bergumam di dalam hati: “Wah, hebat! Restoran Padangpun tidak mau ketinggalan dalam hal kepuasan pelanggan!”. Rupanya para Uda yang bekerja di rumah makan ini tidak hanya pandai memasak makanan yang enak dan menyajikannya dengan cepat, tapi juga menghayati perlunya customer satisfaction dan customer loyalty. Tapi ternyata perkiraan saya ini keliru.

Menurut rekan-rekan saya sesama pengamat pemasaran dan manajemen, jauh sebelum Michael Porter dan Philip Kotler merumuskan teori-teori marketing yang mutakhir, saudara-saudara kita orang Minang sudah lama menerapkan cara berbisnis retoran Padang ini dengan cara tradisional. Saya tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa para pelayan di rumah makan Padang yang selama ini kita kenal sebagai pramusaji yang ramah namun cekatan melayani kita itu adalah para ”co-owner” usaha itu. Mereka bukan karyawan biasa. Dulu saya kira bahwa bisnis ini dikelola langsung oleh pemilik modal yang mempekerjakan karyawan-karyawan sebagaimana halnya bisnis milik keluarga pada umumnya. Saya juga tidak pernah tahu bahwa bisnis restoran Padang jarang yang berbentuk badan hukum seperti Perseroan Terbatas, misalnya. Di dalam bisnis ini hampir tidak ada pemisahan antara pemegang saham, manajemen, komisaris dan karyawan. Yang ada adalah kegiatan usaha dengan sistim bagi hasil 50:50 antara pemilik dan pengelola. Persis seperti yang lazim diterapkan pada usaha pertanian di sawah atau perkebunan di ladang. Pemilik tanah dan petani penggarap menjalankan usaha bersama-sama atas dasar bagi-hasil secara tradisional dan turun temurun. Untuk menghindari salah pengertian, administrasi keuangan dijalankan secara terbuka, transparan, mudah diawasi dan diaudit. Dengan sistim seperti ini maka karyawan tidak akan merasa seperti orang gajian biasa. Mereka bebas menentukan besaran gaji mereka sendiri, tapi jangan harap akan menerima gaji bila usaha mereka tidak mendatangkan uang. Disini tidak berlaku istilah kerja tidak kerja tiap bulan gajian. Makin baik kinerja usaha mereka, makin baik pula remunerasi yang mereka terima, dan begitu pula sebaliknya. Mereka tidak hanya punya rasa ikut memiliki (sense of belonging) tapi juga rasa ikut jadi pemilik (sense of ownership) atas bidang usaha tersebut. Saya sayangkan bahwa hal-hal yang unik seperti ini luput dari perhatian para pakar pemasaran seperti Kafi Kurnia, Hermawan Kertajaya maupun Rhenald Kasali. Selama ini kita tidak pernah membaca tulisan atau mendengar ceramah mereka tentang keunikan sistim bisnis tradisional ini.

Pada suatu hari isteri saya mampir di warung nasi Padang langganan kami di dekat rumah di daerah Pasar Minggu. Isteri saya membeli berbagai jenis makanan karena berencana untuk tidak masak di rumah pada hari itu. Setelah sang Uda selesai membungkus beberapa potong ayam kalio, daging rendang, dendeng balado, sambal merah, sambal hijau dan gulai nangka ternyata makanan favorit isteri saya yaitu, teri goreng petai balado sudah habis. Melihat raut muka isteri saya yang kecewa, sang Uda langsung menyuruh sang Uni yaitu, isterinya untuk membungkuskan teri goreng petai balado yang ada rumah. Rupanya ke dua pasangan suami-isteri ini tinggal di bangunan yang sama. Sang Uni selaku ibu rumah-tangga memasak di rumah untuk keluarga, sedangkan sang Uda sebagai profesional memasak di restoran. Teri goreng petai balado yang dimasak Sang Uni ini adalah untuk mereka makan sekeluarga. Dengan sopan sang Uda menyerahkan sebungkus teri goreng petai balado tadi kepada isteri saya sambil berkata: “Maaf bu, agak beda sedikit. Yang masak isteri saya, mudah-mudahan Ibu suka.” Sewaktu isteri saya ingin membayar teri goreng tersebut, dengan halus sang Uda menolak. Katanya, teri itu adalah pemberian yang tulus dari dia dan isterinya. Dan karena bukan barang dagangan, mohon diterima dengan baik dan tanpa membayar. Ia berjanji untuk mengusahakan agar lain kali isteri saya tidak akan kehabisan lagi teri goreng petai balado ini. Saya salut kepada sang Uda ini. Saya yakin bahwa sang Uda ini tidak pernah menghadiri ceramah James Gwee atau membaca buku karangan Al Ries tentang berbagai macam marketing gimmicks. Tapi dengan menjalani bisnis restoran Padang secara tradisional, ia terbentuk dengan sendirinya menjadi profesional yang tangguh. Konsep kepuasan pelanggan untuk menjadikan pelanggan loyal bukan hal yang aneh bagi sang Uda.

Jakarta, 17 April 2010

Suhandi Taman Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun