Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Mengenal Slow Food

23 November 2009   00:08 Diperbarui: 7 Oktober 2020   15:00 1182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi masak di rumah bersama anak. (SHUTTERSTOCK/GEORGE RUDY)

Yang ingin ditekankan oleh gerakan ini adalah bahwa makanan agar tetap bersifat alamiah. Sejak dulu kita sudah terbiasa untuk menyantap makanan yang dibuat dari bahan-bahan alamiah dan diproses secara alamiah pula. 

Rasa bumbu-bumbu yang dipergunakan dalam masakan tersebut tercermin pada penampilan makanan itu, dimana kita masih bisa melihat irisan bawangnya, tomatnya serta helai-helai daun jeruk purut, daun salam, daun serai atau keratan jahe, lengkuas, kunyit dan lain-lain. Hal-hal ini tidak kita jumpai didalam penampilan fast food yang diracik dengan bahan-bahan buatan pabrik. 

Kini, dikotomi antara fast food dan slow food tidak lagi terkait dengan polarisasi antara Anglo-Saxon dan Latin. 

Pengaruh globalisasi yang tidak bisa terbendung lagi ini membuat fast food semakin mendunia. Sementara gerakan slow food diperkirakan tidak akan tenggelam, namun jumlah pendukung fanatiknya hingga kini tidak bertambah secara signifikan.

Sebagai anak bangsa dan warga negara yang baik, persaingan antara fast food dan slow food ini memberi dua dampak kepada saya. Yang pertama adalah menambah wawasan dan pengetahuan tentang perkembangan yang terjadi di dunia luar. Sedangkan dampak yang ke dua adalah rasa sedih dan prihatin. Di negara-negara maju yang menjadi isu adalah “makan apa hari ini?”. 

Di negeri awak ini, isunya adalah “makan apa tidak hari ini?”. Di Bra, sebuah kota kecil di Italia yang saya sendiri tidak hafal dimana letaknya di dalam peta, orang menganjurkan jangan makan fast food, karena ada pilihan lain yang lebih baik yaitu slow food. 

Di tanah air, apalagi di Yahukimo, Papua sana, rakyat kita tidak makan dan kelaparan. Boro-boro mau milih-milih antara fast food dan slow food? Sudah asta-windhu (64 tahun) negara ini merdeka, tapi hongeroedem atau busung-lapar, atau dengan bahasa halusnya disebut “kurang gizi” masih berkecamuk dimana-mana. 

Di negara-negara maju orang sibuk mengkampanyekan slow food, di bumi Pertiwi ini pemimpin kita masih bekerja dengan pola slow decision?

Jakarta, 23 November 2009

Suhandi Taman Timur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun