Mohon tunggu...
Suhandi Taman Timur
Suhandi Taman Timur Mohon Tunggu... -

Pengamat gaya hidup, transportasi, pariwisata dan politk. Tidak setuju bila politik dibilang kotor, karena yang kotor itu hanya sebagian dari politisinya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Dimana Maridjo dan Okamona Sekarang?

9 November 2009   00:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:24 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Coba Anda bayangkan, suatu rekor nasional bertahan selama 53 tahun dan tak pernah bisa terpecahkan sampai sekarang! Hasil saya “mengulik” kesana-kemari, saya menemukan bahwa rekor nasional atletik pada nomor loncat tinggi putra tidak pernah disamai, apalagi dipecahkan sejak tahun 1956? Sayang, saya memiliki keterbatasan dan kendala untuk mendapatkan konfirmasi dan klarifikasi baik dari Menegpora, KONI, PASI maupun sumber-sumber lain tentang hal ini. Untuk itu saya berharap bahwa data saya ini keliru dan tidak benar. Kalau data ini keliru maka saya mohon maaf, tapi seandainya data ini benar maka pertanyaannya adalah bahwa selama ini “kita ngapain aja?”

Dari catatan yang saya miliki, rekor nasional untuk nomor loncat tinggi putra adalah atas nama Maridjo Wirjodemedjo dan Gusti Puti Okamona yang mereka pecahkan bersama-sama pada tahun 1956. Saya ulangi tahun 1956, atau lebih dari setengah abad yang lalu. Rekor ini memecahklan rekor nasional sebelumnya atas nama Maram Sudarmodjo yang dibuatnya pada tahun 1952. Kalau kita hitung sampai dengan sekarang, tahun 2009, maka sudah 13 (tigabelas) kali Olympic Games dan Asian Games dilangsungkan dan entah sudah berapa kali SEA Games dan PON berlalu? Dan selama itu pula rekor ini tidak terpecahkan? Selama lebih dari dua generasi, bangsa ini telah mengabaikan pentingnya cabang olahraga atletik, khususnya dalam nomor loncat tinggi.

Tantangan dan Peluang bagi Andi Mallarangeng

Mengingat bahwa prestasi kita di bidang olahraga atletik di tingkat nasional memang agak “loyo”, bukan tidak mungkin bahwa ada lebih banyak lagi rekor-rekor nasional pada nomor atletik putri dan putra yang ber “hibernatus” selama lebih dari enam dasawarsa. Kalau di cabang bulutangkis pamor kita sudah tidak lagi nomor satu dunia, sementara di cabang sepakbola pada tingkat regional saja sudah semakin terseok-seok, maka dapat disimpulkan bahwa memang ada yang salah dalam sistim pembinaan olahraga kita. Salah satu tolok-ukurnya adalah prestasi kita di SEA Games. Kalau dulu Indonesia merajai di arena SEA Games dengan peringkat nomor satu, dimana jarak antara peringkat satu dengan peringkat dua dan seterusnya, cukup jauh, sekarang kita sudah bukan apa-apa lagi. Untuk mencapai ranking 3 SEA Games saja susahnya bukan main.

Kembali kepada nomor loncat tinggi, saya berasumsi bahwa tinggi badan rata-rata orang Indonesia pada tahun 1956 adalah 5 – 6 sentimeter lebih pendek dari generasi sekarang. Oleh karena itu, bila kita, dalam hal ini Menegpora yang dipimpin oleh Menpora yang baru, melihat peluang ini, maka kesempatan untuk memecahkan rekor nasional yang sudah lama mati suri ini sangat besar. Caranya adalah menggalakkan olahraga atletik melalui sekolah dan perguruan tinggi. Tugas Pemerintah dalam hal ini cukup dengan memberi dorongan dan motivasi saja, karena olahraga loncat tinggi tidak memerlukan peralatan yang mahal seperti olahraga tenis atau golf. Membangun motivasi ini dapat dilakukan melalui kerjasama dengan media masa. Saya tidak tahu apakah Bapak Maridjo dan Bapak Okamona ini masih berada diantara kita atau sudah tiada, tapi seandainya mereka masih ada mungkin mereka bisa diberikan penghargaan akan prestasi mereka yang terbukti tidak mudah untuk disamai hingga kini. Mereka bisa juga diwawancarai untuk membangun semangat generasi muda kita sekarang untuk lebih giat memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara.

Saya yakin kalau kita mau pasti kita bisa. Orang tua-tua kita mengatakan: “ Orang mau seribu daya, orang tidak mau seribu dalih”.

Jakarta, 9 November 2009

Suhandi Taman Timur

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun