Mohon tunggu...
Suhandi Hasan
Suhandi Hasan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Achiver

Ambonese (de yure), Celebes (de facto)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Melihat Konflik Rohingya Dari Kacamata Kepentingan USA-China

4 September 2017   03:27 Diperbarui: 4 September 2017   07:27 1778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak 25 Agustus 2017-lalu, genocida (baca: pembersihan etnis) yang terjadi di Rakhine State, Myanmar telah merenggut sedikitnya 400 jiwa-termasuk anak-anak, perempuan dan lansia-etnis minoritas (Muslim Rohingya), sementara puluhan ribu lainnya mengungsi ke berbagai wilayah untuk menyelamatkan diri.

Pembantaian yang dilakukan oleh militer Myanmar ini beralasan untuk membalas serangan kelompok bersenjata The Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) -yang menurut "pemerintah Myanmar" dibentuk untuk membela warga Rohingya.

Militer Myanmar membumihanguskan ratusan tempat tinggal warga Rohingya hingga rata dengan tanah hanya untuk mencari Pasukan ARSA. Tindakan membabi buta ini mengakibatkan ratusan nyawa tak berdosa melayang. Bahkan penindasan dan penyiksaan yang dialami warga Rohingya terlampau sadis dan melanggar HAM.

Rohingya adalah etnis minoritas yang tidak diakui oleh pemerintah dan sejak 1982 hak kewarganegaraan mereka ditolak dan dianggap bukan bagian dari bangsa Myanmar. Padahal di Asia Tenggara etnis ini berpopulasi (kurang lebih) 1.1 juta orang dan telah ada di sejak berabad-abad lalu.

Dalam salah satu peliputannya, Al-Jazzera menulis bahwa warga Muslim Rohingya telah ada sejak abad ke-12 di Asia Tenggara. Dan pada masa penjajahan Inggris (1824-1948), terjadi arus migrasi tenaga kerja dari India dan Bangladesh ke wilayah Myanmar. Karena saat itu ketiganya merupakan bagian dari kekuasaan Negeri Ratu Elizabeth, maka peristiwa itu dianggap sebagai urusan dalam negeri (baca: internal).

Dalam rangka memberikan rekomendasi guna memperbaiki kesejahteraan warga Rakhine State, khususnya Rohingya, pada September 2016, dibentuk komisi Penasehat Annan atas kerjasama antara pemerintah Myanmar dengan Kofi Annan Foundation.

Rekomendasi itu mempunyai kekuatan dan legitimasi karena dilakukan secara partisipatif, terbuka dan berisi tokoh-tokoh yang kredibel, yang semestinya dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah Myanmar dan dengan bantuan serta pendampingan dari PBB dan ASEAN.

Namun pada kenyataannya tidak demikian, warga Rohingya justru terusir dari tanah mereka yang telah ditempati selama puluhan tahun. Menurut dugaan, pengusiran secara paksa yang warga Rohingya melibatkan agar bisnis sumber daya alam yang melibatkan korporasi beberapa negara itu tetap berjalan.

Myanmar secara geologis sangat kaya, dan signifikan menambang sebagai sebuah industri berskala besar. Mineralnya meliputi logam dasar, mineral industri, sumber energi, permata maupun mineral bumi yg langka. Cadangan minyak mentah yang sekitar 3.2 milyar Bartels dan cadangan gas sekitar 11.8 trilliun kubik. Disamping itu, lokasi Myanmar cukup strategis sebagai penghubung Asia Selatan dan tenggara (dan daratan utama cina).

Oleh Satria Haramain, pengamat (politik) international, dalam tulisannya ia berpendapat bahwa China takut USA akan memblokir import minyak Negeri Tembok Raksasa pada masa krisis dengan menutup selat Malaka, setelah kunjungan Obama pada 2012 lalu sebagai bagian dari "USA privot to Asia" (strategi Amerika-serikat yang berporos ke Asia)-apalagi Obama menjadi presiden USA pertama yang berkunjung ke  Myanmar.

Hal ini kemudian membuat Negeri Tirai Bambu membangun jalur pipa dari garis pantai Burma, menghubungkan teluk bengal ke selatan-barat (barat daya) China-Mainland.

Jadi, terlepas dari Genocida-konflik ini akan terus menjadi relevansi geopolitik persaingan USA-China dalam tujuannya menjadi penguasa dunia. Sebab mustahil bagi Myanmar sebagai negara kecil kemudian berani melakukan pembantaian tanpa adanya dukungan Raksasa, siapa lagi kalau bukan China yang secara idelogis dan kultural sejalan dengan negeri Seribu Pagoda ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun