Mohon tunggu...
Suhandayana Day
Suhandayana Day Mohon Tunggu... profesional -

PeGiat EDUMEDIART [ Edukasi, Media, Art ] antar institusi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Ramen] Polemik Sastra Dinding

11 Januari 2012   12:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Suhandayana * | AKUNDAstudio | baca Index 91 |

.

DIALOG imajiner merayapi buku, panggung sandiwara, sidang mahkamah agung, ketiak, meja pengadilan puisi gelap, kaleng pengemis, darah onta, lendir zaitun, hualah ... apa saja. Jadilah ekosistim imajiner. Sebagian besar tokoh fabel belum mau sadari berbagai khasiat 'mengapa perlu ada aturan. Bukan binatang, tidak humanis. Kehidupan hanya buih gerakan, mengalir sembarang arah tanpa tujuan. Dekora abstrak meruah di musim hujan, mengiris-iris genangan banjir di area perebutan tanah ganjaran. Loh, betapa karut-marut. Bahasa ia beda banget dibanding sastra dinding sekolah menengah atau kampus. Ia inilah dinding dekat kalian berpijak. Dinding absurd, sama sekali tak masuk akal. Tak pakai logika fiktif? Berarti keluar saja dari akal sehat. Siapa ia? Ia yang mana? Apa maksud ia itu ia? Nggak ada bingung, langsung ikuti apa kata dinding. Mana? Lalu ia lahir, dinamai W.S. Rendra. Begitu saja dijuluk si burung merak. Dinding rumah ia tak bersekat. Batas seni dan budaya direnggut paksa. Ia pun tak terbang seperti biasa. Menyebut kawan adalah lawan. Baca angka jadi matahari, lupa hakekat malam. Perkawinan, pentas sastra, atau demo buruh sama saja, tiada atap tiada ujung tiada beribu keturunan. "Sediakan makanan di situ!" perintah burung merak muda. Dipandangi dinding itu. "Nggak!" Katak ini mulai membantah, sambil melompat tinggalkan gelanggang. Sekali ia melompat instan, telah berhasil mengubah rambu lisan berbau etnis ke rambu tulisan lugas berbau logika. Ia begitu saja dinamai Chairil Anwar. Sajak lompat tanpa lirik memenuhi bejana, kubah-kubah, lagu jalanan. Dinding sosialisme enggan terbelah, malu jika berlubang-lubang. Borjuis dan proletar sama berhak atas padi, ikan, dan angin segar negeri raja-diraja. Burung merak kecewa, ia datangi Sutan Takdir Alisyahbana. Memang itu nama yang begitu saja terbaca, tiba-tiba ada. Padahal telah berwindu-windu ia tinggalkan laskar pelangi, layar terkembang, pula ia cerai fenomena perempuan pingitan, Kartini. "Adakah kamu menangkap beberapa serangga?" Tanya Takdir di tengah pekerjaan membuat patung garuda 'berapa' sila, kesibukan barunya. "Semua sudah kugambar di dinding, seksi, montok. Tapi, tak hendak kumamah," jawab Merak. Ia tak suka duduk seperti dipersilakan Takdir. Sambil lalu diamati kenalan ia selama memahat batu dan besi. Hampir seharian kedua ia bicara membahas gambar dan tulisan di dinding. "Merak! Tak terbilang sudah berapa jumlah orang menggambari dinding itu. Betapa akan sukar dibaca, karena bergumpal-gumpal proposal dan anggaran belanja maupun sampah informasi melekat tahunan di situ. Takdir jadi serius, padahal sore begini gelap, mendung. Merak harus segera pulang. Kalau kemalaman, bulu indah ia akan diganggu diam si kuburan antar kampung yang kelak dilewati ia. Takdir menahan ia sebentar. "Besok saja dilanjutkan." Ini ujar ia ataukah ia? Tanya pembaca. Alias Rendra alias Harmoko alias M. Yusuf selekas ia melangkah, beberapa kilo meter jalanan dengan kiri atau kanan kuburan kampung dilalui. Melelahkan, sepenat jika ia kerja di bengkel berhari-hari. "Memang hampir malam, tapi sudilah berhenti!" Merak benar. Gelembung bersinar tak seberapa terang yang sempat ia perhatikan, tadi perlahan meletup keluar dari sela barisan nisan. Tapi, tak ia gubris. Terus mengarah pandang ke depan sejajar marka jalan. Dialah Anwar, Bimbo, Hamid Djabbar, Aming Aminoedhin, merangkap Koes Plus, pikirnya. "Kamu!? Kapan kau mau penuhi dinding dengan makanan!? Jangan merintang pulangku! Pergilah ke lubang tanahmu, jalang!" Benak Rendra pun ikut memarahi Merak. "Jika dinding tak makan sesuatu lebih dari yang ada, ia akan pecah berhamburan." "Biarkan! Mau hancur, mau karam, nggak ngurus! Gitu aja koq merepotkan perempuan PKK se kabupaten. Kalau perlu ketika jam menunjuk pejabat lapar, makan dinding itu hingga tandas sekalian tulang-belulang." "Heeh! Dinding ini sudah dibangun sejak jaman sumpah pemuda. Jangan seenak ia meludah sepertimu!" Pertengkaran berlarutan garam tanpa yudium. Seperti mimpi, alur cerita tiba-tiba kilas-balik, tiba-tiba berkelindan, memilin haluan mana awal mana kemudian, putar-putar membelukar. Kecepatan jalan Merak ataukah Rendra maupun Iwan Fals jugalah Krisdayanti tak berbeda jengkal. Lalu ia dan ia membentur keras dinding ini. Dinding yang anda tau dipampang kersik aturan pajak, protes LSM buatan jepang, mural grafis dari konte warna-warni kusam menghasut pemeluk keyakinan. Seutas potret berdarah mahasiswa sok pemberani, sobek kena gerimis. Ada lagi, di tepian dinding juga berderet poster wanted dalam nama koruptor, rektor, ditaktor, bupati tersohor, dan wakil rakyat fabel yang bersidang suka molor. Lihat, apa saja muatan dinding ia. "Uuh ... ouw ...!" Ia dan ia terperosok, saling memegangi bengkak benjol di kepala. Ada lagi, lampiran dinding, nampak profil teknolog dan seniman yang jadi korban konspirasi militer dengan yang didesain konglomerat sesuai pesanan beberapa jendral frustasi.  Ada lagi display komunitas guru bengkok yang kencing berlari, teman sejawat menteri pendidikan. Takdir yang di sana, mau makan malam. Ke mana-mana ia menoleh arah suara sengau bangsa fabel, suara itu langsung pindah arah lain. Kadang berubah jadi teguran Teguh Karya. Kadang terdengar dehem badan sensor film. Kadang kompasianer cewe' nyelonong menyapa pakai ujaran gaul remeh-temeh. Begitu seterusnya, sampai ia tak jadi makan. Piring jatuh menetesi airmata. Sendok (sekepal tangan) meleleh bak lilin mainan di antara pasar rakyat yang (tak)sengaja ter(di)bakar. Nasi lauk menghampar di udara pengap ibukota. Ah, mau kelupaan ... tapi nggak jadi. Dinding ternyata juga menyela. "Aku ini bukan sejarah, yang seenak ia dicat atau dikapur belepotan setiap 17 Agustusan. Aku ini hanya permainan para penghuni metro. Bubarkan saja kedalamanku. Cabut tonggak-tonggak memenuhi tubuh tuaku. Rombeng sajalah! Tak usah sungkan pada pemahat persendianku, macam I Wayan Nuarsa atau Gesang juga Idris Sardi lalu Slank malah Christine Hakim bahkan Oneng sekalipun Cut Nyak Dien. Selain tak banyak orang yang masih bisa membaca rabun sejarah, wajah dinding itu (baca: indonesiabook tanpa com) berani menguji bahwa altar kebangsaan kita tidak hanya rupa surealisme sungsang. Malah lebih kanker, absurditas berlebihan, kata Basuki Abdullah versus Asri Nugroho pro Djuli Djatiprambudi kini berteman Lim Keng seteru Luna Maya. Dinding terbakar api kegelisahan hitam hati, ia membacakan kelautan, nge-tweet, "Kaum pemacu bahari negeri bermain petak-umpet berbidak ikan, kerang, ranjau, ombak, dan nelayan asing. Masak tak paham, jika satu meter kubik perairan republik ini ada seekor ikan atau sumber daya alam seberat satu kilo saja, maka ada berapa potensi laut, danau toba, sungai brantas, dan tambak udang yang hilang dititipkan pencuri sehingga jutaan wargamu dinyatakan miskin? Cuma rangsum raskin atau jaminan kes(aki)(eha)tan porsi obat murah generik?" Lagi, dengan seenak ia anak tukang beca atau tukang sayuran mencecar pelangi: wahai penguasa dinding samudera, dinding senjang miskin-kaya ... senjang darahbiru-darahkutubusuk ... senjang pegawainegeri-buruhpelabuhan ... senjang pedagang-kyai ... mampukah merawat kemerdekaan barang sedetik saja? "Oh, tidak ...!" Koor para fabel dari luar pulau mengelak. Membela siapa? "Bukan soal merdeka, Bung! Ini hanya berkait selingkuh parah pertandingan tipu-tipu pihak rupiah dan kegenitan mata-uang-asing yang dipimpin dolar bermatasatu (dajjal) saja!" Hawa panas. Mungkin hanya tinggal segelintir anak jebolan pesantren yang masih mau belajar di pos kamling mengeja nafas sendiri, "... maka di sinilah aku sendiri sekarang menatap cakrawala, dan menitipkan sebuah doa yang penuh harapan untuk hari esok .... Tulisan sakral ini sangat teriak kelewat dosis, tetap tertera di dinding basi, mantra yang tak pernah deras jatuhi bumi. Langit memenjara ia terlalu lama. Sel tahanan dan hotel prodeo di berbagai pulau tak mungkin menerima dosa berat sang dinding, karena sejak pelengseran presiden kedua ia telah dipenuhi tubuh bapak-bapak bernanah, juga seekor dua ekor anak ingusan nyangkut terselip di jeruji haram-jadah. Dinding memanas, sublima plastis,  ia keseringan bicara sendiri di belakangku dan menyumpah kejadian aneh manuver politik dagang sapi di kotak suara pemilihan bupati apa gubernur. Kepada ia, ia, atau ia ... ialah mengancam, "Kapan ada mukjijat kerobohan ...." Omong-omong, tong kosong berbunyi nyaring. Kayak dalang Ki Narto Sabdo, nyerempet pensiunan Ki Gendheng Pamungkas. Mending, kata Ki Djoko Bodho, lebih gurih minum hasutan Serat Gatholotjo atau tidur nyenyak setelah menyimak Perang Bubat. Beberapa detik setelah kau baca polemik nurani dinding yang mengandung perseberangan iktikad ini, tiba-tiba saja (bila sebegitu ber-rasa-MU) akan ber- ... GEDUBRAKKKK ... !!! Kejatuhan bungkahan geragal dinding sendiri! Antara sadar dan hampir siuman, kalian diikuti burung kecil atau kunang beterbangan. Sembari setengah mengingat hutang luar negeri yang belum akan dilunaskan, jasa IMF ini sama seperti yang kau baca di sudut bukti keruntuhan bank konvensional. Sementara itu, di sini, pesta antar desa cuma tersaji cuilan dinding demokrasi, tanpa bakat, asyik-masyuk terlena arak ad-lib, dirajam polemik picisan sastra online yang ia, ia, dan ia deklamasikan bersamaku. "Siapa menang!?" Tanya seekor ia di balik dinding.

.

[ tulisan kreatif | 2 dari 3 cermin | Ramen ]

… in edited

.

.

* Pesta Ramen, Desa Rangkat, Medio 11 Januari 2012 19:34

.

DEAR Menu:

Ramen Day #1 |   Ramen Day #2   |   Ramen Day #3

.

Cicipi hidangan pesta Desa Rangkat, pilih menu Ramen, dan rileks …

.

NB: Untuk membaca karya peserta lain silakan menuju ke sini atau klik tag ramen

.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun