The world is changing. Let’s lead the shift towards sustainable finance. (Refinitive Sustainability Perspectives)
Sahabat Media Kompasiana, selamat menikmati akhir pekan Anda. Kali ini, saya ingin berbagi pandangan mengenai isu yang sangat relevan dan mendesak: ekonomi berkelanjutan di tengah tantangan resesi ekonomi global. Dalam beberapa kesempatan, saya telah mendalami peluang ekonomi berkelanjutan, terutama dari perspektif perubahan iklim dan dinamika ekonomi ASEAN. Yang mengejutkan, ketika melihat faktor-faktor yang mendorong dan menghambat sistem ekonomi di ASEAN, riset-riset empiris menemukan bahwa Indonesia memiliki potensi ketahanan ekonomi yang sangat kuat dibandingkan negara-negara tetangga.Â
Hal ini didukung oleh peran vital UMKM, yang tanpa disadari menyumbang hampir 20% dari produk domestik bruto kita. Oleh karena itu, dari sudut pandang potensi resesi global yang mungkin kita hadapi, penting untuk mengkaji lebih dalam konsep dan praktik keberlanjutan keuangan serta tantangan yang akan dihadapi dalam proses transisi menuju masa depan yang lebih berkelanjutan.
Model ekonomi yang kita gunakan saat ini dibangun pada era kelimpahan sumber daya, saat sumber daya alam melimpah dan emisi karbon belum menjadi perhatian utama. Model ini tidak memperhitungkan dampak lingkungan, hanya mempertimbangkan tenaga kerja dan modal.
 Begitu pula, teori keuangan tradisional gagal memasukkan nilai sumber daya alam di luar kontribusi jangka pendek mereka terhadap arus kas. Risiko penipisan sumber daya secara kritis diabaikan. Meski masih banyak digunakan, model-model ini kini menjadi tidak relevan dan usang. Kita berada di tengah transisi menuju ekonomi rendah karbon dan ekonomi sirkular untuk menghadapi tantangan lingkungan yang semakin mendesak.Â
Pada fase awal transisi, kita masih bisa menyesuaikan pola produksi dan konsumsi secara bertahap. Namun, jika transisi ini tertunda, kita akan menghadapi guncangan mendadak yang berpotensi mengakibatkan aset-aset menjadi tidak bernilai lagi.Â
Sayangnya, banyak perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam masih enggan menerima kenyataan ini, dengan harapan bahwa transisi akan berjalan lambat dan memungkinkan mereka untuk terus beroperasi tanpa perubahan signifikan. Sikap ini tidak hanya tidak rasional tetapi juga berisiko tinggi, mengingat perubahan mendasar yang sedang berlangsung dalam ekonomi global.
Dalam sistem ekonomi yang kompetitif, produksi massal telah menyebabkan masalah serius seperti jam kerja yang panjang, upah yang rendah, dan eksploitasi pekerja anak. Fenomena ini dimulai di negara maju dan kemudian berpindah ke negara berkembang, menambah beban yang sudah berat.Â
Untungnya, upaya untuk melawan praktik-praktik ini semakin meningkat dengan diperkenalkannya berbagai peraturan sosial yang bertujuan mempromosikan pekerjaan yang layak serta meningkatkan akses ke pendidikan dan perawatan kesehatan. Namun, perubahan ini tidak datang dengan mudah. Untuk benar-benar memandu transisi menuju ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, diperlukan komitmen yang lebih dalam.Â
PBB telah merancang Agenda 2030 untuk Pembangunan Berkelanjutan sebagai panduan. Agenda ini menekankan pentingnya perubahan perilaku dalam masyarakat global kita. Hanya dengan mematuhi prinsip-prinsip tersebut dan mengadopsi pendekatan yang lebih etis, kita dapat berharap untuk menciptakan masa depan di mana produksi massal tidak lagi mengorbankan kesejahteraan pekerja dan hak-hak dasar manusia.