.
Kalau tak ada pembatas, maka keteraturan akan hilang, jika keteraturan hilang, kehancuran pun hadir. Jika kehancuran hadir, keutuhan pun dirindukan. Penyesalan selalu menempatkan diri di barisan terbelakang.
Sebab membangkang dan melawan sesuatu yang seharusnya tak dilawan pun sudah jadi tabiat dan tak mau berusaha dilenyapkan.
Laki-laki dan perempuan harus ada batasnya, begitu pun sepupu, apa lagi ipar. Sadar akan gelombang besar lebih baik, dari pada pura-pura tidak tahu kalau gelombang sudah merayap mendekati diri, sengaja merencanakan penyesalan.
Batasan harus tetap ada, biar pun tak terlihat. Minimal begitu, hati harus mengingkari kemungkaran, berat, diupayakan sebisa mungkin.
Penyesalan jika fitrah, naluri alami itu sudah hilang, atau lebih tepatnya sengaja dihilangkan. Maka kepekaan pun sirna, jika begitu, apa pun kesalahan pribadi maunya dianggap benar, dibela seluruh makhluk sedunia, enggak peduli apa pun dampaknya nanti, semoga kita tak begitu.
Terlalu mudah menjadi mayoritas, penuh perjuangan untuk menjadi minoritas tapi berada di jalur yang benar, bukan membenarkan kesalahan.
Apa yang mau diraih dari carmuk, caper publik? Berganjen-ganjen ria, memang normal sih normal, tapi waras harus di atas normal. Kalau tidak, akhir dari potongan kisah penuh sayatan penyesalan berarti sedang dipersiapkan sehebat mungkin.
Enggak usah ngelak, mengakui kesalahan bagai mencari serahkan emas tanpa keahlian sedikit pun.
Gatal, boleh. Tapi pada tempatnya. Kalau di setiap tempat, keadaan selalu gatal. Mental apa kalau bukan jalang?