Di sudut tempat ritual suci, terduduk seorang pria paruh baya. Dari gesture tubuhnya seperti sedang banyak masalah yang cukup rumit. Dia hanya bersandar di tembok dekat pancuran air.
Gerujuk ... Suara Ā air sedikit menutupi risaunya. Sesal ini baru tiba, bagai ombak besar, membuat hancur banyak hal-hal berharga. Prak! Seorang pria yang umurnya juga tak jauh beda, menaruh tasnya ke lantai. Raut wajahnya begitu pilu.
Pria paruh baya pertama melirik sedikit, menganalisa kilat. _Sepertinya, atau mungkin saja dia juga merasakan yang sedang aku rasakan._
Menggeser tempat duduknya, sekitar jarak 1 meter di antara mereka. Kontak mata, bersalaman, basa-basi perkenalan. Yang baru saja menaruh tas dengan sedikit agak membanting ke lantai merasa sepertinya mereka ada kesamaan nasib.
Tak lama dia langsung memberanikan diri, memulai perkataan yang cukup mendalam lagi sentimental. "Lad, lebam rasanya hati kalau salah memberikan panutan pada anak." Sontak terkejut lawan bicaranya.
Setelah mereka berkenalan sebelumnya, pria paruh baya bernama Aban. Yang baru datang Ladnemi. Berusaha tetap tenang, tak buru-buru ikut larut dalam kesedihan. "Kasihan melihat anak laki-lakiku, dia tak karuan, walaupun terus-terusan setiap bertemu orang, berlagak paling bahagia. Seolah tak pernah terjadi badai gila dalam waktu yang lama.
"Aku tahu, paham betul apa yang sedang dirasakannya," pria paruh baya itu diam---sunyi cukup lama. Temannya prihatin, ikut merasakan luka, bagaimana rasanya jadi orang tua.
Pmg, Senin 010124, halub 14.05
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H