.
hardens with a gentle bias
.
Tertawa cekikikan, dengan emoji terbahak. Seolah dekat, dianggap dekat. Padahal asing, tapi tak dianggap asing. Yang interaksi tanpa batas dianggap berbatas. Pura-pura bodoh tidak, sedap saja menerjang yang membuat tegang.
Ketika petuah datang, dianggap 'paling suci', berat bicara dengan siapa pun yang telah mayat otaknya. Ikon busana, hanya sekedar ikon, jeroan mah tetap jelas. Yang tak ber-ikon tapi waras juga banyak.
Meminta didengar, dituruti, dimaklumi. Jika sebaliknya---tak ada cerita. Selalu berlindung di balik benteng 'disakiti', 'diacuhkan', 'dimanipulasi', yang biangnya siapa yang disalahkan siapa?
Maling teriak proletar, proletar ditangkap, maling tak lagi berjejak. Mengaku kaya nyatanya banyak kebutuhannya. Makna kaya yang rata-rata dipegang oleh kebanyakan.
Jika memang betul kaya, maka makin sedikit kebutuhan dunianya, atau bahkan tak ada. Tapi tak mungkin, sekuat-kuatnya manusia lemah. Maka semakin banyak kebutuhannya semakin lemahlah manusia tersebut.
Kalau siapa pun yang betul-betul kaya, maka hilang lah hasrat pamernya, sekecil apa pun. Hanya yang miskin lah yang suka pamer, merasa butuh banyak sanjungan, pengakuan.
Kalau selagi masih bisa diperas, diperaslah seperas-perasnya, minim pengeluaran maksimal dalam penugasan.
Dunia ini akan tetap berputar meski dengan atau tanpa keperihan dari mana pun, kapan pun.
Tak ada ketertinggalan, yang ada hanya kemalasan yang begitu menjulang dan tak pernah ada keinginan untuk memanjatnya, sama sekali. Bila pun terbesit, hanya mengkhayal lalu tertidur pulas sampai esok, begitu terus hingga tutup usia.
.
Cls, Gramedia, Sabtu 12 Agustus 2023, 20:2
8, halub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H