Mohon tunggu...
halubĀ©
halubĀ© Mohon Tunggu... Mahasiswa - Puisi, Cermin, Cerpen, dan Refleksi.

Pencarian dan keyakinan, berteman dekat, sampai kapan pun, selalu ada hal-hal yang membanggakan bagi setiap yang yakin

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kesedihan di Bumi

27 Juni 2023   23:08 Diperbarui: 27 Juni 2023   23:15 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: unsplash (free pic)

Ā  Ā ===

Ā  Ā Citah betina berlari dengan kecepatan 96 Km/jam. Rusa tak bisa menghindar, pelari handal terkenal ini tak banyak bicara. Sekali bergerak---satu mangsa, rubuh tak ada lagi kata merangkak.
Ā  Ā Ratusan tahun sudah kebiasaan memburu mengalir deras dari keturunan sebelumnya, hingga berikutnya, berikutnya dan berikutnya. Semarak urbanisasi pun merayap ke banyak ordo.

Ā  Ā Induk citah tak lagi memanen seperti awal permulaannya di usia jaya. Umur tetaplah yang memaksa fisik untuk tak lagi lincah seperti semula gagah. Anak-anak sudah pergi satu persatu.
Ā  Ā Orang tua ingin menua bersama anaknya, anak-anak ingin segera pergi dan tak lagi mau melihat, mendengar ocehan orang tua yang terasa menyakitkan lagi ketinggalan zaman.

Ā  Ā Waktu terus berlari, seperti berlarinya para citah, yang dahulunya anak-anak kini telah resmi beranjak dewasa, punya pasangan, punya anak. Rasa-rasanya mengklaim diri masih muda sangat sudah tak pantas lagi.
Ā  Ā Tubuh yang dahulu tahan panas, dingin. Kini baru berjalan beberapa langkah, napas sudah berantakan tak tentu arah. Tingkah laku anak-anak pun terasa begitu menjengkelkan.

Ā  Ā Anak-anak pun demikian, mereka rasa tinggal di rumah, seperti tinggal di neraka saja, biarpun belum pernah ke neraka seumur hidupnya. Setiap petuah orang tua dianggap kebencian.

Ā  Ā Semua pun bergulir seperti dahulu ketika mereka-mereka kecil, muda, remaja, dewasa, hingga kini sudah merasa pantas dicap tua. Indukan citah tertegun, bersamaan dengan itu ilalang bergoyang ditiup angin.

Ā  Ā Lalat iseng bermain ke tubuhnya. Menguap pun terjadi. Semakin bertambah usia, semakin bertambah juga jam tidurnya. Serasa kembali ke masa kanak-kanak lagi. Hanya saja hari ini, tiap perkataan kasar terasa betul mencabik-cabik. Padahal dahulu perkataan seperti itu biasa biasa saja. Apa? Dan mengapa semuanya berubah?

Ā  Ā Indukan citah seolah kehilangan semangat hidup. Bukan tak lagi semangat, atau pesimis. Tenaga-tenaga monster yang dahulu pernah ada di tubuh renta ini, entah ke mena perginya?

Ā  Ā Menangis tak lagi jadi luapan sesal, sedih, kecewa yang ada. Hanya menatap kawanan rusa, urial, ungulata dengan tatapan kosong---seolah mereka kumpulan makhluk-makhluk baru yang asing.
Ā  Ā Bahkan sesekali terpikir ingin rasanya lalat-lalat yang suka sekali hinggap di tubuh ini berubah menjadi kumpulan ungulata yang sudah tak berdaya sama sekali. Bukan hanya itu.

Pengaruh antropogenik pun marak sekali dilakukan oleh manusia-manusia yang ngakunya menggarap perubahan dan kemaslahatan bagi yang lain. Nyatanya hanya pemenuhan hawa nafsu yang tak akan pernah penuh selamanya.
Ā  Ā Kecuali dengan syukur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun