Manusia dan tikus, berperang untuk uang. Tikus dan manusia saling menyalahkan. Manusia dengan segenap 'rasa' ketinggiannya, pada sesamanya, pada binatang, juga pada makhluk astral. Yang kalau ditelisik lebih dalam dan terperinci, tak begitu tinggi, hanya 'rasanya' saja yang terlanjur melambung menembus angkasa.
Tikus tahu, ia rendah, namun juga tidak rendahan jika ia berdiri di lingkaran para tetikus, bisa bisa lebih berawan dibanding manusia, dam---tentunya nyata. Khayal itu sudah meresap terlalu dalam, ke dalam pori-pori, hingga ke setiap sudut tulang.
Manusia merasa tak perlu pura-pura sibuk peduli dengan lingkungan sekitar, dengan sesamanya, dengan binatang. Baginya cukup bisa melambung---dengan martabat, yang belum tentu jadi penyelamatnya kelak.
Akan selalu ada yang ditorehkan dengan apa-apa yang sebagian manusia dapatkan, tentang banyak hal yang menurutnya baru, serta harus dibagikan dan diberitahukan pada khalayak. Tikus tak pernah berpikir jauh seperti itu.
Jikapun ia memaksakan dirinya untuk jemawa, mana ada yang takut dengannya, yang ada geram penuh kedendaman sepenuh samudera. Tikus dan manusia mengalir di aliran zaman. Nampaknya, sangat sulit bagi tikus, untuk berlindung di balik topeng martabat.
Kalau martabak mungkin bisa, tikus berjalan menyusuri got dengan senang gembira, melewati pasar-pasar yang amis. Sangat sulit baginya berlindung di balik martabat juga kegengsian yang bagi beberapa manusia sudah lebih dibutuhkan dari hakikat kehidupan itu sendiri.
*
Dekat Jl. Wisata Utama No.1, Ciangsana, Kec. Gn. Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat 16968. Selasa 7 Feb 2023, 20:04, halub
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H