Emansipasi Wanita Akankah Menjadi Supremasi Wanita
Budaya patriarki yang sudah berlangsung sejak zaman kuno telah membentuk mindset bahwa laki-laki memiliki posisi lebih tinggi daripada wanita. Posisi lebih tinggi ini mencakup semua lini dan hierarki kehidupan. Baik dalam masalah sosial, politik, ekonomi, keluarga maupun seksualitas. Keadaan seperti ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk menjadikan kaum wanita sebagai golongan yang boleh dieksploitasi oleh kaum pria bahkan diposisikan sebagai budak.
Sebagai gambaran seperti yang kita baca dalam beberapa literatur sejarah, pada zaman dulu wanita diberikan batasan yang ketat untuk berperan di masyarakat. Misalnya tidak boleh sekolah, tidak boleh menjadi kepala di suatu institusi ataupun tidak boleh memberikan jajak pendapat dan hak suara dalam sebuah pemilu. Walaupun begitu memang ada beberapa wanita yang punya peran dalam masyarakat dan pemerintahan, misalnya menjadi ratu, pemimpin perang atau yang lainnya. Tapi itu hanya segelintir saja.
Selain di kehidupan masyarakat, di kehidupan keluarga sendiri wanita sering mendapatkan perlakuan tidak adil. Misalnya mereka tidak punya hak dalam melakukan gugatan perceraian jika mendapatkan perlakuan buruk dari suaminya atau tidak boleh menikah lagi ketika suaminya meninggal dunia seperti yang terjadi di India. Bahkan di zaman Arab kuno kaum wanita tidak diberikan hak waris bahkan yang lebih parahnya lagi masyarakat di sana sangat malu kalau istrinya melahirkan anak perempuan. Alhasil mereka sering menguburkan bayi perempuan hidup-hidup.
Namun seiring berjalannya waktu, kondisi sosial budaya umat manusia mengalami perubahan. Revolusi industri di Eropa agaknya mulai menggeser budaya patriarki di debelan dunia ini. Di mana sebelumnya yang secara umum bekerja di sebuah perusahaan atau industri itu dilakukan oleh kaum pria, namun kaum wanita juga secara umum banyak bekerja di perusahaan dan industri besar. Memang pada mulanya mereka para pelaku industri banyak memperkerjakan wanita karena pengeluaran untuk membayar gajinya wanita lebih kecil dari pria yang walaupun secara porsi kerja bisa saja sama dengan pria. Dan di zaman sekarang pembedaan gaji agaknya tidak bisa kita temukan lagi.
Sebenarnya jauh sebelum revolusi Industri di Eropa peradaban Islam telah banyak melakukan perombakan terhadap budaya patriarki. Sebagaimana yang penulis singgung di awal, masyarakat Arab memposisikan wanita secara lebih rendah. Namun Islam membawa misi mengangkat martabat wanita ke arah yang lebih tinggi. Penguburan hidup-hidup terhada bayi perempuan di larang, perempuan memperoleh hak waris, perempuan punya hak suara dalam bermusyawarah. Begitu pula perbudakan, secara bertahap Islam telah menghapus perbudakan sehingga tidak ada lagi perbudakan dalam internal umat Islam.
Emansipasi wanita versi Islam ini membawa hasil yang membanggakan. Jika kita sandingkan emansipasi versi Islam dengan Emansipasi kontemporer ada sebuah perbedaan yang cukup jelas.
Islam memandang pria dan wanita sama di hadapan Tuhan yang membedakannya hanyalah amal ibadah dan keimanannya kepada Tuhan. Dengan mengacu kepada hal ini artinya wanita dan pria tidak ada perbedaan dalam hal derajat manusia.
Tapi secara fungsi sosial, ekonomi, politik maupun seksualitas Islam juga menempatkan keduanya pada porsi dan perannannya masing-masing. Mungkin berbeda, tapi perbedaan bukan berarti ketidakadilan dan persamaan belum tentu juga sebuah keadilan. Mungkin bisa kita mengambil analogi; ada orang tua memiliki dua anak. Yang satu kelas XII SMA, yang satunya lagi kelas 2 SD. Anak yang kelas XII SMA dibelikan motor, sedangkan anak yang kelas 2 SD dibelikan sepeda. Apakah orang tua mereka tidak adil? Tentu hal ini adil meskipun mereka mendapatkan perlakuan berbeda. Karena keduanya punya kebutuhan dan porsinya masing-masing yang tidak mungkin bisa disamakan.
Sementara itu antara pria dan wanita secara fisik dan psikis juga punya perbedaan yang mencolok dan tentunya mereka punya kebutuhan, fungsi dan porsi yang berbeda dalam kehidupan ini. Dan Islam menekankan fungsi, kebutuhan dan porsi mereka ini harus terpenuhi secara benar. Inilah keadilan gender menurut Islam. Itulah mengapa Islam masih memandang adanya perbedaan antara wanita dan pria, bukan pada derajat dan kedudukan pria dan wanita di masyarakat ataupun derajat manusia dihadapan Tuhan. Tapi lebih kepada fungsi dan porsi alamiah yang berkaitan dengan kodrat fisik dan psikis wanita dan pria.
Sebagai contoh mengapa menurut Islam wanita tidak boleh poliandri sementara pria boleh poligami. Pada dasarnya poligami bukanlah keharusan tapi ia hanya dibolehkan dan bisa jadi solusi dalam kehidupan sosial dan rumah tangga dalam suatu permasalahan tertentu. Mengenai wanita tidak boleh poliandri itu bisa difahami, secara bentuk dan fungsi seksual saja wanita adalah pihak yang melahirkan dan menerima sperma dari laki-laki ketika pembuahan dalam proses kehamilan. Sedangkan pria adalah pihak yang memberikan sperma ketika melakukan pembuahan dalam proses kehamilan.
Nah jika ada lebih dari satu pria memberikan spermanya kepada pihak wanita dalam waktu 3 hari saja, maka ketika wanita itu hamil dan melahirkan akan mendapati kebingungan siapa ayah biologis si anaknya tersebut.
Sedangkan pria sebagai pihak pemberi meskipun ia memberikan spermanya kepada 4 wanita dalam waktu 3 hari saja, maka ketika keempat wanita itu hamil itu sudah pasti anak yang dikandung mereka adalah anak dari seorang pria itu. Selain itu menurut kesehatan juga wanita yang di organ vitalnya terdapat sperma beberapa pria yang bercampur itu bisa menjadi sumber penyakit.
Contoh kedua masalah pekerjaan dan karier. Islam mewajibkan pria mencari nafkah untuk kebutuhan rumah tangganya. Sedangkan wanita tidak wajib tapi dibolehkan. Nah inilah contoh keadilannya. Pria diberikan beban kewajiban mencari nafkah sementara wanita tidak. Hal ini bisa kita fahami karena berkaitan dengan fisik maupun psikis yang menjadi kodrat alamiah keduanya. Â Di mana wanita punya beberapa uzur tertentu seperti melahirkan, hamil dan juga mood yang sewaktu-waktu berubah signifikan. Nah hal ini tentu bisa membuatnya tidak maksimal dalam melakukan pekerjaan. Sedangkan pria tidak mengalami hal tersebut. Namun sebaliknya wanita punya tanggung jawab besar merawat dan mendidik putra putrinya di rumah. Ada sebuah istilah ibu adalah sekolah pertama untuk anak-anaknya. Maka untuk mewujudkan generasi yang hebat yang kelak akan berkontribusi besar dalam kemajuan suatau masyarakat itu dibutuhkan pendidik awal yang berkualitas yaitu seorang ibu.
Namun kalau kita cermati emansipasi kontemporer yang diusung masyarakat barat saat ini agak lain praktiknya. Mereka memandang pria dan wanita punya kedudukan yang sama denga pria dalam hal sosial, politik, ekonomi bahkan secara seksualitas. Intinya faham ini tidak memandang fungsi dan porsi wanita dan pria itu beda tapi keduanya dianggap sama saja. Wanita benar-benar dipersepsikan sama dengan pria dalam berbagai hal. Alih-alih mengangkat kehormatan wanita yang ada malah justru mengeksploitasi wanita misalnya dalam hal pekerjaan. Karena wanita benar-benar dianggap sama dengan pria maka obsesi yang dimunculkan adalah wanita hidup bebas tak boleh diatur oleh pasangannya yang merupakan kepala rumah tangga yang memiliki kewajiban mencari nafkah. Maka akibantnya adalah tugas utama wanita mengasuh dan mendiddik anak-anaknya supaya menjadi manusia-manusia hebat terabaikan dan dialihkan kepada asisten rumah tangganya yang memang pola asuh dan pendidikannya tidak semaksimal ibunya secara langsung. Sementara sang ibu lebih asyik di dunia kariernya. Ia terlena dengan kehidupan di luar, bekerja dan hidup bebas sehingga lupa peran dan fungsi dia dalam rumah tangga.
Celakanya lagi di beberapa negara tertentu sebagaimana yang penulis baca di media, banyak wanitanya yang enggan melahirkan dan berumah tangga sebagaimana mestinya. Malah sensus penduduk memperkirakan negara-negara tersebut akan mengalami penurunan penduduk dari tahun ke tahun.
Emansipasi wanita kontemporer yang tidak mengenal batasan kodrat wanita, telah membawa perubahan besar bagi kehidupan di masa kini. Bisa kita temukan banyak pekerja- pekerja wanita di perkantoran maupun di pabrik pabrik. Malah di masa kini wanita lebih banyak diterima bekerja di sebuah perusahaan dibandingkan pria. Malah yang lebih mengherankan dalam beberapa ruang lingkup kecil yang penulis temukan misalnya saja di sekolah. Siswa yang berprestasi lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Perempuan lebih rajin dalam belajar sementara laki-laki kurang. Ini yang sering penulis jumpai akhir-akhir ini. Jika hal ini terjadi secara lebih meluas, maka bisa dipastikan perempuan lebih banyak berperan di ruang publik daripada laki-laki.
Menyikapi fenomena emansipasi wanita yang masif dan radikal, penulis menemukan sebuah faham yang jauh lebih ekstrem lagi yaitu faham female supremasi atau supremasi wanita. Dalam pemahaman ini wanita bukan hanya dianggap setara dengan pria sebagaimana faham emansipasi, tetapi lebih daripada itu wanita dianggap sebagai gender ke satu dalam tatanan umat manusia. Sedangkan pria dianggap gender kelas 2 bahkan dianggap sebagai budak oleh wanita baik dalam ranah sosial, politik, ekonomi maupun seksual.
Memang faham female supremasi ini di dunia nyata belum nampak pergerakan praktiknya. Selama ini masih populer didapati di film-film dewasa bergenre femdom yaitu film dewasa bertemakan perbudakan pria oleh wanita. Dalam film itu pria sama sekali tidak ada harganya. Ia diperbudak, dipekerjakan secara paksa oleh wanita bahkan dipaksa berhubungan seks dengan disertai penyiksaan. Female supremasi juga sering dijumpai di bacaan-bacaan novel dewasa. Memang hal ini hanyalah cerita fiksi. Tapi cerita fiksi juga banyak berangkat dari kisah nyata. Bahwa menurut ilmu sastra, cerita rekaan merupakan representasi dari kisah nyata. Sebuah penggambaran watak dan tokoh cerita merupakan suatu hal yang diilhami kisah nyata, entah kesananya ada pengurangan atau penambahan itu tergantung selera si penulis cerita.
Mungkin bisa jadi faham female supremasi ini berangkat dari kisah nyata yang diekstrak secara berlebihan oleh penulis cerita. Di mana di masa kini dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan kehidupan rumah tangga wanita mempunyai peran yang setara dengan pria bahkan tak jarang mereka juga mendominasi pria. Pria cenderung pasif dan minder sedangkan wanita lebih percaya diri dan mendominasi. Sehingga bukan tidak mungkin emansipasi wanita akan beranjak kepada mendekati supremasi wanita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H