Mahkota Surga Untuk Ayah
Nadira menatap album foto itu dengan tatapan benci. Padahal potret dirinya sedang tersenyum manis bersama teman-teman seperjuangannya sesama atelit pelari cepat. Ingin rasanya Nadira merobek album foto itu sehancur-hancurnya. Namun ia urungkan niat itu. Ah, alangkah naifnya jika dirinya merobek foto-foto itu. Â Album foto itu sama sekali tidak berdosa. Lantas siapa yang harus dia salahkan, Tuhan? Ah haruskah dirinya menantang takdir Tuhan, Tuhan sudah terlalu baik kepada dirinya. Alangkah berdosanya ia. Lalu siapa yang harus dia salahkan, apakah dia harus menyalahkan dirinya sendiri?
Ya, dirinyalah yang harus disalahkan. Jika bukan gara-gara dirinya tak mungkin ayahnya meninggal di tempat karena kecelakaan lalu lintas dan dirinya cacat permanen sampai kakinya harus diamputasi. Nadira menatap album foto itu sekali lagi, setelah itu ia melemparkan pandangannya pada laut lepas yang beriak.  Saat itu hari mendekati  senja, burung- burung laut mulai berpulang ke sarang.Â
Nadira masih termenung di kursi rodanya sambil memandangi ombak yang berkejaran. Sesekali air matanya berderai. Ia tidak sadar jika beberapa meter dari tempatnya duduk ada seorang laki-laki  muda  kira-kira dua tahun lebih tua darinya  tengah memperhatikan kesedihannya.
Nadira menyeka air matanya yang mengucur deras. Ingatannya kembali terlempar pada kejadian sembilan bulan lalu. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Namun mimpi buruk itu ternyata bukan mimpi. Hari itu ia sangat gembira. Gerbang cita-citanya tampak terbuka lebar. Tinggal melangkahkan kakinya saja ia ke tanah lapang luas itu maka  cita-citanya akan diraihnya. Saat itu Nadira begitu dielu elukan oleh teman-teman sekolahnya. Berkat dirinya sekolahnya kini menjadi terkenal dan diliput oleh media nasional. Padahal sebelumnya sekolahnya hanyalah SMP swasta  biasa yang tak terlalu menonjol soal prestasi.
"Wah... kamu hebat Ra, sampai mendapat juara satu tingkat Nasional. Berkat kamu, bahkan sekolah kita mendapatkan penghargaan dari pemerintah provinsi dan pusat dan makin terkenal. Semoga minggu depan lomba di Malaysia berjalan lancar Ra." Kata Aminah seraya memberi semangat kepada Nadira.
"Amin... terima kasih doa dan dukungannya ya," jawab Nadira mengamini.
Saat itu yang menjadi impian Nadira adalah menjadi Atelit internasional dan bisa keliling dunia. Menurut pelatihnya dirinya punya kemampuan lari lebih cepat daripada pemenang juara satu lomba lari cepat tahun kemarinnya di Eropa.
Jika kondisi kesehatan Nadira prima dan konsentrasi yang penuh, pelatihnya yakin Nadira bisa melenggang dengan mudah untuk meraih medali emas ASEAN. Mendengar prediksi seperti itu dari pelatihnya membuat dirinya semakin Yakin untuk bisa bertanding di kancah dunia dan menjadi sang juara. Impiannya untuk mengajak kedua orang tuanya keliling dunia semakin mendekati kenyataan. Orang tuanya akan semakin bangga padanya. Nadira merasa bahagia bisa membanggakan kedua orang tuanya sebegitu rupa, terlebih ayahnya.
Ayahnya yang sedari  kecil menggemblengnya menjadi seorang gadis yang tangguh. Ayahnya yang selama ini telaten melatih dan memotivasi dirinya menjadi atlet hebat sebelum dirinya  bertemu dengan pelatih-pelatih profesional.  Bagi Nadira, ayahnya adalah pria  terhebat  di dunia ini. Ayah memang seorang atlet. Walaupun hanya sebagai atlet juara daerah, tapi melalui ayahnya inilah mimpi-mimpi Nadira bisa diwujudkan. Mustahil rasanya dia bisa sehebat ini jika ayahnya itu bukan ayahnya.
Namun kehidupan Nadira seolah berubah seratus delapan puluh derajat hanya dalam satu jam saja. Waktu itu dia bersama ayahnya sehabis belanja dari toko pakaian. Nadira membelikan baju dan kerudung pavorit ibunya. Mereka menaiki motor. Ketika tengah perjalanan pulang, Nadira meminta kepada ayahnya, dia ingin  membawa motor dan ayahnya dibonceng.Â