Dalam buku A Complate Guide For Writerpreneurship karya kang Arul, saya menemukan tips-tips menulis yang inspiratif. Dari sekian lembar yang sudah dibaca, hal yang paling berkesan diantaranya adalah soal membangun kultur dan pesepsi.
Seorang (calon) penulis hendaknya membangun kebiasaan para penulis profesional yaitu membaca dan menulis. Inilah dua hal yang musti dilakukan secara konsisten tiap hari. Paling tidak kita musti meluangkan satu atau dua jam untuk melakukannya. Sedang persepsi adalah cara pandang bila menulis tak sekedar dijadikan hobi.
Kultur (Calon) Penulis
Soal kontinuitas menulis, saya jadi ingat dengan apa yang pernah dibilang pakar menulis Dana Gordon. Dana bilang siapkan sebuah buku tulis lalu tulislah apa saja tiap hari sebanyak mungkin. Ini bukan soal kualitas tapi kuantitas.
Menulis banyak membuat kita tak canggung lagi untuk menuangankan ide di atas kertas atau dalam laptop. Ketika punya tema untuk ditulis maka kita akan menulisnya dengan lancar.
Hal lain soal banyak menulis adalah dapat mengasah kemampuan. Skill adalah proses yang musti terus diasah menuju grade yang lebih baik. Seperti pisau, latihan menulis akan mebuat suatu karya jadi tajam, berakter dan bernyawa. Bila tak pernah diasah apalagi dipakai, tulisan jadi tumpul adanya.
Terus soal membaca, Stephen King bilang, “Writing is the creative center of a writer’s life." Membaca bukan hanya behubungan dengan buku, tapi juga lingkungan. Membaca lingkungan berarti turun langsung ke tengah masyarakat. Lantas berbaur, merasakan dan merumuskan konsepsi atas persoalan-persoalan yang tumbuh di tengah tengahnya.
Seperti Andrea Hirata yang melakukan riset di Belitong selama berbulan-bulan sebelum menulis novel Padang Bulan dan Cinta dalam Gelas. Seperti Langit Kresna Hariadi yang datang langsung ke tempat-tempat bersejarah waktu menulis novel Gajah Mada.
Tentu membaca buku sendiri sama pentingnya. Karena kita bisa belajar dari tulisan orang lain bagaimana mereka mengungkapkan ide, mengatur irama dan karakter karya masing-masing penulis. Biasanya penggemar akan mengikuti gaya idolanya. Penggemar Andrea Hirata bisa jadi tertantang untuk menulis karya-karya bermuatan motivasi dan harapan. Penggemar Helvy Tiana Rossa bisa jadi tertantang untuk menulis cerpen atau puisi bertema pembelaan pada bangsa-bangsa terjajah sepeti Palestina.
Namun, lembat laun tentu kita mesti punya karakter kita sendiri. Dan karakter tulisan yang sifatnya amat personal baru didapat dengan latihan yang terus menerus.
Persepsi
Masih dari buku Writerpreneurship, saya belajar juga soal persepsi seorang (calon) penulis. Hal ini yang membedakan antara penulis profesional dan mereka yang menjadikan menulis sekedar mengisi waktu belaka. Mereka yang menganggap menulis sekadar untuk mengisi waktu, tidak akan punya deadline. Proses kreatif baru dilakukan setelah aktfitas utama selesai dilakukan, seperti bekerja, mengurus anak, kuliah dan sebagainnya. Tak ada keseriusan untuk mengolah tulisan secara matang hingga menjadikannya menjadi berkualitas dan layak dipublikasikan secara komersil.
Namun mereka yang profesional menganggap menulis adalah pekerjaan. Karena mereka bekerja maka hasil terbaiklah yang mesti diberikan pada pembaca.
Oleh sebab itu mereka melakukan riset dengan matang, banyak membaca bahan baik dari buku, koran atau media online. Naskah diolah dengan tidak terburu-buru karena yang hendak dicapai bukan hanya kuantitas tapi juga kualitas. Target harus dipenuhi tepat pada waktunya, deadline tak bisa ditunda tunda dan ditawar lagi
Para profesional adalah mereka yang sukses mengenyahkan macam- macam alasan seperti tidak mood lah, banyak pekerjaan lah, capek lah, sedang mengalami writing block lah. Lantas menggantinya dengan karya terbaik yang sebelumnya telah dikristalkan melalui proses riset yang baik.
Selain itu mereka kapabel di segala bidang. Artinya baik tulisan fiksi ataupun ilmiah dapat dikuasai. Dengan begitu kesempatan berkarya menjadi lebih terbuka.
Dengan masih banyak keterbatasan dan kekuarangan, nyatanya saya memang harus banyak baca buku tips nulis. Kalau saya sendiri selama ini belajar nulis dari proses learning and doing. Berjalan begitu saja. Prosesnya cuma dari jalur coba dan gagal. Kalau gagal ya coba lagi, kalau gagal lagi ya coba lagi, begitu terus. Kadang nyerah, kadang bisa bertahan.
Jadi kalau ditanya soal teori nulis saya sendiri nggak tahu teori menulis. Namun pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan kalau membaca karya penulis semisal buku witerpreneur banyak membantu untuk terus berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI