“Mereka adalah kita. Kita adalah mereka.”
Rachel Corrie, gadis 23 tahun asal Amerika itu memang merupakan sampel nyata yang sifatnya amat anomalistik. Dikatakan demikian karena di tengah apatisme kaum muda, ia justru rela meninggalkan pendidikan, kehidupan serba berkecukupan, keluarga serta kawan-kawan yang amat dicintainya kemudian berangkat ke Palestina sebagai Aktifis Kemanusiaan. Corrie yang masih muda dan memilki banyak cita-cita, musti tewas setelah dilindas bulldozer tentara Israel. Peristiwa itu terjadi saat ia mempertahankan rumah Nasrallah, seorang warga kota Raffah-Jalur Gaza Palestina pada 2003 silam.
Kendati begitu, dengan tewasnya Corrie bukan berarti berakhir pula kisah hidupnya. Laiknya pejuang lain yang mati muda macam Che Cuevara, Hasan Al Banna atau Soe Hok Gie, muncul romenatisme tentang dirinya. Ia menjelma dalam bentuk poster, lagu, buku, puisi dan drama. Ia memeroleh keabadaian dalam bentuk yang lain. Simpati, apresiasi dan inspirasi membuat dirinya layak untuk terus dikenang.
Ingin menolong empat puluh ribu anak kelaparan
Alience Rachel Corrie lahir pada 10 April 1979, merupakan putri termuda dari tiga anak Craig Corrie, seorang eksekutif asuransi dan Cindy Corry ibu rumah tangga yang juga menjalani profesi sebagai seprang pemain suling amatir. Besar di Olimpia, Washingron DC, Amerika Serikat yang penuh dengan gemerlap kemewahan tak membuat Corrie kecil turut hanyut ke dalamnya. Jauh jauh hari ia justru lebih peduli pada masalah kemanusiaan, pengentasan kemisinan dan kelaparan juga menyerukan perdamaian.
Saat kelas 5 SD dan usianya masih 10 tahun, dalam konfrensi pers tentang Wold Hunger, Corrie berpidato di hadapan kawan kawannya dengan mengatakan bila ia bermimpi menyelamatkan empat puluh ribu anak anak di dunia yang mati tiap hari, menghentikan kelaparan pada tahun 2000 dan memberikan kesempatan lebih besar pada orang orang miskin. Corrie menandaskan jika mimpinya dapat jadi kenyataan bila tiap orang saling memebantu dan bekerja sama dengan memandang ke masa depan. “Aku di sini karena aku peduli.” Ujarnya dalam pidato itu.
Apa yang disampaikan Rachel Corrie tak hanya sebatas retorika. Ia kemudian mewujudkannya pada tindakan nyata mulai dari hal-hal kecil hingga hal hal besar. Corrie memulainya dengan menulis buku harian. Ia mencurahkan renungan renungan dan cita-citanya. Bencana dan perang telah membuatnya terenyuh, dan ia mengaku merasa bersalah karena tak bisa berbuat apa-apa.
Kegiatan literasi membuat kemampuan menulisnya meningkat hingga ia jadi amat berbakat seobagai seorang penulis dan pujangga. Pada usia 13 tahun, ia menulis untaian kalimat yang amat menyentuh. Bila dirinya bisa saja menenggak alkohol sebelum waktunya dan menggunakan narkoba. Tapi Corrie yakin jika jati diri bisa didapat bukan melalui narkoba tapi melalui proses. Selain itu ia sempat pula melakukan penelitian mengenai kemiskinan saat kelas lima SD. Hasil penelitiannya masuk dalam laporan Unicef dalam World’s Chuldren pada 1989.
Menginjak remaja ia getol mengumpulkan donasi dengan cara berkeliling dari super market ke super market, saat remaja seusianya lebih doyan kumpul di café atau hang out ke mall atau mengunjui klub klub malam. Donasi tersebut digunakannya untuk masryarakat miskin. Ujarnya, sekaleng makanan dari para pengunjung merupakan segudang manfaat bagi orang-orang yang kelaparan.
Menjadi Relawan Ke Gaza
Pada Januari 2003 Rachel Corrie memutuskan untuk mengambil cuti kuliah di kampusnya Evergreen State Collage. Kemudian menjadi aktifis kemanusiaan dan berangkat ke Palestina. Di sana dirinya bergabung dengan International Solidarty Movement (ISM) organisasi kemansiaan internasional yang anggotanya terdiri dari sejumlah negara seperti Inggris, Jerman, Italia, Amerika dan lain lain.
Sebelum Corrie berangkat, ibunya berujar tak akan ada yang menyalahkannya bila mengurungkan niat pergi ke negeri yang sedang dilanda konflik bersenjata itu. Corrie menjawab rasa takut merupakan sifat yang manusiawi, namun melakukanya bukan hal yang mustahil dan ia harus mencobanya. Ia yakin jika aksi aksi damai merupakan solusi yang efektif guna menghentikan pembataian orang-orang Palestina. Menurutnya Palestina bisa merdeka sebagaimana Amerika dan seluruh dunia bisa merdeka.
Sejumlah aktifitas sosial dilakukannya saat tiba di Jalur Gaza. Ia mengasuh anak-anak yatim Palestina dalam naungan Children Parlemeint. Selain itu Corrie dan kawan kawannya sempat pula menjadi perisai hidup. Mereka mengelilingi para pekerja air Palestina yang sedang menggali sumur. Hal tersebut dilakukan hingga larut malam agar para pekerja terhidar dari bidikan sniper tentara Israel.
Lebih jauh seperti yang dituturkan orang tuanya, saat Corrie sampai di Raffah-Jalur Gaza ia menyaksikah hal hal yang membuat perasaanya miris. Di antara puing-puing rumah penduduk yang telah lantak, tank dan bulldozer lalu lalang. Selain itu terdapat pula sejumlah pos penggeledahan dan menara menara tempat para sniper mengintai. Corrie mengambarkan warga Palestina yang dalam penindasan, berusaha terus bertahan. Wajah-wajah mereka ujarnya, tampak lusuh karena serba kekurangan, menderita kemudian menunggu giliran untuk direnggut oleh maut.
Pada 16 Maret 2003, Corrie kembali menjadikan dirinya sebagai tameng hidup. Ia berusaha mempertahankan rumah Samir Narsrallah yang akan di rubuhkan oleh bulldozer caterpillar D-9R milik militer Israel. Jhon Smith, salah seorang aktivis kemanusiaan mengatakan bila saat itu Corrie sedang ada di jalan yang akan dilalui bulldozer. Ia yakin kalau pengemudi bulldozer melihat keberadaan Corrie.
Namun malang bagi Corrie karena kali ini nasibnya tak sebaik seperti pada aksi aksi sebelumnya. Ia justru begitu saja ditabrak dan dilindas bulldozer tersebut. Menurut Ali Mussa dokter yang merawatnya, Corrie tewas dengan luka di kepala dan kaki.
Pasca kematiannya, banyak kalangan menunjukan simpati atas apa yang telah dilakukan Rachel Corrie. Naima Shayer, salah seorang warga Palestina mengatakan bila Corrie sangat baik pada keluarganya dan sudah dianggap sebagai anak sendiri. Sedang Colin Reese, teman sesama aktifisnya mengatakan bila Corrie adalah orang yang bekerja keras lebih lama dari siapapun untuk mewujudkan perdamaian. Adapun pemimpin Yasser Arafat Palestina saat itu mengatakan bila Corrie kini bukan hanya putri keluarganya tapi juga putri Palestina.
Kematian Rachel Corrie telah mengispirasi pula para musisi seperti Patty Smith dan Ten Foot Pole untuk menciptakan lagu tentang dirinya. Lahir pula drama berjudul “My Name Is Rachel Corrie” yang dibuat berdasarkan jurnal dan surat surat elektroniknya. Sedang buku hariannya di terbitkan dalam bentuk buku dengan judul ‘Let,s Me Stand Alone’ dan sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indoensia pada 2008. Namanya kemudian dijadikan mana Kapal berbobot 500 ton dan panjang 625 meter, yang digunakan untuk mengangkut bantuan kemanusiaan ke Gaza beberapa waktu silam.
Dari pribadi Rachel Corrie kita dapat mengambil pelajaran yang luar biasa Inspiratif. Bila masa muda tidak bisa begitu saja dilewatkan dengan hura hura dan pesta. Corrie memilih untuk menggiatkan aktifitas literasi dan aktif dalam kegiatan kegiatan kemanusiaan bahkan hingga ke Gaza.
Selain itu dalam kemanusiaan tiap manusia menjadi setara adanya. Sekat ras, agama, asal dan usulpun dapat luruh dengan sendirinya. Corrie yang seorang Amerika dan Kristen itu, tak sungkan menglurkan bantuan pada warga Palestina yang beragama Islam. Ia telah menggemakan semangat onness atau ke-satu-an antar bangsa banga di dunia ketimbang saling bertikai. Sedang berbuat baik dapat diawali dengan hal hal kecil terlebih dahulu sebelum beranjak pada hal hal besar. Corrie memulainya dengan menulis buku harian yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk buku.
kendati begitu, meneladani Rachel Corrie bukan berarti harus menjadi ke-Corrie-Corrie-an. Hal yang paling penting adalah berbuat yang terbaik untuk sesama seusai dengan kapabilitas intelektual masing masing. bentuknya bisa beragam, seperti menulis, mengajar, menggalang dana kemanusiaan dan sebagainnya. Poin paling penting adalah ada manfaat nyata yang dapat didedikasikan untuk masyarakat terlepas kecil atau besar bentuk manfaat tersebut.
Nb: Tulisan ini publish juga di blog saya https://suguh-kurniawan.blogspot.com/2022/09/rachel-corrie-martir-perdamaian-amerika.html
Sumber
http://goenawanmohamad.com/caping/sebuah-obituari-untuk-rachel-corrie.html
http://etosbisnistiadamerugi.blogspot.com/2010/06/pesona-rachel-corrie-dan-impian-sukses.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H