Matanya berkejap-kejap, sebutir air mata meleleh. Namun, ia buru-buru beranjak, dan sebelum menjauh ia sempatkan mendekatkan bibir ke daun telinga Bang Brengos.
"Aku belum menikah. Tak pernah ada perempuan yang mau. Dijual murah sekalipun.. . . . !" ucapnya lirih. "Kalau ada waktu kembali bertemu lain waktu, giliranmu menasihatiku soal ini. Belum surut semangatku untuk menikah, tapi. . . .!"
Bang Brengos melihat lelaki tua yang bernama Amang Permana itu menjauh. Menaiki angkot jurusan Dago. Entah ke mana dan dalam rangka apa. Ia teman Bang Brengos semasa kuliah di pedalaman Jawa. Dan ya, Bang Brengos perlu menyiapkan suatu nasihat khusus untuk Amang. Siapa tahu ia datang ke rumah dan serius ingin minta advis soal jodoh dan kemungkinan permintaan menjadi Mak Comblang.
 "Ah, jangan-jangan nanti ketemu lagi belum habis pula nasihatnya untukku. . . .!" gumam Bang Brengos seraya melangkah kembali menyusuri trotoar jalan Peta dengan langkah cepat, ke arah Selatan. Pulang.
*
Sesampai di rumah segera saja Bang Bengos menceritakan kepada isterinya ihwal pertemuannya dengan Amang. Rinci dan teliti. Lengkap dengan kutipan langsungnya pula.
"Aku belum menikah. Tak pernah ada perempuan yang mau. Dijual murah sekalipun.. . . . !"
"Itu katanya? Abang mau menjadi Mak Comblangnya?" desak Mak Jumilah penuh penasaran.
Bang Brengos melengos. "Andai ia orang kaya, ceritanya pasti beda. Sayangnya, ia cuma kaya nasihat. Banyak mulut, sarat lagak. Lupa pula menasihati diri sendiri. . . . !"
Banyak hal yang dapat dikerjakan pada Jumat pagi. Terpenting, menyiapkan diri untuk salat berjamaah Jumat di Masjid Babussalam siang nanti. Lupakan cerita soal Amang Permana. Mak Jumilah dan Bang Brengos segera sibuk dengan urusan masing-masing, aktivitas rumahtangga sehari-hari. Dengan segenap hati.***
Cibaduyut, 25 Maret 2022 / 22 Sya'ban 1443
Sugiyanto Hadi